Semalam ada undangan acara walihatussafar, acara seremonial untuk melepas keberangkatan calon haji di kampung. Shohibul hajatnya ya bapak/ibu calon haji. Acaranya selain sambutan serah terima, ada pengajian atau ceramah agama. Sebenarnya aku malas banget untuk berangkat. Secara badan dah capek, dan mata udah nggandul minta merem. Apalagi kalau sepulang ngantor kemarin aku mampir dulu ke PKU Jogja, nengokin sepupunya Shinfa yang opname. *Cepet sembuh ya, Dik* Jadi berlipat-lipat deh capeknya.
Cuma, lagi-lagi karena tinggal di kampung, rasa sungkannya deh yang diduluin. Kalo nurutin ngantuknya, suuzhanku bakal ada suara-suara: males awur sama tetangga. Waduuuh! Akhirnya sebagai pelampiasan aku marah-marahlah dalam hati: “Kenapa sih bikin walimahnya malam hari? Nggak siang gitu, Sabtu atau Minggu misalnya.”
Hihi. Marah-marah aja sendiri. Berangkat ya tetep berangkat biarpun dengan gerundelan. Shinfa yang kebetulan belum tidur, ikut juga aku ajak. Pikirku sih, selain dia dijamin klayu, acaranya paling nggak makan waktu lama. Dan, karena sudah agak gerimis, ayah siap bawa payung.
“Eh, Yah. Ngamplopi berapa?” aku bisik2 bertanya ke ayah. Soal yang satu ini, karena aku bukan asli Yogya, aku selalu nanya ke ayah. Kalau ayah juga nggak tahu, ya nanya ke ibu.
“Siapa yang mau ngamplopi?”
“Ibu mau pakai amplop kok.”
“Nggak usah. Saru.”
“Lo kok? Bener? Kalau cuma aku yang nggak ngamplopi?”
“Ben wae. Aku nggak suka dengan kebiasaan kayak gini.”
Sekilas info, jadi di kampungku ada macam-macam amplop. Yang sudah biasa, amplop untuk kondangan manten, untuk njagong bayi, untuk sunatan, untuk membantu orang yang sakit, dan untuk sripah atau kematian. Dan, baru-baru ini ada tambahan jenis amplop yaitu amplop haji.
Jujur, aku sempat gimana gitu ketika tahun lalu ibu cerita kalau si anu yang mau haji bersedia menerima amplop uang. Secara yang kutahu, biasanya kalau pas walimatussafar yang dibawa itu bahan sembako. Malah kalau di Pekalongan, simak biasanya iuran 5000an berberapa orang, dibeliin snack atau gula teh, terus dibagi rata untuk para calon jamaah haji yang mau berangkat. Hehe. Ngirit banget kan?
By the way bus way, aku sebenarnya juga sependapat dengan ayah soal ke-saru-an amplop haji. Selain karena menambah jenis dan macam-macam amplop yang buntutnya menambah pengeluaran hehe…, bukankah orang yang berhaji adalah orang yang mampu, secara moral dan materi? Bukankah nyangoni restu dan doa jauh lebih migunani lahir dan batin daripada sangu amplop? Sebagaimana maksud diadakannya acara walimatussafar, selain untuk bermaaf-maafan, bukan untuk meminta sumbangan? Bukankah sebelum berhaji seseorang memang harus melampaui semua tujuan yang sifatnya materi untuk mencapai keikhlasan sebelum beribadah di tanah suci?
Ehhhem, ini sih percikan-percikan hatiku yang coba merasionalisasi ketidaksetujuan ayah. Cuma kalo calon hajinya menerima amplopan itu, pada akhirnya, memberi amplopan atau nyumbang untuk calon haji bakal jadi kebiasaan di kampungku. Siapa juga ya yang mau nolak dikasih sangu, hehe. Aku juga mauuu. Dan, sebagai imbalannya orang sekampung bakal dikasih oleh-oleh, entah kurma, entah sajadah, entah jilbab. Oleh-oleh yang menurutku kalau nggak diadakan pun juga nggak apa-apa. Soalnya kalo seperti itu, namanya pola sebab-akibat dong. Ada amplop ada oleh-oleh. Hehe.
Dan, jadilah aku nggak bawa amplop semalam. Tetangga rumahku yang bilangnya nggak bawa, tapi pas salaman sama ibu calon haji, kulihat dia kasih amplop juga dan diterima oleh si ibu sambil tersenyum. Hiks. Jadi, apa cuma aku ya yang nggak bawa amplop? Hehe. Ternyata ya nggak mudah untuk menentang arus, biarpun arus itu sebenarnya membawa kebiasaan yang kurang positif jika tetep diberlakukan.
Semalam aku pun nyaris tidak mengikuti acara dengan baik. Nguantuuuuk! Sementara kalau mataku tetap dipaksa terbuka, kepalaku dijamin bakalan pusing. Dweeeh! Aku hampir-hampir menangis semalaman gara-gara walimatussafar. Kesal karena acaranya malam hari yang semestinya aku pakai untuk langsung molor setelah seharian nggak ada tidur siang. Sebel karena pilihan sikapku seperti dikendalikan orang lain. Dan, iri melihat Shinfa dalam posisi PW untuk tidur di pangkuanku.
Mau nggak mau, biar tidak benar-benar menangis, aku ya tidur sambil duduk ajah. Ternyata bisa kok, meski berkali-kali terbangun juga sih. Ceramahnya kadang aku dengar, kadang kehilangan gelombang. Tapi, aku sempat juga mengamini doa titipan Pak Penceramah, semoga si calon haji di raudhah mendoakan semua hadirin supaya bisa ziarah makah madinah. amiin. *teteup, tanpa amplop dong!*
Sampai hampir pukul sepuluh malam, malaikat penyelamatku datang.
“Ayo pulang,” ajak ayah, membangunkan tidur gelisahku. Horeee, akhirnya. Aku mengiyakan ajah, meski penceramahnya belum juga selesai menerangkan seluk-beluk ibadah haji. Dweeh, legha rasanya. Alhamdulillah, aku bisa keluar dari situasi yang nggak mengenakan itu. Palagi begitu sampe rumah, hujan besar langsung turun, pakai angin lagi, dan disusul mati lampu. Bener-bener, alhamdulillah sekali lagi.