Suatu ketika seorang teman pernah bilang ke aku:
”Nggak ngebayangin deh tinggal bareng mertua. Mana gue kan model-model mantu yang pemalas. Nyuci, ngurus anak, gue gantian sama suami. Belum lagi kalau manggil suami, gue biasa pake nama aja. Waah bisa dikira nggak beradab deh!” Dan, ketika temanku dan suaminya diminta untuk pulang kampung daripada tinggal di Jakarta yang kian hari kian nggak sehat itu, ia merasa sangat keberatan karena harus tinggal bareng mertua.
Seorang temanku yang lain juga pernah bertanya dengan ekspresi wajah yang heran dan susah membayangkan, ”Kamu serumah sama mertua ya?”
”Iya,” jawabku pasti.
”Gimana? Baik-baik saja kan?”
”Iya. Baik-baik aja kok,” jawabku agak heran juga. Hihi.
Yah, diakui atau tidak media elektronik, terutama, memang berhasil menumbuhkan stigma pada peran yang namanya mertua. Coba aja amati sinetron yang biasa tayang di TV. Dari Cinta Bunga sampai Cinta Fitri *alah* citra mertua digambarkan begitu menyeramkan. Galak, gila harta, tidak mau berbagi, dan tidak mau menghargai peran mantu sebagai istri dari anaknya. Peran mertua disejajarkan dengan gambaran ibu tiri yang sudah sukses lebih dulu dengan kejelakannya. Pantas kalau teman-temanku pada heran kenapa aku mau dan bisa bertahan tinggal bareng mertua.
Idealnya begitu menikah memang bisa mandiri dan tinggal terpisah rumah dengan ortu. Selain untuk menjaga hubungan biar lebih sehat, hubungan pribadi antarpasangan juga bisa nyaman karena tidak ada intervensi atau bibit-bibit kecemburuan. Meskipun dengan ngontrak rumah atau beli rumah cicilan. Seperti yang dijelaskan Mama Dedeh kemarin pagi di sebuah acara siraman ruhani sebuah stasiun televisi.
Ah, tapi... agaknya anak juga jangan semuanya egois dan memandang penting keluarga barunya tanpa mempertimbangkan kondisi orang tua. Ada baiknya di antara 10 anak, misalnya, ada salah seorang yang mengalah berkenan tinggal di rumah induk menemani orang tua. Mengantarkan ibu ke pasar, layat, nyumbang. Atau menggantikan bapak yang sudah sepuh untuk tugas ronda, gropyok tikus, dan kerja bakti. Karena jika yang didahulukan adalah egoisme dan stigma jelek tentang mertua sampai tidak ada seorang menantu pun yang mau tinggal di Perumahan Mertua Indah, bisa jadi setiap rumah induk adalah panti jompo yang berisi para orang tua yang kesepian tanpa anak dan cucu. Kasihan sekali.
Memang tidak mudah untuk memulai hubungan baik antara menantu dengan mertua. Aku cukup berpengalaman dalam hal ini. *suiiiit...suiiit*. Karena mertua memang berbeda dengan orang tua kandung dalam hal kedekatan dan keakraban. Aku juga tidak bisa menjadi begitu dekat dengan mertua seperti aku dekat dengan bapak-simakku, apalagi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Meskipun mertuaku bukan tipe seperti yang digambarkan dalam sinetron-sinetron itu. *lirik-lirik.com*
Contoh kecil, kalau aku ditegur simak, ”Mbok sana ikut arisan malam, biar banyak teman,” maka aku akan dengan santai bisa menjawab, ”Aku capek Mak. Sampai rumah maghrib. Ngantuk. Belum kalau Shinfa rewel.” Tapi, kalau yang menegur itu adalah mertua, mana berani aku menjawab, dan secara otomatis teguran itu bisa saja berubah makna menjadi, ”Jadi selama ini aku masih kurang berteman dengan tetangga ya?” Karena pada teguran yang kedua berhasil menyentil ketersinggungan. Belum lagi kalau tegurannya sampai membanding-bandingkan. Misalnya, ”Mbok sana ikut pengajian kayak Mbak Asih itu lho...” Kalau teguran ini diucapkan oleh bapak atau simakku mungkin akan terdengar biasa. Tapi, kalau yang mengucapkan adalah mertua... bisa panjang sekali penafsirannya... Tentu saja karena kedekatan dengan ortu sendiri dan mertua itu berbeda, dan untuk membangunnya dibutuhkan proses.
Konflik juga bisa muncul karena kecemburuan. Persis seperti yang dikonflikkan dalam Cinta Fitri. Sekali waktu aku merasa ayah seperti lebih banyak mencurahkan waktu untuk keluarga besarnya, tanpa memberikan perhatian misalnya nonton bareng atau bersantai-santai ngobrol berduaan. Atau ketika dalam satu waktu ayah harus memilih antara menemani aku belanja bulanan atau mengantar kondangan. Kalau ayah milih mengantar aku, bisa saja mertuaku jadi cemburu. Begitu pun sebaliknya. Bisa juga kecemburuan terjadi antara menantu dan adik ipar. ”Yang nyapu kok aku terus, kamu enak-enakan aja nonton tv,” gerutu salah seorang di antara keduanya, misalnya
Atau, soal selera masakan. Yang satu suka santan rasa manis, yang satunya suka santan yang pedas. Yang ini suka itu, yang itu suka ini. Atau, soal kesepakatan-kesepakatan pribadi suami istri, seperti dikhawatirkan temanku, misalnya suami biasa mencuci... ”Bisa saja mertuaku tidak terima anaknya mencucikan bajuku dan anakku,” jelas temanku. Alhasil, bisa saja mertua intervensi, ikut mengatur kesepakatan baru demi melindungi anaknya, misalnya.
Rumit memang kalau dipetani satu per satu. Tapi, kalau dasarnya adalah saling legowo dan neriman, juga cuek dan luweh, the show will go on deh! Lambat laun kedekatan, kecocokan, dan kesepahaman akan bisa terbangun. Apalagi kalau bisa bekerja sama dengan baik, dijamin enteng deh yang namanya pengeluaran dan kerjaan rumah tangga. Hihi. Masak pagi adalah tugasku. Masak sianmg giliran ibu. Adik ipar cewek bagian nyapu dan asah-asah.
Tentu saja dengan catatan, mantu atau mertua juga anggota keluarga induk yang lain seperti adik ipar, memang punya itikad untuk saling menghormati dan menjalin hubungan yang baik. Bukan seperti yang digambarkan dalam sinetron. Bubrah kalau seperti itu. Dan paling tidak, dengan tinggal bareng mertua kita bisa dapat pelajaran kira-kira sikap seperti apa yang bisa membuat anak mantu tersinggung dan lalu jangan sampai kita lakukan.
Seiring perjalanan waktu, mulai 2004, aku ingat akhir tahun 2007 lalu aku finally dapat penghargaan sebuah pujian... ”Isma saiki nek masak wis koyo wong kene. Wis pas!” Gubrak! Atau yang membuat aku diam-diam tersipu, ketika mbak tukang sayur cerita kalau mertuaku pernah menunjukkan salah satu novelku sambil menjelaskan kalau itu tulisanku. Cieeee! Atau yang membuat aku terenyuh adalah ketika aku mengajukan beasiswa. Aku sempat menyangka kalau rencana ini kurang bisa diterima oleh mertuaku. Karena berarti waktuku akan lebih banyak tidak bersama ayah dan Shinfa. Tapi mertuaku malah bilang, ”Ya popo yo, Bik. Abik neng umah yo... Mugo-mugo hasil sing dicita-cita’ke.”
Jadi, kalau memang pilihan yang harus Anda ambil adalah menemani hari tua mertua di Perumahan Mertua Indah, why not?! Karena kelak kita pun akan menjadi orang tua dan mertua yang sangat membutuhkan kehadiran anak dan menantu.
Continue reading...
”Nggak ngebayangin deh tinggal bareng mertua. Mana gue kan model-model mantu yang pemalas. Nyuci, ngurus anak, gue gantian sama suami. Belum lagi kalau manggil suami, gue biasa pake nama aja. Waah bisa dikira nggak beradab deh!” Dan, ketika temanku dan suaminya diminta untuk pulang kampung daripada tinggal di Jakarta yang kian hari kian nggak sehat itu, ia merasa sangat keberatan karena harus tinggal bareng mertua.
Seorang temanku yang lain juga pernah bertanya dengan ekspresi wajah yang heran dan susah membayangkan, ”Kamu serumah sama mertua ya?”
”Iya,” jawabku pasti.
”Gimana? Baik-baik saja kan?”
”Iya. Baik-baik aja kok,” jawabku agak heran juga. Hihi.
Yah, diakui atau tidak media elektronik, terutama, memang berhasil menumbuhkan stigma pada peran yang namanya mertua. Coba aja amati sinetron yang biasa tayang di TV. Dari Cinta Bunga sampai Cinta Fitri *alah* citra mertua digambarkan begitu menyeramkan. Galak, gila harta, tidak mau berbagi, dan tidak mau menghargai peran mantu sebagai istri dari anaknya. Peran mertua disejajarkan dengan gambaran ibu tiri yang sudah sukses lebih dulu dengan kejelakannya. Pantas kalau teman-temanku pada heran kenapa aku mau dan bisa bertahan tinggal bareng mertua.
Idealnya begitu menikah memang bisa mandiri dan tinggal terpisah rumah dengan ortu. Selain untuk menjaga hubungan biar lebih sehat, hubungan pribadi antarpasangan juga bisa nyaman karena tidak ada intervensi atau bibit-bibit kecemburuan. Meskipun dengan ngontrak rumah atau beli rumah cicilan. Seperti yang dijelaskan Mama Dedeh kemarin pagi di sebuah acara siraman ruhani sebuah stasiun televisi.
Ah, tapi... agaknya anak juga jangan semuanya egois dan memandang penting keluarga barunya tanpa mempertimbangkan kondisi orang tua. Ada baiknya di antara 10 anak, misalnya, ada salah seorang yang mengalah berkenan tinggal di rumah induk menemani orang tua. Mengantarkan ibu ke pasar, layat, nyumbang. Atau menggantikan bapak yang sudah sepuh untuk tugas ronda, gropyok tikus, dan kerja bakti. Karena jika yang didahulukan adalah egoisme dan stigma jelek tentang mertua sampai tidak ada seorang menantu pun yang mau tinggal di Perumahan Mertua Indah, bisa jadi setiap rumah induk adalah panti jompo yang berisi para orang tua yang kesepian tanpa anak dan cucu. Kasihan sekali.
Memang tidak mudah untuk memulai hubungan baik antara menantu dengan mertua. Aku cukup berpengalaman dalam hal ini. *suiiiit...suiiit*. Karena mertua memang berbeda dengan orang tua kandung dalam hal kedekatan dan keakraban. Aku juga tidak bisa menjadi begitu dekat dengan mertua seperti aku dekat dengan bapak-simakku, apalagi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Meskipun mertuaku bukan tipe seperti yang digambarkan dalam sinetron-sinetron itu. *lirik-lirik.com*
Contoh kecil, kalau aku ditegur simak, ”Mbok sana ikut arisan malam, biar banyak teman,” maka aku akan dengan santai bisa menjawab, ”Aku capek Mak. Sampai rumah maghrib. Ngantuk. Belum kalau Shinfa rewel.” Tapi, kalau yang menegur itu adalah mertua, mana berani aku menjawab, dan secara otomatis teguran itu bisa saja berubah makna menjadi, ”Jadi selama ini aku masih kurang berteman dengan tetangga ya?” Karena pada teguran yang kedua berhasil menyentil ketersinggungan. Belum lagi kalau tegurannya sampai membanding-bandingkan. Misalnya, ”Mbok sana ikut pengajian kayak Mbak Asih itu lho...” Kalau teguran ini diucapkan oleh bapak atau simakku mungkin akan terdengar biasa. Tapi, kalau yang mengucapkan adalah mertua... bisa panjang sekali penafsirannya... Tentu saja karena kedekatan dengan ortu sendiri dan mertua itu berbeda, dan untuk membangunnya dibutuhkan proses.
Konflik juga bisa muncul karena kecemburuan. Persis seperti yang dikonflikkan dalam Cinta Fitri. Sekali waktu aku merasa ayah seperti lebih banyak mencurahkan waktu untuk keluarga besarnya, tanpa memberikan perhatian misalnya nonton bareng atau bersantai-santai ngobrol berduaan. Atau ketika dalam satu waktu ayah harus memilih antara menemani aku belanja bulanan atau mengantar kondangan. Kalau ayah milih mengantar aku, bisa saja mertuaku jadi cemburu. Begitu pun sebaliknya. Bisa juga kecemburuan terjadi antara menantu dan adik ipar. ”Yang nyapu kok aku terus, kamu enak-enakan aja nonton tv,” gerutu salah seorang di antara keduanya, misalnya
Atau, soal selera masakan. Yang satu suka santan rasa manis, yang satunya suka santan yang pedas. Yang ini suka itu, yang itu suka ini. Atau, soal kesepakatan-kesepakatan pribadi suami istri, seperti dikhawatirkan temanku, misalnya suami biasa mencuci... ”Bisa saja mertuaku tidak terima anaknya mencucikan bajuku dan anakku,” jelas temanku. Alhasil, bisa saja mertua intervensi, ikut mengatur kesepakatan baru demi melindungi anaknya, misalnya.
Rumit memang kalau dipetani satu per satu. Tapi, kalau dasarnya adalah saling legowo dan neriman, juga cuek dan luweh, the show will go on deh! Lambat laun kedekatan, kecocokan, dan kesepahaman akan bisa terbangun. Apalagi kalau bisa bekerja sama dengan baik, dijamin enteng deh yang namanya pengeluaran dan kerjaan rumah tangga. Hihi. Masak pagi adalah tugasku. Masak sianmg giliran ibu. Adik ipar cewek bagian nyapu dan asah-asah.
Tentu saja dengan catatan, mantu atau mertua juga anggota keluarga induk yang lain seperti adik ipar, memang punya itikad untuk saling menghormati dan menjalin hubungan yang baik. Bukan seperti yang digambarkan dalam sinetron. Bubrah kalau seperti itu. Dan paling tidak, dengan tinggal bareng mertua kita bisa dapat pelajaran kira-kira sikap seperti apa yang bisa membuat anak mantu tersinggung dan lalu jangan sampai kita lakukan.
Seiring perjalanan waktu, mulai 2004, aku ingat akhir tahun 2007 lalu aku finally dapat penghargaan sebuah pujian... ”Isma saiki nek masak wis koyo wong kene. Wis pas!” Gubrak! Atau yang membuat aku diam-diam tersipu, ketika mbak tukang sayur cerita kalau mertuaku pernah menunjukkan salah satu novelku sambil menjelaskan kalau itu tulisanku. Cieeee! Atau yang membuat aku terenyuh adalah ketika aku mengajukan beasiswa. Aku sempat menyangka kalau rencana ini kurang bisa diterima oleh mertuaku. Karena berarti waktuku akan lebih banyak tidak bersama ayah dan Shinfa. Tapi mertuaku malah bilang, ”Ya popo yo, Bik. Abik neng umah yo... Mugo-mugo hasil sing dicita-cita’ke.”
Jadi, kalau memang pilihan yang harus Anda ambil adalah menemani hari tua mertua di Perumahan Mertua Indah, why not?! Karena kelak kita pun akan menjadi orang tua dan mertua yang sangat membutuhkan kehadiran anak dan menantu.