Ada dua ekor kelinci, sedang bercengkerama di halaman depan rumah. Mereka adalah sepasang kakak beradik, Tono dan Tini, yang saling memahami dan menyayangi.
“Sudah siang gini kamu masih berguling-guling di situ?”
“Hm emang harus ke mana? Guling-guling di sini juga enak!” jawab Tini.
“Kasihan sekali kamu Adikku. Sepagian tadi aku sudah menuruni dua lembah dan menyisir tiga taman indah di pinggiran kota.”
“Paling juga capek! Iya kan?”
“Itu kalau tujuanmu cuma naik turun dan lari-lari tidak karuan,” Tono mengelak. “Coba kalau kamu nikmati perjalanan itu sebagai sekolah di alam terbuka. Kalau kamu akan banyak belajar dan kalau kamu punya misi penting selama dalam perjalanan. Pasti kamu akan mendapatkan banyak hal.”
“Sama saja, di sini aku juga mendapatkan banyal hal. Aku bisa melatih kecepatan lariku, bisa mengeluarkan keringat, bisa bercengkerama dengan rerumputan…”
Tono tersenyum. “Apa kamu merasa cukup dengan rutinitas itu, Adikku? Tidakkah kamu ingin mencoba sesuatu yang baru, merasakan pengalaman baru, dan menemukan sesuatu yang baru…”
“Buat apa? Toh aku sudah cukup dengan yang ada di sini…”
Kali ini Tono berkata dengan muka agak serius. “Kamu tahu nggak kalau bergerak itu akan lebih banyak mendapatkan daripada yang diam saja? Tahu nggak kalau kamu juga butuh masukan baru untuk kamu olah buat tugasmu di esok hari? Tahu nggak kalau otakmu akan tambah jalan dengan banyaknya hal baru yang kamu tangkap dari pengamatan di luar sana? Tahu nggak kalau seekor kamu bisa lebih baik lompatannya dari kucing? Tahu nggak kalau kamu akan mati otak dan kuper kalau cuma berurusan sama guling-guling, lari ke sana kemari, bermain dengan rumput. Tahu nggak kalau terjun lapangan bisa mengasah ketrampilan gerak dan pikirmu. Atau sama juga dengan belajar di sekolah alam dan realitas?”
Kelinci kecil menggeleng.
“Itulah kenapa aku setiap pagi selalu membangunkanmu, mengajakmu jalan-jalan, sekadar melihat dunia di luar sana. Tapi, sayang kamu malah malas-malasan. Kamu selalu saja beranggapan kalau di sini sudah cukup. Kamu selalu saja beralasan nggak ada pentingnya keluar, dan toh sudah ada aku. Padahal otak, pandangan, cita-cita, tugas dan tanggung jawab kita berbeda.”
“Pan memang sama saja…”
“Jelas berbeda. Apalagi aku sebagai kakak dan kamu sebagai adik. Apa yang kita bayangkan, kita cari, dan dapatkan di luar sana, akan berbeda. Bisa jadi aku akan mencari makanan untuk kita, sementara kamu cukup beberapa benda yang bisa dibuat mainan. Berbeda kan?”
Tini terdiam. “Tapi, aku kan di sini menjaga rumah. Membersihkan halaman…”
“Aduh…aduh! Tini, kamu lupa dengan komitmen kita untuk saling membantu, bekerja sama, dan mendukung satu sama lain? Toh itu soal teknis. Bisa kita gantian, bisa juga kita lakukan bersama setelah sekolah alam. Itu bukan tugas yang hanya dibebankan buatmu, adikku. Itu sangat tidak baik sehingga ketika ingin sekolah alam kamu merasa sudah menjadi adik yang tidak berbakti karena tidak bersih-bersih rumah, tidak tahu tanggung jawab, dan egois. Tidak, Adikku.”
Lagi-lagi Tini terdiam.
“Jadi, kenapa kesempatan emas di pagi hari itu malah tidak kamu pergunakan sebaik-baiknya. Di sini kamu bisa-bisa malah jadi kelinci dalam tempurung.”
“Hmmm,” Tini menarik napas dalam. Dengan mata berbinar dia menatap kakaknya. “Beruntung aku punya kakak seperti kamu. Aku tahu sekarang kenapa aku merasa tidak seperti yang kakak rasakan. Tentu, karena aku tidak punya mimpi dan cita-cita...”
Buat Shinfaku
Kamu memang baru dua tahun. Tapi, ibu yakin kamu bisa melakukan lebih dari cuma corat-coret gambar, ngabisin lipstick buat kutek, bilang minta dot kalo haus… karena kamu punya sesuatu yang mengagumkan dan bisa tumbuh berkembang dengan kesempatan dan tantangan. Let’s grow Shinfa… grow…grow…grow!
1 comments:
wah ada yang curhat secara halus nih hhehhee
Post a Comment