19 February, 2012

13 comments 2/19/2012 04:19:00 PM

Potluck Edisi Conference

Posted by isma - Filed under
Seluruh undangan yang hadir duduk melingkar, memenuhi seluruh ruangan Hale Halawai. Tampak wajah-wajah Asia, dari Indonesia, Malaysia, Jepang dan China, juga sedikit wajah American. Setiap orang lalu memperkenalkan nama dan asal masing-masing. "I am a six years old," sebuah suara kecil ikut memperkenalkan diri. "What's your name?" celetuk yang lain. "Oh, my name is Abila. I am a six years old, and I am still learning magic." Mendengar kalimat yang terakhir ini, seisi ruangan tergelak.


Begitulah awal suasana potluck edisi conference yang diadakan oleh Indonesian student di Hawaii, dalam rangka ramah tamah dengan mahasiswa indo, malaysia, dan kerabat yang berkunjung ke Hawaii untuk International Graduate Students Conference, February 17-18. Setiap kali ada acara untuk sekedar ketemu, menyambut kedatangan teman, perpisahan, merayakan hari besar, pengajian atau rapat, potluck selalu menjadi aternatif. Sehingga sempat ada seloroh, "Ah, nggak usah masak ah. Nunggu undangan potluck," karena seringnya potluck digelar di Hale Manoa.

Potluck, seperti disebut dalam wikipedia adalah pertemuan yang melibatkan banyak orang dengan membawa makanan masing-masing untuk dishare bersama. Konon, tradisi ini muncul pada abad abad 16 di Inggris, lewat karya Thomas Nashe, seorang penulis skenario. Potluck berarti makanan yang disediakan untuk tamu yang bisa saja datang kapan saja, jadi seolah menjadi "the luck of the pot". Lalu pada akhir abad 19 atau awal abad 20 di US, tradisi potluck muncul yang berarti prasmanan bersama di mana tamu membawa sendiri makanannya, khususnya di bagian barat US. Potluck yang terakhir ini bisa jadi mendapat pengaruh dari istilah "potlatch" atau "luck of the pot".

Untuk potluck edisi conference ini, dua temen dari lantai enam, Ismi dan Rahma, rencananya mau bikin mie goreng dan perkedel. Tapi, itung-itung latihan baking, dari perkedal haluan berubah ke kue lumpur. Sementara, karena kami sibuk membuat lumpia atau summer roll isi tahu, wortel dan udang beserta sambal kacang, dengan sukses mie goreng pun luput dari ingatan. Syukurlah aku bisa menyelesaikan mochi kuah, hasil belajar dari teman Vietnam. Jadi total menu yang kami bawa ada tiga. Selain makanan yang kami bawa dari lantai 6, ada juga pisang hijau khas Makassar, ikan santan, telor balado, sup ayam, mie telor, dan banyak bolu dan kue-kue.

lumpia

pisang hijau Makassar

kue lumpur panggang

kue otmil kayaknya :))

Aku tiba di Hale Halawai ketika acara baru saja dibuka. Setelah perkenalan yang sebentar, kami langsung menyerbu menu yang tersedia. Seorang bule, dengan agak ragu mengambil lumpia. Sepertinya ia sangsi apakah gulungan coklat itu cukup enak di lidahnya atau tidak. Tapi, agaknya rasa penasarannya lebih kuat daripada rasa khawatirnya. Satu gigitan kecil, membuat hidungnya bergerak ke atas, refleks. Alisnya berkerut dengan mulut mengunyah pelan-pelan. Lima detik kemudian, ketika gigitan pertama itu berhasil dikunyah dan masuk melewati seleksi rasa di lidah, spontan matanya membesar dengan gerakan mulut yang semakin cepat, "Oh, my god. It's so goooood," ucapnya kegirangan.

Aku ngakak ketika Ismi bercerita tentang ekspresi bule itu. Aku bisa bayangkan, bagaimana dia begitu terkejut mendapat tendangan lezatnya si lumpia. Sayang sekali aku melewatkan adegan menarik ini semalam. Lebih lucu lagi, ia kembali ke dalam antrian barisan untuk menikmati lagi si summer roll isi tahu. Haha, belum tahu dia kalau kami sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk makanan itu. Sampai capeknya bukan main. Sampai rasanya sudah masak tiga hari tiga malam, meski cuma bikin tiga menu makanan. But, it's fun. Tentu, karena tidak setiap bulan potluck edisi conference ini bisa digelar.
Continue reading...

11 February, 2012

12 comments 2/11/2012 08:02:00 AM

Hale Manoa

Posted by isma - Filed under
Megah dan kokoh. Bangunannya seperti korek api raksasa, tersusun dari tumpukan korekapi-korekapi besar yang memanjang dan meninggi, berdiri menghadap ke arah timur, demikian seturut pemahamanku. Ini adalah gedung kedua yang aku masuki, setelah bandara, setibaku pertama kali di Hawaii. Sebuah taksi mengantarkanku, melewati jalanan yang serupa jembatan layang, membelah piggiran kota, dole street, berbelok ke east west road, dan sekitar pukul 10am waktu Hawaii, sampailah aku di depan gedung ini. Hale Manoa.


the hale manoa


the entrance from east west road


Hale menurut bahasa Hawaii berarti rumah, mirip-mirip dengan 'bale' dalam bahasa Jawa. Sementara Manoa adalah nama tempat di mana gedung ini berlokasi. Hale Manoa sejatinya adalah dormitory yang dibangun pada tahun 1962 oleh East–West Center (EWC). Lewat besutan tangan Ieoh Ming Pei, arsitek Chinese American, yang termasyhur dengan karyanya seperti Miami World Trade Center dan Gateway Towers, Singapore, tak heran jika Hale Manoa menjadi gedung yang unik dan menarik.

Ia tersusun dari 13 lantai dan tidak setiap lantai memiliki beranda. Di lantai 1 terdapat lobby dan reading room. Lantai 2 dan 4 diantarai oleh lantai 3 yang memiliki beranda. Lantai 2 dan 4 berisi unit-unit dengan 10 kamar tiap unitnya dan dipisahkan dengan pintu yang tidak terkunci. Dua lantai ini tidak memiliki beranda, melainkan jendela-jendela kamar menghadap ke luar gedung. Akses menuju unit memakai tangga naik menuju lantai 4 dan turun menuju lantai 2 dari lantai 3, tempat di mana ada dapur, lounge, ruangan untuk kulkas pribadi, loundry, dan parkiran sepeda. Demikian juga untuk lantai 5 dan 7, diantarai oleh lantai 6 yang merupakan dapur dan segalanya. Lalu, lantai 8 dan 10 diantarai oleh lantai 9 sebagai dapurnya, dan lantai 11 dan 13 diantarai oleh lantai 12. Itulah kemudian, lift yang mengantarkan para penghuni untuk naik ke atas cuma berhenti di lantai 3, 6, 9, dan 12.


beranda lantai 6


tangga menuju unit


kamar dan storage di dalam unit


the bathroom di dalam unit


my room


pemandangan dari jendela lantai 6

Lokasinya yang berada di dalam kampus, memang sangat strategis untuk tempat tinggal mahasiswa. Tapi, tidak semua mahasiswa bisa tinggal di Hale Manoa. Mahasiswa yang beruntung untuk tinggal adalah mereka yang aplikasinya disetujui, atau mendapatkan beasiswa EWC, dan funding yang berafiliasi dengan EWC. Dan di antaranya adalah aku, dan kawan-kawan penerima beasiswa IFP yang lain. Dengan membayar $14 per hari, kami sudah bebas dari biaya listrik, air, internet, dan cleaning service. Mendapat fasilitas kamar seukuran satu orang, dua kabinet di dapur, storage, kulkas bersama, kompor dan oven listri, mesin es, dan loundry dan dryer dengan membayar sekitar $2.

Sebagai mahasiswa yang datang dari kampung, Hale Manoa menurutku lumayan sempurna sebagai tempat tinggal. Semua fasilitas lengkap tersedia. Terutama dapur, tempat favoritku di saat lapar. Hale Manoa juga memiliki reading room, bertempat di lantai dasar berseberangan dengan lobby. Selain untuk belajar, reading room berfungsi sebagai bioskop mini tiap sabtu dan minggu dan tempat diskusi. Lounge juga bisa berfungsi sebagai tempat belajar dan pertemuan. Jika ingin menggunakan, kami tinggal menuju ke lobby, reserve, dengan menyerahkan id.

Lalu, bagaimanakah untuk mail address? Ini juga menarik. Jadi setiap warga memiliki satu kotak pos dengan nomor masing-masing. Biasanya ketika kami menulis alamat, kami juga akan menuliskan nomor box tersebut dan otomatis setiap ada surat atau paket atas nama kami, pihak pengelola tinggal memasukkannya ke dalam box. Untuk membuka, kami memiliki kode rahasia masing-masing. Terus terang untuk urusan buka membuka box ini, aku harus mencoba berkali-kali dengan selalu membawa rumus cara membukanya. Terlalu!


lobby dan kotak-kotak surat


menuju reading room


dapur bersama


laundry room and fire exit

Selain fasilitasnya yang lengkap, aku suka sekali dengan suasananya. Ramai dan multikultur. Bagaimana tidak, dorm ini bisa memuat sampai 400 orang, hampir semuanya international students dari kawasan Asia Pacific seperti China, Japan, Thailand, Vietnam, dan Indonesia, South Asian countries, Amerika juga Eropa. Campur-campur ini terasa sekali begitu kami semua berlomba memasak di dapur. Berbagai obrolan dengan bahasa masing-masing bersahutan dengan aroma masakan, dari sebangsa India, Indonesia, China, atau hanya memanaskan sandwich. Tentu saja, kami harus memahami, ketika misalnya ada teman yang memasak pork. Biar lebih aman dari aromanya, biasanya aku memilih antri dapur saja.

Hale Manoa memang seperti pesantren. Bedanya tidak ada kiai, pengajian atau takziran. Di sini kehidupan berjalan masing-masing, meski ada juga bumbu-bumbu akrabnya persahabatan dan kebersamaan. Dan, sekarang adalah tahun terakhirku di Hale Manoa. Kurang dari setengah tahun lagi, aku sudah akan menjadikannya sebagai bagian dari kenangan indahku. Ia menjadi catatan sekaligus saksi bagaimana si Isma kecil melawan rasa takut, khawatir, dan putus asa. Bertarung dengan putaran cepat detik-detik jam sebelum deadline untuk submit tugas. Menangis karena rindu kampung halaman atau bahagia karena toh akhirnya bisa juga menyelesaikan. Hale Manoa, aku pasti akan merindukanmu.
Continue reading...

09 February, 2012

4 comments 2/09/2012 02:06:00 AM

Ngobrol di Udara
bareng Ratnasari “VoA” Dewi

Posted by isma - Filed under
jadul bentuknya, tapi keren kerjanya

Suaranya bening dan renyah, khas suara penyiar radio dan presenter tivi. Mungkin kalau kualitasnya mau dibanding-bandingkan, suaraku cuma sampai level 50, sementara suara Dewi berada di level 100. Jauh sekali, tapi tak apa. Karena jelek-jelek, suaraku bisa masuk dalam satu gelombang udara dengan suara Dewi reporter Voice of America itu. Jadi bisa ikut naik bandinglah. Suara Dewi menyapaku langsung dari DC pada Senen 6 Maret pukul 2pm waktu hawaii, menindaklanjuti obrolan lewat email beberapa jam sebelumnya. Temanya seputar sekolah dan komunitas yang aku gawangi di Jogja. Sepintas, tak banyak menuntut pikiran. Tapi, begitu dipraktikan, jadi makan pikiran juga ternyata.

Pertanyaan yang membuatku harus memeras otak adalah pertanyaan tentang “belajar apa di Hawaii?” Pikiranku kontan berlari ke kelasnya Prof. Abinales tentang the perspective of Southeast Asian studies. “Jadi saya ambil kuliah di Asian Studies fokusnya di Art and Culture,” jawabku. “Art and Culture itu belajar tentang apa?” Aku kembali berpikir. Karena Art and Culture juga luas ternyata. Apakah aku belajar performing art, writing art, dance art. Ataukah belajar tentang Indonesian Culture, terus culture yang mana. Jadi bingung, harus memulai dari mana. Alhasil yang aku jawabkan adalah belajar bagaimana culture bisa termanifestasi dalam tulisan, bagaimana Indonesian culture, secara specific pesantren culture bisa dikomparatif studikan dengan culture-culture lain di seantero negara-negara di Asia Tenggara. Dan setelah menjawab itu, aku jadi galaw. Does it answer her question? Hehe.

Sebenarnya Southeast Asian studies di mana aku berafiliasi sekarang ini termasuk area studies, kalau dalam penelitian, atau akan diurai satu-satu, maka subjek penelitiannya adalah segala hal yang berhubungan dengan kawasan, dari penduduk, masyarakat, negara, issue-issue yang berkembang, dan perbandingan atau hubungan di antara semua hal itu. Karena luas sekali, di sini perlu adanya spesifikasi, dan spesifikasiku adalah art and culture.

Ngomong-ngomong soal art and culture, sebenarnya ini tidak tertulis sebagai prodi atau jurusan di Southeast Asian studies. Ini cara kita mengklasifikasi minat kita saja. Dan ini juga aku dapat dari pemberi beasiswa, bahwa kategori bidang yang aku pelajari adalah art and culture. Dari art and culture ini, aku ambil bagian yang lebih specific lagi yaitu women issues and creative writing in Indonesia. Ini aku rumuskan sendiri sebagai guide line ketika memilih mata kuliah juga memilih topic yang akan diteliti.

Nah, dari rumusan yang berbunyi women issues and creative writing in Indonesia, aku pun belajar tentang teori-teori budaya untuk menganalis what’s ongoing in my society. Untuk kelas ini aku menulis tentang “the formation of Islamic popular culture in Indonesia” yang membahas tentang gerakan komunitas penulis FLP dan Matapena dan mau aku presentasikan di University of California bulan April. Aku belajar tentang teori komunikasi budaya, dan untuk kelas ini aku menulis tentang analisis Iklan pemutih wajah. Aku belajar tentang feminist research method, dan aku melakukan interview tentang pengalaman penulis perempuan pesantren dalam proses kreatifnya, hasilnya mau aku presentasikan minggu depan di EWC conference. Aku belajar the history of performing art and drama in Southeast Asia, dan aku menulis tentang perempuan dalang di Indonesia. Aku belajar education for gifted student, dan ada bagian yang mempelajari tentang bagaimana memupuk dan mengembangkan bakat menulis.

Selain berdasarkan minat, ada mata kuliah yang berkaitan langsung dengan Southeast Asia sebagai area studies, yaitu wacana keilmuan di Southeast Asian studies juga riset-riset yang dilakukan. Untuk kelas-kelas yang dari depeartemenku ini aku menulis tentang “the new generation of women writers from pesantren tradition”, dan dimuat di journal Exploration. Juga menulis “not just an ordinary young moslem women: reading contemporary Indonesian and Malaysian young adult novel”, yang sudah aku presentasikan di Toronto Oktober kemarin. Menulis “the Regeneration of women writers from pesantren tradition: self initiative, learning environment, and education system”, dan rencananya mau dipresentasikan di Las Vegas conference bulan Maret.

Puff… kira-kira begitulah yang sebenarnya ingin aku ceritakan ketika menjawab pertanyaan Dewi tentang studiku. Tapi, have no idea waktu itu. Dan lagi it’s too long ya, menghabiskan pulsa dan bisa-bisa membuat telinga Dewi panas hehe. But anyway, bisa ngobrol dengan Dewi dari VoA adalah pengalaman yang bener-bener berharga dan menyenangkan. Terutama karena aku bisa berbagi pengalaman tentang Matapena, komunitas penulis santri Indonesia, tentang bagaimana remaja di Hawaii belajar membangun mimpi dan harapan, juga membocorkan novelku berikutnya. Semoga ada guna dan manfaatnya ya. Terima kasih, Dewi.
Continue reading...

04 February, 2012

6 comments 2/04/2012 08:55:00 PM

Randai: Si Rupawan
dari Tanah Minang

Posted by isma - Filed under
the Randai stage


Seorang raja tak sengaja melihat seorang putri yang cantik dan baik, demikian drama ini dimulai. Sang raja atau Rajo Nan Panjang yang kala itu tengah menempuh perjalanan bersama dengan dua pengawalnya langsung jatuh hati pada Putri Sabai. Dia lalu mengutus Palimo untuk bertemu dengan Sadun Saribai dan Rajo Babandiang, orang tua Sabai. Rajo Nan Panjang ingin menjadikan Sabai sebagai istrinya. Tapi sayang, lamaran itu ditolak karena Sabai sudah bertunangan dengan orang lain. Penolakan ini tentu saja membuat Rajo Nan Panjang naik pitam. Ia menantang Rajo Babandiang untuk bertarung. Malang tak bisa ditolak, Rajo Babandiang kalah dalam pertarungan itu. Sebelum ia meninggal, Sabai datang menemukannya. Puteri yang lemah lembut itu sangat terpukul. Hatinya terbakar, ia pun bertemu dengan Rajo Nan Panjang. Ia ingin, agar tak ada korban lagi. Lupakan semua tentang lamaran, dan kembali ke kehidupan yang sebelumnya. Sang Rajo dengan apa yang ia miliki, demikian juga dengan Sabai. Tapi, Sang Rajo tidak terima. Ia ingin Sabai menjadi istrinya, apa pun yang terjadi. Jika ia tak bisa mendapatkan Sabai, tidak juga orang lain. Sang Rajo menyerang Sabai, dan terjadilah pertarungan di antara mereka. Rajo Nan Panjang yang besar dan kekar akhirnya mati terbunuh oleh keris di tangan Puteri Sabai.


the Randai movement

Elegan dan sempurna. Itu komentarku usai menonton pementasan Randai semalam yang lalu di Kennedy Theater. Elegan dari penampakan kostum yang dipakai, juga dari musik yang dimainkan, yang merupakan perpaduan seruling, gamelan, rebana, kecapi dan drum. Belum lagi ditambah dengan suara nyanyian yang ber-rhythm Minang, dengan liukan dan cengkoknya yang menawan. Padahal hampir semua penyanyi itu bukan dari Indonesia. Aku suka sekali dengan para penari Martial Art, yang berdiri membentuk lingkaran tepat di tengah panggung. Tarian mereka seperti menjadi jeda antara satu scene dengan scene berikutnya, dan di antara para penari itu adalah para tokoh drama Randai.

Randai adalah seni traditional drama dan tari yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian mereka tampak dinamis dan kompak, seperti gerakan silat, dan orang Minang menyebutnya dengan “silek”. Celana yang mereka pakai juga dibuat khusus. Ia seperti rok tapi memiliki dua sisi kanan kiri yang terpisahkan. Jika kedua kaki dibuka lebar, kain di bagian tangah di antara dua kaki akan terbentang dan jika ditepuk akan menghasilkan suara seperti kendang. Tepukan ini merek sebut dengan “tapuak”.

with the master of Randai, Pak Katik

Aku pertama kali mendengar Randai ketika tahun lalu aku ambil kelas di Departemen Theater. Belajar tentang sejarah drama dan performance yang ada Asia Tenggara, dan salah satunya adalah Randai. Jujur, sebelumnya aku tak pernah tahu apalagi mendengar tentang Randai. Bagi aku yang Jawa, Randai seperti kabar yang tak pernah tersampaikan. Tapi di Hawaii sini, Randai adalah master piece, dikagumi, dipelajari bahkan sampai mengundang guru randai dari Minang, Pak Katik dan Pak Jas, dan mementaskannya. Randai mungkin kurang dikenal di Yogyakarta, tapi di Hawaii Randai adalah Sabai yang elok dan rupawan, sekaligus gesit dan cekatan. Randai adalah Rajo Babandiang yang bertarung mati-matian demi tradisi dan adat Minang. Randai adalah cermin kekuatan perempuan dalam system masyarakat matrilenial masyarakat Minang. Dan tentu saja, Randai adalah Indonesia.

Mahasiswa Indo diperbolehkan untuk menggelar lapak makanan n souvenir

Sayangnya di Kennedy Theater, penonton tidak diperbolehkan merekam atau memfoto pertunjukkan. Jadi, yang aku sertakan di sini adalah preliminary performance Randai di depan art gallery East West Center. Ini dia.

Continue reading...