Suaranya bening dan renyah, khas suara penyiar radio dan presenter tivi. Mungkin kalau kualitasnya mau dibanding-bandingkan, suaraku cuma sampai level 50, sementara suara Dewi berada di level 100. Jauh sekali, tapi tak apa. Karena jelek-jelek, suaraku bisa masuk dalam satu gelombang udara dengan suara Dewi reporter Voice of America itu. Jadi bisa ikut naik bandinglah. Suara Dewi menyapaku langsung dari DC pada Senen 6 Maret pukul 2pm waktu hawaii, menindaklanjuti obrolan lewat email beberapa jam sebelumnya. Temanya seputar sekolah dan komunitas yang aku gawangi di Jogja. Sepintas, tak banyak menuntut pikiran. Tapi, begitu dipraktikan, jadi makan pikiran juga ternyata.
Pertanyaan yang membuatku harus memeras otak adalah pertanyaan tentang “belajar apa di Hawaii?” Pikiranku kontan berlari ke kelasnya Prof. Abinales tentang the perspective of Southeast Asian studies. “Jadi saya ambil kuliah di Asian Studies fokusnya di Art and Culture,” jawabku. “Art and Culture itu belajar tentang apa?” Aku kembali berpikir. Karena Art and Culture juga luas ternyata. Apakah aku belajar performing art, writing art, dance art. Ataukah belajar tentang Indonesian Culture, terus culture yang mana. Jadi bingung, harus memulai dari mana. Alhasil yang aku jawabkan adalah belajar bagaimana culture bisa termanifestasi dalam tulisan, bagaimana Indonesian culture, secara specific pesantren culture bisa dikomparatif studikan dengan culture-culture lain di seantero negara-negara di Asia Tenggara. Dan setelah menjawab itu, aku jadi galaw. Does it answer her question? Hehe.
Sebenarnya Southeast Asian studies di mana aku berafiliasi sekarang ini termasuk area studies, kalau dalam penelitian, atau akan diurai satu-satu, maka subjek penelitiannya adalah segala hal yang berhubungan dengan kawasan, dari penduduk, masyarakat, negara, issue-issue yang berkembang, dan perbandingan atau hubungan di antara semua hal itu. Karena luas sekali, di sini perlu adanya spesifikasi, dan spesifikasiku adalah art and culture.
Ngomong-ngomong soal art and culture, sebenarnya ini tidak tertulis sebagai prodi atau jurusan di Southeast Asian studies. Ini cara kita mengklasifikasi minat kita saja. Dan ini juga aku dapat dari pemberi beasiswa, bahwa kategori bidang yang aku pelajari adalah art and culture. Dari art and culture ini, aku ambil bagian yang lebih specific lagi yaitu women issues and creative writing in Indonesia. Ini aku rumuskan sendiri sebagai guide line ketika memilih mata kuliah juga memilih topic yang akan diteliti.
Nah, dari rumusan yang berbunyi women issues and creative writing in Indonesia, aku pun belajar tentang teori-teori budaya untuk menganalis what’s ongoing in my society. Untuk kelas ini aku menulis tentang “the formation of Islamic popular culture in Indonesia” yang membahas tentang gerakan komunitas penulis FLP dan Matapena dan mau aku presentasikan di University of California bulan April. Aku belajar tentang teori komunikasi budaya, dan untuk kelas ini aku menulis tentang analisis Iklan pemutih wajah. Aku belajar tentang feminist research method, dan aku melakukan interview tentang pengalaman penulis perempuan pesantren dalam proses kreatifnya, hasilnya mau aku presentasikan minggu depan di EWC conference. Aku belajar the history of performing art and drama in Southeast Asia, dan aku menulis tentang perempuan dalang di Indonesia. Aku belajar education for gifted student, dan ada bagian yang mempelajari tentang bagaimana memupuk dan mengembangkan bakat menulis.
Selain berdasarkan minat, ada mata kuliah yang berkaitan langsung dengan Southeast Asia sebagai area studies, yaitu wacana keilmuan di Southeast Asian studies juga riset-riset yang dilakukan. Untuk kelas-kelas yang dari depeartemenku ini aku menulis tentang “the new generation of women writers from pesantren tradition”, dan dimuat di journal Exploration. Juga menulis “not just an ordinary young moslem women: reading contemporary Indonesian and Malaysian young adult novel”, yang sudah aku presentasikan di Toronto Oktober kemarin. Menulis “the Regeneration of women writers from pesantren tradition: self initiative, learning environment, and education system”, dan rencananya mau dipresentasikan di Las Vegas conference bulan Maret.
Puff… kira-kira begitulah yang sebenarnya ingin aku ceritakan ketika menjawab pertanyaan Dewi tentang studiku. Tapi, have no idea waktu itu. Dan lagi it’s too long ya, menghabiskan pulsa dan bisa-bisa membuat telinga Dewi panas hehe. But anyway, bisa ngobrol dengan Dewi dari VoA adalah pengalaman yang bener-bener berharga dan menyenangkan. Terutama karena aku bisa berbagi pengalaman tentang Matapena, komunitas penulis santri Indonesia, tentang bagaimana remaja di Hawaii belajar membangun mimpi dan harapan, juga membocorkan novelku berikutnya. Semoga ada guna dan manfaatnya ya. Terima kasih, Dewi.
4 comments:
wah,,,bunda keren euuuy. itu siaran langsung bun?? bsok2 kasi tau mbak dewi, bahwa ada teman bunda yg suaranya bs dikategorikan SEMPURNA hihihi *ambil tOA
haha.. suara bisa renyah juga ya? hihi
mbak isma bisa galau juga.. hihiih...
---> mimi radial
bukan mimi, obrolannya direkam, diedit, baru dikirim ke radio yang bersangkutan untuk diputar :)
---->waroengblogger
sudah pernah mencoba renyahnya suara? hoho serenyah krupuk lho ...
---->ke2nai
iya, galaw pakai w ya hehe
Post a Comment