22 February, 2007

3 comments 2/22/2007 12:34:00 PM

Seminggu Tanpa Ibu

Posted by isma - Filed under



Abiqnya malah ketawa-ketiwi. Sekarang lagi ke Gedongan sama Bulgot


Itu SMS pertama yang aku terima dari Mbak Uwik, pas aku nanya Shinfa Labieq lagi ngapain? Rewel nggak?

Duuuh, rasane leghaaaa banget, dan bersyukur sudah anugerahi Shinfaku yang manis dan hebat. Mungkin karena sudah terbiasa seharian nggak sama ibu, jadi lengket dan tergantungnya Shinfa sama ibunya kalo malem aja. Terutama sama ASI.

Shinfa mang belum disapih. Abis susaaaah banget, di samping ibunya ga tega dan kesenengan bisa kasih ASI sama Shinfa. Rasane jadi dekaaat gitu, dan sayangnya bisa terekspresikan.

Tapi, karena dah dua taon, dan sekalian ditinggal sampe satu minggu, aku sama ayah pagi itu via telpon, mutusin Shinfa buat disapih. Ini harus dan titik. Shinfa harus dilatih, sementara aku harus rela besok pas balik ke jogja ndak nyusui lagi. Sedih memang, but sudah waktunya juga sih ya.

Ini adalah hikmah pertama dari satu minggu Shinfa ditinggal ibunya mengawal Fina sama Maiya buat ketemu para santri di beberapa pesantren. Memang sih, repotnya bukan main. Seenggaknya aku tahu dari cerita ayah setiap harinya. Pas enak-enaknya tidur, Shinfa bangun. Yang biasanya ada nenen, seminggu ini dia harus terbiasa gak nenen, atau pakai dot. Apalagi harus pake acara gendong keliling rumah, dan berhubung aku gak di rumah, tugas ini dikerjain sama ayah.

Duuuh, jadi terharu dan bersyukur. Selain Shinfa yang hebat, ayah juga hebat, bersedia menggantikan posisiku gendong Shinfa keliling-keliling gara-gara nggak nenen. Makasih ya, Yah.

Sepanjang kepergianku ninggalin Shinfa di rumah, ini adalah rekornya. Paling lama. Biasanya kalo acara ngawal gitu cuma dua tiga hari. Memang sih berat. Tapi, seperti kata jeng ini, bahwa kasih sayang tidak selamanya diekspresikan dengan selalu nyanding berada di dekat Shinfa. Ada kalanya aku perlu momen untuk membuat Shinfa belajar tidak tergantung pada ibunya, mandiri, dan bisa join dengan anggota keluarga yang lain.


Tet, kenapa aku berani berangkat selama seminggu, karena aku tahu Shinfa dijaga oleh ayah, ato-uti, bulek, Mbak Uyung, Mbak Uwik, Pakde, Mama Watik … yang nggak kalah sayang dan perhatian dari ibunya. Titip Shinfa ya… Matur nuwun.


Itu SMS-ku buat Teti dan dibalas : Ote, Bosss! Ati-ati ye!

Lagi-lagi aku bersyukur, aku juga punya bulek Teti yang hebat, ato-uti, Mbak Uyung, Mbak Uwik … yang hebat! Sudah berkenan berbagi kasih sayang dan perhatian buat Shinfa tanpa pamrih.

I Love U all!
Continue reading...

19 February, 2007

1 comments 2/19/2007 10:32:00 AM

Kisah Sepasang Kelinci

Posted by isma - Filed under




Ada dua ekor kelinci, sedang bercengkerama di halaman depan rumah. Mereka adalah sepasang kakak beradik, Tono dan Tini, yang saling memahami dan menyayangi.

“Sudah siang gini kamu masih berguling-guling di situ?”

“Hm emang harus ke mana? Guling-guling di sini juga enak!” jawab Tini.

“Kasihan sekali kamu Adikku. Sepagian tadi aku sudah menuruni dua lembah dan menyisir tiga taman indah di pinggiran kota.”

“Paling juga capek! Iya kan?”

“Itu kalau tujuanmu cuma naik turun dan lari-lari tidak karuan,” Tono mengelak. “Coba kalau kamu nikmati perjalanan itu sebagai sekolah di alam terbuka. Kalau kamu akan banyak belajar dan kalau kamu punya misi penting selama dalam perjalanan. Pasti kamu akan mendapatkan banyak hal.”

“Sama saja, di sini aku juga mendapatkan banyal hal. Aku bisa melatih kecepatan lariku, bisa mengeluarkan keringat, bisa bercengkerama dengan rerumputan…”

Tono tersenyum. “Apa kamu merasa cukup dengan rutinitas itu, Adikku? Tidakkah kamu ingin mencoba sesuatu yang baru, merasakan pengalaman baru, dan menemukan sesuatu yang baru…”

“Buat apa? Toh aku sudah cukup dengan yang ada di sini…”

Kali ini Tono berkata dengan muka agak serius. “Kamu tahu nggak kalau bergerak itu akan lebih banyak mendapatkan daripada yang diam saja? Tahu nggak kalau kamu juga butuh masukan baru untuk kamu olah buat tugasmu di esok hari? Tahu nggak kalau otakmu akan tambah jalan dengan banyaknya hal baru yang kamu tangkap dari pengamatan di luar sana? Tahu nggak kalau seekor kamu bisa lebih baik lompatannya dari kucing? Tahu nggak kalau kamu akan mati otak dan kuper kalau cuma berurusan sama guling-guling, lari ke sana kemari, bermain dengan rumput. Tahu nggak kalau terjun lapangan bisa mengasah ketrampilan gerak dan pikirmu. Atau sama juga dengan belajar di sekolah alam dan realitas?”

Kelinci kecil menggeleng.

“Itulah kenapa aku setiap pagi selalu membangunkanmu, mengajakmu jalan-jalan, sekadar melihat dunia di luar sana. Tapi, sayang kamu malah malas-malasan. Kamu selalu saja beranggapan kalau di sini sudah cukup. Kamu selalu saja beralasan nggak ada pentingnya keluar, dan toh sudah ada aku. Padahal otak, pandangan, cita-cita, tugas dan tanggung jawab kita berbeda.”

“Pan memang sama saja…”

“Jelas berbeda. Apalagi aku sebagai kakak dan kamu sebagai adik. Apa yang kita bayangkan, kita cari, dan dapatkan di luar sana, akan berbeda. Bisa jadi aku akan mencari makanan untuk kita, sementara kamu cukup beberapa benda yang bisa dibuat mainan. Berbeda kan?”

Tini terdiam. “Tapi, aku kan di sini menjaga rumah. Membersihkan halaman…”

“Aduh…aduh! Tini, kamu lupa dengan komitmen kita untuk saling membantu, bekerja sama, dan mendukung satu sama lain? Toh itu soal teknis. Bisa kita gantian, bisa juga kita lakukan bersama setelah sekolah alam. Itu bukan tugas yang hanya dibebankan buatmu, adikku. Itu sangat tidak baik sehingga ketika ingin sekolah alam kamu merasa sudah menjadi adik yang tidak berbakti karena tidak bersih-bersih rumah, tidak tahu tanggung jawab, dan egois. Tidak, Adikku.”

Lagi-lagi Tini terdiam.

“Jadi, kenapa kesempatan emas di pagi hari itu malah tidak kamu pergunakan sebaik-baiknya. Di sini kamu bisa-bisa malah jadi kelinci dalam tempurung.”

“Hmmm,” Tini menarik napas dalam. Dengan mata berbinar dia menatap kakaknya. “Beruntung aku punya kakak seperti kamu. Aku tahu sekarang kenapa aku merasa tidak seperti yang kakak rasakan. Tentu, karena aku tidak punya mimpi dan cita-cita...”






Buat Shinfaku
Kamu memang baru dua tahun. Tapi, ibu yakin kamu bisa melakukan lebih dari cuma corat-coret gambar, ngabisin lipstick buat kutek, bilang minta dot kalo haus… karena kamu punya sesuatu yang mengagumkan dan bisa tumbuh berkembang dengan kesempatan dan tantangan. Let’s grow Shinfa… grow…grow…grow!
Continue reading...

18 February, 2007

5 comments 2/18/2007 01:47:00 PM

Mm.. The City is Exotic …

Posted by isma - Filed under


Ini cerita KOPDAR yang tercecer, sama kayak mamanya Nasywa. Secara kejadiannya sudah 7 Pebruari yang lalu. Waktu itu Pakih, temenku yang juga temennya Mbak Ana, jauh-jauh dari Surabaya datang ke Jogja dalam rangka mencoba-coba peruntungan di sini. Namanya Fakih Zakaria atau Okay. Kami kenalnya di dunia maya, sama kayak aku kenal sama Jeng Indhy. Kalo Mbak Ana sih, dia temen depan meja kerjaku…hihihi. Dan karena usia Pakih yang jauuuh di bawah aku sama Mbak Ana *biar keliatan kalo dia tuh masih imutz*, kami panggil dia dengan “dek”.

Pas kejadian itu Jogja belum tertimpa musibah angin puting beliung. Meskipun hujan dan awan gelap sudah sering munculnya. Musibah kedua setelah gempa tahun lalu. Dua musibah yang alhamdulillah, Shinfa sekeluarga masih dalam lindungan Allah SWT. *makasih buat doa temen-temen semua ya…*. Syukur alhamdulilllah juga, Pakih ndak kemudian takut-takut buat datang ke Jogja. Dan, dengan ditemeni sama Mbak Upik, dia juga mau ketemu sama Shinfa dan ibunya, Mbak Ana, Bulek Teti, ples Mbak Rina. Hehehe… rombongan ya! Maklum sekalian jalan-jalan di Islamic Book Fair di Gedung Wanitatama Jalan Solo.

Sebenarnya rombongan itu masih mau dilengkapi sama ayah Shinfa. But, berhubung ayah gak bisa absen, ya udah, Shinfa sama aku dianterin dulu ke Gowok, tempat ngekosnya Mbak Rina. Karena janjiannya abis zhuhur, paginya Shinfa aku ajak jalan-jalan dulu ke sini. Naik turun eskalator…hehe, naik kereta belanjaan *nyari-nyari yang ada mobil-mobilannya…nggak nemu-nemu*, masuk outlet pakaian anak trus dapet balon, *balonnya sekarang udah kempes hehehe…*, dan terakhir… main di Timezone. Di tempat yang terakhir ini, tadinya Shinfa masih takut-takut pas aku tawari naik mobil-mobilan. Tapi, giliran sudah keasyikan, semua mainan anak itu dicobanya satu per satu.

Keluar dari arena main, aku, Shinfa sama Mbak Rina mampir dulu beli es krim. Maunya sih abis itu ke arena fantasi di mall ini juga. Aku sih baru kali ini dengernya dari Rina. Katanya sih bagus. Tapi, berhubung ada telpon mendadak dari Bulek Teti yang udah nunggu lama di Book Fair, akhirnya dengan terburu-buru kita cabut deh ke lokasi, pake becak.


Di mana-mana yang namanya pameran mang ruameee, palagi siang hari, panas banget. Jadi nggak nyaman banget kalo ngajak anak-anak. Mana Shinfa sudah bertanda-tanda ngantuk dan minta gendong. Untungnya Mbak Ana segera menyusul, kemudian Pakih sama Mbak Upik.

“Hai, assalamualaikum…,” sapa Pakih yang tiba-tiba keluar dari gedung Wanitatama.
Tadinya sih kaget juga. Secara foto sama objek asilnya pan kadang nggak sama ya. Bisa cakepan aslinya, bisa juga cakep fotonya. Tapi tenang Om, yang jelas kita kagetnya bukan karena dua sebab itu. Melainkan… medoknya itu lho Om. Ketok banget ya Suroboyone…hehehe.

“Njenengan Pakih ya?”

“Iya. Gak kenal tah?”

Hehehe…kira-kira begitulah logat Jawa Timuran yang sempet menyisa dalam ingatanku. Pan biar sekarang dah jadi warga Jogja, dulu pernah juga sebiduk di lautan tinta sama Jeng ini di sini.

Acara selanjutnya ngobrol seputar rekrutmen sama kondisi Lumpur Sidoarjo. Lho! Kan lokasi Pakih lumayan deket juga. Tapi, ya tetep aja biar kita ngobrolin Lumpur itu toh nggak ngasih solusi. Yah, paling tidak kita nggak serta-merta lupa sama bayang-bayang musibah yang satu itu. Semoga ya Om, segera bisa diatasi. Amiin.

“Hi Shinfa…dah bangun ya?” lagi-lagi Pakih menyapa. Kali ini buat Shinfa yang udah bangun, tapi masih setia duduk di pangkuanku. Keberisikan kali ya…sama medoknya Om Pakih. Hehehe. “Berapa taon to, Mbak?”

“Duh, si Om, ga pernah buka blog Shinfa ya, mpe gak tahu berapa umurnya?” Hehe. Ini cuma jawaban ngarang aja kok. Pas aku nulis liputan ini. “Dua taon. Eh, Dik, salim dong?” jawabku sambil ngerayu Shinfa biar mau salaman. Tapi, tetep aja Shinfa gak mau berkutik. Masih aras-arasen, abis bobo.

Yah, kalo saja siang itu langit nggak mendung tebel gitu, pinginnya sih aku ajak Shinfa jalan-jalan masuk ke Book Fair yang di dalam gedung, sambil cari mainan edukatif yang biasanya juga dipamerin. Pikirku juga gimana kalo sekalian kita bareng-bareng ke sini, buat makan and minum. Tapi, berhubung cuacanya nggak bersahabat gitu, mana sudah pletik-pletik gerimis, ya udah deh, terpaksa Shinfa, aku, sama Bulek Teti pamit duluan, dan nggak jadi lunch together.


Lain waktu ya, Om. Sorry kalo cuma dijamu pake teh botolan. Hehehe. Tapi, biar gitu yang penting pan berkesan. Kesan yang baik tentunya. Jelas dong… Buktinya, pas aku nanya “what do u think bout Jogja”, ada yang nulis jawaban kayak gini:

Mm.. The city is exotic, unic, traditional environment, crowded, etc. I love be there…

*Hayuuu…sapa mo nyusul datang ke Jogja?*

Continue reading...

15 February, 2007

8 comments 2/15/2007 03:05:00 PM

SMS di Malam Valentine…

Posted by isma - Filed under

Siangnya kita sudah heboh pas tiba-tiba ada telpon dari bawah kalaw…

“Besok tanggal 14 yang cewek pake baju pink, yang cowok pake baju biru…”

What! Aku langsung geyeng-geyeng nggak ngeh campur herman! :-O

Tanggal 14 Pebruari mang bagi banyak orang diperingati sebagai hari berbagi kasih sayang. Dan, bagi kebanyakan orang juga, kasih sayang banyak diidentikkan sama warna pink, merah, ya gitu deh. Makanya di kantorku dalam rangka itu meminta karyawannya suruh pakai kostum khusus dalam rangka Valentine, @};- bertepatan dengan rapat karyawan bulanan.

Terus terang aku sih bukannya nggak suka, tapi gimannna gitu kalo sampe harus berkostum-kostum pink segala gitu. Kayak Valentinesss abislah atau Valentine maniaclah! Bukan soal ini legal atau tidak legal. Atau… ini Indonesian atau enggak. Atau… ini semacam euphoria atau apalah. Cuma kebetulan aja baju pinkku belum kusetrika… :"/> hehehe… nggak ding!

Aku cuma asing aja dengan model begituan. Secara aku lahir dan besar di Indonesia bagian “pinggiran”, dan nggak begitu fanatik sama hari-hari tertentu. Mungkin hampir sama dengan ketika hari Ibu suruh pakai kebaya dan jarik gitu… Pertanyaannya sederhana aja sih, “what for gitu loh?” Toh gak usah pake gituan juga bisa ngambil maknanya tow? >:D<

Sampai rumah aku terus terang masih kepikiran, gimana inih! :-S Apalagi ternyata “pernyataan kostum” itu masih ditegaskan lewat SMS. Bunyi SMS-nya kurang lebih begini:


Isma, tolong besok pakai baju pink atau yang ada warna merahnya ya…


Waduuuh! Berarti ini serius dunk, dan kalo aku nyleneh gitu, ada temannya gak ya? Atau dipotong gaji gag ya? Makanya aku langsung SMS ke temen-temen seruanganku. Intinya menggalang solidaritas untuk nggak pake pink. Hihihi. Ternyata jawaban mereka gini:


Ya memang agak2 aneh juga sih. Tapi aku manut ajalah…daripada ada perpecahan!

Mak! Abis baca jawaban temenku yang ini, dalam bayanganku muncul seraut wajah murka dan marah sambil nuding-nuding gitu. X( Gantian sama bisik-bisik beberapa gerombolan sambil ngeliat sinis ke arahku yang gak pake pink. Hiii…ngeri!


Trus aku SMS ke temenku yang satunya. Tahu jawabannya?


Secara aku juga disms ******** dan suruh bawa ******. Trus aku bilang aja, kalo bra n cd pink aku banyak….


Kikikikik. Ra nggenah! Aku balas aja…


Lho padahal besok ada sesi foto-foto lho, dan suruh ngeliatin kostum pink masing-masing. Hayuuu…braniiiii!=))

Oho! Ternyata oh ternyata, ada budget khusus kali ya buat ngirim SMS ke seluruh karyawan. Atau cuma yang punya tanda-tanda bakal boikot, hehehe. Dan ternyata juga, lobi antar-SMS itu juga nggak ngasilin keputusan buat aku, mau pake apa besok. Jadilah semalam aku mikir, jadi pake pink tapi atiku nggak nyaman, atau nggak pake pink tapi bakal dapet “teguran”.

Dan hasilnya… hehehe… aku pake celana jeans, atasan biru dongker, dan jilbab pink! Hehehe… mang gak nyambung. Sekalian aja kan, biar kelihatan maksanya. Aku sih pede aja, lha wong ini kata hati kok. Padahal hampir semua temen-temenku pake pink, dan warna yang agak mambu-mambu pink. Tapi, ada juga ding yang pake biru dongker kek aku. Dan, yang bikin aku bersyukur nggak pake pink lengkap, ternyata temen-temen cowok pada cuek aja tuh… Dasar! Ternyata di mana-mana makhluk perempuan itu lebih histeris…;)) *ngumpeeeet*

Selain suruh pake pink, ada juga pembagian door prize pas rapat karyawan. Dengan syarat njawab pertanyaan yang diajukan. Hm, aku sih mau kalo dikasih isi kadonya. Lumayan biarpun cuma coklat lima ratusan. Hihi. :-


Yah…seumur-umur aku jadi upik abu di sini, baru kali ini deh ada acara beginian. Yang kata mbak ini, kecentilan. Secara orang-orang yang ada di dalamnya pan sudah bapak-bapak n ibu-ibu dan serius gitu deh. Tapi, acara kayak gini bagus juga ding. Buat refreshing dan ngilangin stress. Cuma ya itu… Nggak usah pas tanggal 14 Pebruari dan harus pake pink kan bisa to? Iya to…iya to? ;;)
Continue reading...

13 February, 2007

5 comments 2/13/2007 01:11:00 PM

Mumetnya Mutusin Nikah

Posted by isma - Filed under


Keluarga besar mbahnya Shinfa beberapa waktu yang lalu (dan sekarang masih jadi PR) lagi dihangatkan sama topik per-jodoh-an untuk puteri bungsu mereka. Tapi, bukan perjodohan dalam arti menemukan si puteri dengan calon pilihan keluarga, melainkan tetek bengek yang berhubungan dengan jodoh yang dikenalin si puteri ke keluarga besarnya.

Memang sih setiap keluarga punya karakteristik cara didik dan ruang pembebasan pada anak yang berbeda-beda. Kalau di keluarga asalku, (makasih bapak, ibu) cukup luas memberikan ruang kebebasan untuk anak-anaknya dalam menentukan pilihan sikap, termasuk dalam menentukan calon istri ataupun suami. Asal si calon itu seiman, orang baik-baik, sudah mantap dan dipandang siap untuk berumah tangga, bapak ibuku tak banyak memberikan persyaratan yang justru bisa memberatkan si anak untuk membuat keputusan menikah.

Membuat keputusan untuk menikah itu memang tidak mudah. Seperti kata temanku, “Dalam pernikahan terdapat 10% kenikmatan, dan 90% kenikmatan yang luar biasa. Namun tidak setiap orang punya keberanian untuk menggapai semua kenikmatan itu dengan memutuskan untuk menikah.”

Yah, siapa yang nggak takut masuk ke dalam kehidupan yang sama sekali tak ada satu pun jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan selain keyakinan hati dan cinta? Siapa yang tahu setelah si A menikah dengan si B akan tetap kaya, saling mencinta, dan berbagi kasih seperti sebelum keduanya menikah? Seperti kata temanku itu: “Menikah itu seperti main lotre. Kita tidak tahu akan menang berlimpah uang atau kalah bersimbah derita; kita tidak tahu apakah pasangan kita adalah orang yang kita damba mampu mendatangkan kebahagiaan dan berbagi perasaan atau justru sebaliknya, sumber petaka dan penghancur hidup kita.”

Jadi, pantaslah kalau kemudian tidak sedikit orang tua yang jadi khawatir, memikirkan kemungkinan ini dan itu yang bisa jadi akan menimpa anaknya setelah menikah. Maka, mulailah mereka melakukan uji kelayakan, dari kepribadian, budi pekerti, materi, latar belakang keluarga, perilaku, ibadah dan kesalehan, sampai pada tempat tinggal si calon suami/istri yang dikenalkan ke hadapan mereka itu dekat apa jauh, di jawa apa luar jawa, suku jawa apa sunda. Malah ada juga yang sampai (ini yang fanatik ya) satu ormas atau satu partai enggak? Soalnya, ortu takut setelah menikah, si anak bukannya menikmati 100% kenikmatan, malah terjerumus ke dalam 100% lubang derita.

Dari sinilah kerumitan demi kerumitan itu mulai muncul. Tentu saja jika ternyata hasil penilaian menunjukkan ada bagian-bagian yang belum layak atas si calon jodoh. Meskipun si anak sudah 100% menyatakan lulus uji ples mantep.

Hm, aku jadi mikir-mikir, kira-kira kalo aku dihadapkan pada persoalan mutusin nikah untuk Shinfa kelak, dan ternyata “mentok” pada uji kelayakan…gimana ya? Hehe, belum juga Shinfa bisa mandi sendiri ya, kok wis kepikiran.

Enggak sih. Aku cuma mencoba untuk objektif bersikap sebagai orang tua yang amat sangat menyayangi anak. Yang kadang saking sayangnya bisa jadi malah sudah melakukan ‘penindasan’ atas hak anak untuk membuat keputusan dan pilihan buat hidupnya (alah-alah! Opo to kuwi?). Yang kadang malah sudah menganggap anak adalah hak milik yang tidak boleh bergeser, pindah, apalagi dibawa pergi jauh dari tempat tinggalku.

Aku jadi ingat mutiara katanya Kahlil Gibran bahwa anak ibarat anak panah yang ketika dilepas dari busurnya akan melesat sendiri menuju tempat sasarnya. Karena kodrat anak panah memang harus melesat meninggalkan busurnya. Kecuali jika anak panah itu tetap ditahan dalam kekangan busurnya.

Jadi, bukan bermaksud tidak peduli dan memasabodohkan pilihan anak, aku sebagai ortu sudah sepatutnya membiarkan anakku mandiri, tahu apa yang dia mau, tahu dengan setiap risiko dari apa yang dia maui, dan berani bertanggung jawab atas risiko pilihannya itu. Apalagi kalau si anak sudah berusia hampir 30 tahun! Sudah bukan seperti Shinfa yang baru dua tahun yang masih harus dikasih tahu kalau main-main air itu bisa basah dan masuk angin, misalnya.

Aku cukup menunjukkan, menjelaskan, mengingatkan, jika kamu menikah dengan A misalnya, kamu akan meninggalkan pekerjaanmu karena harus ikut suamimu ke luar jawa, apakah kamu siap? Jika kamu menikah dengan A yang belum bekerja, misalnya, bagaimana dengan kehidupan ekonomi kalian? Dan lain sebagainya. Paling tidak dengan begitu anakku tidak semakin bingung dan takut menghadapi putusan untuk menikah.

Tidak jarang memang, karena takut tidak “nyanding” anak, membuat para ortu memberikan syarat khusus untuk calon mantunya: harus tetangga, paling enggak 100 km, misalnya. Lha kalau ternyata yang dipilih si anak, tetangga provinsi gimana? Masak diputusin, menunggu yang tetanggaan? capeee deee...

Juga, karena takut dengan kualitas keturunan, sehingga ada syarat latar belakang keluarga harus jelas bapak ibunya. Karena ada kepercayaan, masa lalu yang kelam bisa mengalir pada anak turun. Padahal, aku pernah dengar bahwa seseorang tidak akan menanggung kesalahan orang lain. Dan, kalaupun ada perbedaan derajat, kekayaan, kemulyaan, yang kebetulan kelebihannya ada pada kita, asalkan budi pekerti dan karakter si calon mantu memang sudah lulus uji, kenapa kita tidak mau anak kita menjadi anugerah buat mereka? Dan, bukankah derajat tertinggi ada pada kedekatan seseorang pada Yang Kuasa?

Hmm, lagi-lagi aku menarik napas dalam. Memang kita akan semakin pusing dan rumit jika kita punya keinginan, dan ternyata keinginan itu berseberangan dengan kenyataan yang dihadapkan pada kita. Padahal, misalnya, kita saat ini berdoa, Tuhan kirimkan untuk anakku jodoh yang baik. Dan ketika seseorang itu benar didatangkan, kita seolah jadi sok tahu menilai bahwa seseorang itu bukan yang dikirim oleh Tuhan hanya karena tidak sesuai dengan kriteria kita. Padahal, dialah kekasih hati anak kita dan seseorang yang dipilih oleh anak kita. Jadi, kenapa tidak pasrah dan mantap saja. Yakin sambil berdoa, dialah yang dikirim Tuhan untuk anak kita.

Yah, percikan ini semoga bisa aku buka kelak pas aku pusing ngadepin Shinfa yang mau memutuskan untuk menikah.
Continue reading...

09 February, 2007

7 comments 2/09/2007 03:28:00 PM

UNFORGETABLE…

Posted by isma - Filed under

Abis Kenalan...

Kenalan sama ayah pas jamannya ini. Sebelumnya blas-blas, nggak kenal sama sekali. Aku yang cuek, jutek, dan perfeksionis. Ayah yang ramah, kalem, dan apa adanya. Bedaaa banget! :x

Critanya waktu jamannya itu, aku pernah jengkel banget X( gara-gara dibiarin sendirian ngisi kegiatan di masjid. Malam-malam lagi. Mana jalan posko ke masjid gelap gulita. Udah gitu nyampe di posko nggak ada temen-temen! Kata anak induk semang, para cowok lagi pada ngabur nyari bakso. Sementara ayah katanya nganterin temen cewekku yang lain ngisi kegiatan di masjid kampung tetangga. Sebel!

Nggak perlu basa-basi, aku ambil senter, trus ngabur ke rumah Pak Janan.O:) Emang aku ndak bisa pow kabur dari posko. *hik…hik…hik* Kebetulan keluarga Pak Janan lagi bikin tempe sambil nikmatin jagung goreng. Aman deh aku di situ.

Lima menit pertama aku masih asyik ngobrol, sambil was-was kalo nggak ada yang nyariin gimana? Waktu itu aku udah kepikiran, kalau ternyata nggak dicariin ya terpaksa deh pasukan kalah perang, pulang ke posko minta dianterin Pak Janan *malu dot com*. :

Tapi, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Aksi protesku dapet jawaban. Anak-anak pada ribut nyari-nyari, nanya ke orang-orang kampung aku pergi ke mana. Aku dieeem aja, biarpun suara motor ayah sudah berapa kali bolak-balik lewat depan rumah Pak Janan. Sebenarnya aku nggak peduli, siapa di antara teman2ku yang care mo nyariin aku. Sampai panik, kalang kabut, dan hampir nggak rasional. Karena tujuan protesku ke semua temen kelompokku, biar mereka nyadar kalo aku nggak mau dicuekin gitu.:-SS

Hihihi. Ternyata eh ternyata. Ada some one yang responnya keliatan banget.B-) Takut dan khawatirnya kentara banget sampai semua pada heran ples geleng-geleng. Malah temen cewekku cerita,

“Tadi sampai ke posko tetangga desa lo. Sapa tahu kamu main sampe sono.”

“What! Mana berani aku malam-malam ke sana.”

“Tahu. Pokoknya dia bingung pol. Aku yang dibonceng aja sampe wedi saking ngebute!”

“Ah, masak siy?” *ceprik-ceprik berbunga-bunga*:x

“Eh, jangan-jangan…ada-ada…”

Hehehe, tau kan siapa dia… Tapi, sebelnya pas beberapa bulan kemudian dikonfirmasi ke orangnya, eh dia ngeles, “Lho kan sebagai ketua harus beratanggung jawab penuh sama anak buah.”

Huh, ayah! :P Bilang udah mulai suka aja kok repot to!



Njelang Nikah

Kalau yang ini jamannya ini. Aku harus ngampung di desa Bomo Punung Pacitan, negeri seribu goa. Pulang ke jogja, secara daku belum kelar kuliah, paling satu bulan sekali dapet libur enam hari. Selama enam hari itu ketemu ayah paling dua kali. :-S Paket hemat deh!

Kebetulan entah bulan yang keberapa, ayah harus ngantar Mbah Uti jalan-jalan ke Riau, tempat Mbak Anik. Dan terpaksa liburanku ke jogja ndak bisa ketemu sama ayah.
Duh rasane sediiih banget. :(( Nelongso! Orang liburnya terbatas, eh pas libur nggak bisa ketemu sama yang dikangeni. Hikz..hikz..hikz.

Tapi, ternyata ayah tetep care sama kangenku. *ceprik-ceprik* ;) Dia sempet nitipin sesuatu sama Naning, Bunda Zahid yang sekarang sudah jadi orang Jkt.

“Nih, buka gih!”

“Apa to… Kok tumben-tumbennya pakai acara give something gini…”

Ooo, ternyata payung berenda sama senter mungil. =:) Tahu kenapa ayah kasih itu, bikos dua benda itulah temenku kalau pas jalan-jalan menelusuri bukit cadas malem-malem. Palagi musim ujan. Kok ya tahuuu aja apa yang daku perluin. Duuuh, jadi ngerasa diperhatiin lagi deh. @};- Makasih ya. Rasane legaaa banget.

Lebih legaaa lagi pas aku selesai buka kado, Naning teriak kalo ayah telpon dari Riau. What! Kebetulan banget. Padahal kita gag janjian.

“Kok bisa sih, pas aku di tempat Naning.”

“Iya. Kok bisa.” ;;)

*hu..hu…hu, nangis lagi deh!*



Abis Nikah

Hari-hari pertama aku berani pake motor sendiri ke kantor. Pas sore harinya ujan deresss pol. Pake tambahan petir sama gluduk lagi! Tapi, berhubung ndak brenti-brenti, udah deh nekat membelah angkasa nan menyeramkan. *terbang kaliii…*

Di tengah jalan, :( rasanya aku dah gag mau terus. Palagi pas lewat ringroad UMY, keliatan banget kilatnya di langit sebelah barat. Saking takutnya aku mpe nangisss. Hu, tahu gini mending aku dianter ajah. Tapi sudah kadung, biar lambat asal sampai rumah dengan slamet deh pokoknya. [-O< Dan karena lambat itulah aku sampe rumah pas azan maghrib.

“Lho wis bali to? Ora papasan po?” ibu nanya pas ngelihat aku dah lepas helm.

Oh, baru tahu nih kalau ternyata aku dijemput sama suami tercinta. :-O Kok gag telpon gitu lo. Iya kalo papasan. Kalo gag, terus ayah bablas sampai kantor? Eh, ternyata bener. Sore itu karena gag papasan, jadilah ayah bablas mpe kantor, dan baru sampe rumah hampir jam tujuh malem.

Duh, si ayah. Jadi merasa, ternyata ada yang ngawatirin. Ihik..ihik..ihik. :x

Sampai sekarang pun kalo sorenya hujan deres, pasti deh makjegagik, ayah tiba-tiba aja udah ngikutin aku dari belakang. Padahal aku sendiri nggak nyadar papasannya di mana. :-* Makasih ya, Yah.


Nah, buat mummy Rayna, ibu Ais, mama Mirza, dan ibu Angky yang juga abis anniversary, yuuuk saling ber-unforgetable yuuuk…


Bikos menurut jeng ini, sedikit kenangan bisa jadi memang tak ada harganya untuk detik ini. Tapi, mungkin pada detik lain ketika sudah tak ada lagi ingatan akan kenangan itu, ia akan jadi sangat berharga dan bernilai....(*)

Continue reading...

07 February, 2007

6 comments 2/07/2007 03:56:00 PM

Allah, Berkahi Kami... Amiiin.

Posted by isma - Filed under
MySpace Layouts




CINTA KITA MEMANG SEDERHANA

TAPI SECARA KESEDERHANAAN ITULAH

KITA SALING MENCINTA


KASIH KITA PUN SEDERHANA

DAN SECARA KESEDERHANAAN ITU PUN

KITA SALING MENGASIHI


SAYANG KITA JUGA SEDERHANA

DAN SECARA KESEDERHANAAN ITU JUGA

KITA SALING MENYAYANGI


CINTA SEDERHANA, KASIH SEDERHANA,

DAN SAYANG SEDERHANA

SEPERTI AWAN PADA HUJAN,

AIR PADA API, DAN KAYU PADA ABU


SECARA ITULAH AKU MEMILIHMU

DAN KAMU MEMILIHKU

UNTUK BERJANJI SUCI

DALAM KESEDERHANAAN


MySpace Layouts




happy 3rd anniversary

7 Pebruari 2004 -- 7 Pebruari 2007


Blog images




MySpace Layouts

Continue reading...

06 February, 2007

5 comments 2/06/2007 04:53:00 PM

Shinfa yang Ceriwis

Posted by isma - Filed under


Ati-ati ngomong rahasia deket Shinfa. Pasti deh bakal ditiruin. Meskipun nggak sama persis. Alias makharijul hurufnya belum seratus persen fasih. Hehe. Yang jelas kentara itu, perubahan konsonan S jadi C, K jadi T, R jadi L, G jadi D, NG jadi N.

Kalau kemarin-kemarin Shinfa baru bisa ngucapin dua kata sekaligus. Sekarang dia sudah pinter ngomong lebih dari dua kata, meskipun agak terbata. Malah, pakai nada spesial pas ngucapinnya. Kalau Mama Watik bilang: nggalur alias meliuk-liuk. Apalagi kalau sudah ada maunya. Nggalurnya jadi apik banget.

Pernah waktu itu aku lagi ngiris wortel buat sup. Shinfa makbedunduk, duduk di sebelahku sambil nyapa, “Ilis apa, Buuuuuu?”

*klontang* Nggak salah denger nih? Aduh, manis banget…

Semalam ayah juga cerita kalo siang kemarin, Shinfa jalan-jalan mpe halaman rumah Mbah Mo. Tiba-tiba dia teriak, “Ayah, ndene to…” (Hihihi. Jogja banget ya. Ndene itu artinya sini). Pas si ayah mendekat, Shinfa nunjuk ke kursi bambu di emperan rumah Mbah Mo sambil tersenyum. “Mbak Mo, antuk,” katanya. Hehehe. Pas si ayah negok, ternyata Mbak Mo puteri lagi dengat-dengut ngantuk.

Tambah ceriwisnya Shinfa ini juga diceritain sama Mama Watik. Beberapa hari kemarin kan Shinfa ikut main di rumahnya. Pas Shinfa sudah bete gara-gara ngantuk, dia bilang, “Mama, mimik dot dulu…” Atau, pas rame-rame panen rambutan, kalo yang dikunyah di mulutnya sudah abis, Shinfa bakal merajuk, “Upasin adi, Mamaaaaa.”

Shinfa juga udah bisa ngucapin salam. Biasanya tiap pamitan, sambil salaman, dia bilang, “Alam aitum…” Atau kalau dipamiti dan diucapin salam, dia jawab, “Alaitum alam…”



Lucu lagi kalo main telpon-telponan. Beonya kelihatan. Pertama dia bakal mencet-mencet keypad, sok nyari nomor yang mau ditelpon. Abis itu, mulai deh ditempelin ke telinganya, trus ngomong sendirian gitu, sok ngobrol sama suara di seberang.

“Halo…piye…” (Ini niruin ayah, yang sukanya bilang piye setelah halo…hihihi)

“Ya… ya…”

“Uti atid…”

“Ya, atuh…”

“Plecet…”

“Ya…alam itum.”

“Oh…alaitum calam.”

Abis itu, telponnya ditempelin ke telinga utinya. “Uti, telpon.”


Itu kalao posisi duduk. Kalo sambil berdiri, dia kadang jalan-jalan gitu. Mondar-mandir nggak jelas. Seisi rumah sih cuma ngelihatin aja, sambil ngakak. Nah, pas tahu kalau tingkahnya nggemesin n bikin ketawa, dia pasti pasang aksi, senyum malu-malu terus ikut ketawa.

Duuuh, Shinfa. Terus belajar ya, biar tambah pinter…
Continue reading...

05 February, 2007

1 comments 2/05/2007 02:29:00 PM

…Ulillah, Ono Lindu

Posted by isma - Filed under


Kalo sudah ujan-ujan gini, kadang gempa-gempa kecil kembali terasa di wilayah sekitar Jogja. Cuma, intensitasnya memang nggak sesering gempa susulan beberapa hari pascagempa 27 Mei taon lalu. Biar begitu, bisa bikin jantung deg-degan juga, bagi yang merasakan getarannya. Jadi suka kepikiran, kalo Shinfa lagi tidur di rumah, ada yang jagain nggak ya? Duuh, jadi takut deh!

Mengenang kejadian waktu itu, pagi jam 06.00 alhamdulillah Shinfa sudah bangun. Malah sudah main-main bareng buliknya di halaman depan. Waktu itu aku sama ayah Shinfa lagi ngobrol di depan pintu sambil ngelipeti cucian yang udah kering. Kebetulan hari Sabtu, hari libur ngantor. Tiba-tiba aja ada suara getaran, kenceng banget. Si ayah langsung teriak, “Lindu-lindu.”

Aku waktu itu langsung ambil langkah seribu, ndak pake sandal, nginjak mainan bebek-bebekannya Shinfa sampai remuk, lari meraih Shinfa. Di jalanan cor-coran, yang relatif lapang, kami berpelukan erat. Melihat genteng rumah kami juga rumah Mbah Mo berjatuhan, kayak orang menggigil-ndrodok mpe menjatuhkan peci yang lagi dipakai.
Mbah Uti sama Akungnya Shinfa waktu itu masih di rumah belakang. Jadi was-was juga. Syukur, tidak ada yang cedera. Padahal, Akung terjebak di ruang makan, ndak bisa keluar. Soalnya susah buat nggerakin kaki, sama penglihatan yang agak kabur.

Seumur-umur tinggal di jogja, baru kali itu ngerasaain gempa yang kuat banget ples lama. Tapi, anehnya kita semua nggak ‘ngeh’ kalo akibat gempa ternyata bisa separah itu. Tahunya setelah ndengerin radio batere sama nonton tv jam 13.00 siang setelah listrik mati. Jadi, kami juga nggak panik sama ribut-ribut tsunami seperti di kota-kota. Ternyata ada hikmahnya juga ya tinggal di daerah terpencil.

Malamnya, kita tidur di halaman, tanpa atap. Kayak pengungsi gitu. Di sekeliling kasur yang digelar ditaburi garam, biar ndak ada ular yang mendekat. Tapi, tengah malam kita ramai-ramai pindah ke rumah Mbah Mo, soalnya hujan turun. Malam itu praktis kita ndak bisa tidur nyenyak, karena bentar-bentar ada getaran.

Malam berikutnya kita belum berani tidur di kamar. Kita tidurnya di ruang tamu, setelah mbersihin rontokan semen tembok yang lumayan tebal yang nyisain debu. Tapi, agak was-was juga dengan kerangka atas rumah yang agak anjlok. Takut kalo ada gempa susulan yang besar, bisa-bisa anjlok beneran. Rata-rata rumah tetangga di kampung Shinfa emang nggak ada yang parah kerusakannya. Yang retak total paling tiga rumah.
Juga, dengan kantorku. Padahal, aku sempat takut pas lihat tayangan tv, gedung STIKER yang megah itu aja bisa miring, gimana dengan tempatku megawe?


Sekarang, alhamdulillah semua sudah dibetulin. Juga, ambrolan tembok dan kuda-kuda rumah Shinfa. Aku nggak tahu apa Shinfa masih mengingat kejadian waktu itu ya. Tapi, yang jelas gara-gara gempa Shinfa suka nyeletuk:
“Ulillah, ono lindu,” (Alhamdulillah, ada gempa)
atau “Ayo uci, ayo uci.” (Ayo ngungsi, ayo ngungsi)

Pas posting ini, Jogja juga lagi ujan derews banget. Dalam kondisi yang seperti ini, mang hanya satu yang bisa kita lakukan, selalu waspada dan berdoa mohon perlindungan Allah SWT. Jagalah kami selalu, gusti. Amiin.
Continue reading...

01 February, 2007

2 comments 2/01/2007 02:56:00 PM

The First Kopdar with Jeng Indhy

Posted by isma - Filed under


Kenalannya sebenarnya sudah beberapa minggu yang lalu, satu bulan juga ada. Cuma saling nyapa dan keterusannya baru satu mingguan inilah…(tambah dua mingguan juga boleh…). Secara kita sama-sama di Jogja. Seneng aja sih ketambahan kenalan, apalagi cantik dan pinter. *nyenengin sesama muslim kan pahala, ya nggak?*

Setelah kemarin sempet ngobrol langsung via YM, juga untuk pertama kalinya, kahirnya hari ini kita ketemuan deh. Kebetulan juga Shinfa pas aku ajak ngantor. Jadi bisa kopdar deh sama teman di dunia mayanya.

“Masak baru ketemu sih?” tanya Tamam heran, temen penulis yang lagi baca koran di ruang tamu. “Trus teman di mana?”

Hehe, belum tahu dia, kalo jaman sekarang kenal akrab nggak harus pake tatap muka dulu. Tul nggak? Tul nggak?

“Happy birthday dulu ya… Nggak bawa apa-apa nih!”
Jeng Indhy ingat juga nih postingan terakhir emaknya Shinfa. Gak harus pake kado kok, Jeng. Hehehe.



Udah deh di dalam ruang tamu yang silir pake AC *angina cendelo* kita ngobrol layaknya temen lamaaa yang baru ketemuan. Dari mulai, “Dah lama ya mengudara di blog?” Sampai, “Kalo nikah, jangan lupa undangannya ya…” Hehehe.
Untungnya daku masih punya satu jatah novel. Jadi bisa nitipin ke Jeng Indhy biar tangannya nggak kosong.
“Tanda tangan dong.
“Alah, kayak artis aja, Jeng,” tolakku malu-malu.
Yang ada harusnya daku minta rumus baru buat bikin template yang bagooos kayak punya dia. Ihik. Tapi, sayang. Jeng Indhy harus keburu ngabur lagi. Mau ke Bringharjo katanya. Jadi shopping beneran juga nggak papa kok, Jeng. Bagoooos!

Oke deh. Sukses ya dengan kerjaan barunya. Bersyukur lho begitu lulus langsung ada aktivitas. Alamat bakal sibuk nih. Tapi, sesibuk apa pun besok, teteeeep! Keep ngeblog ya, Jeng. Sama cuap-cuap di kotak kecilmu itu…hehe. Juga, kalo mudik ke Solo, ojo lali mampir ke sini. Sapa tau ada novel terbaru lagi…oke! Nice to meet U!




NB:
Sorry ya, jeng. Berhubung dikau ndak mau narsis (alah! motret diri sendiri, biarpun bareng2 sama daku n Shinfa), jadi kutampakkan kehadiranmu dalam wujud ransel. Meski aku tahu, ini ndak representatif. Tapi, paling enggak ransel penuh itu nggambarin betapa dikau punya banyak kata n kalimat buat menjelaskan tentang apa/siapa pun yang kamu liat, kamu sapa, n kamu ajak bicara. Salut deh buat Jeng Indhy...
Continue reading...