keluarga besar kami di yogyakarta |
Kata “mertua” mungkin tidak selalu terdengar enak di
telinga. Macam-macam saja bayangannya. Dari yang teknis dan terlihat mata
seperti sikap yang kaku dan tidak akrab, merasa terusik dengan campur tangan, sampai
hal-hal yang ekstrim misalnya sampai beradu mulut dalam pertengkaran. Malah
tidak jarang, teman dan sanak saudara ikut memberi saran kepada pasangan yang
baru menikah, agar tinggal secara terpisah dari “mertua”. Karena akan rumit dan menyeramkan.
Namun dalam kenyataanya, “mertua” tidak selamanya
seperti yang dibayangkan. Mertua, baik bapak atau ibu, dari pihak suami atau
istri, malah bisa memberikan kasih sayang dan perhatian seperti orang tua
sendiri. Barangkali sayalah yang termasuk di antara mereka yang beruntung
dengan anugerah bapak dan ibu mertua yang sangat baik dan selalu mendukung kegiatan
dan pekerjaan saya. Ibu mertua saya memang orang tua dari generasi lama dan bukan
aktivis muda yang masih penuh semangat. Namun, ia berpemikiran seperti Ibu
Kartini yang progressive dan modern.
“Kamu itu kalau mau daftar apa-apa mbok bilang, supaya
kami bisa ikut mendoakan,” begitu Ibu bilang ketika ia mendengar dari ayah kalau
saya akan mengikuti test bahasa Inggris untuk beasiswa sekolah ke luar negeri. Terus
terang saya jadi terenyuh. Saya sempat khawatir apakah Uti, demikian ia biasa dipanggil sebagai singkatan dari mbah putri, akan mendukung rencana
saya yang berarti membolehkan saya meninggalkan anak laki-lakinya dan
cucu-cucunya untuk dua tahun. Hei, ternyata ia malah senang. “Tidak apa-apa ya
Nok, Ibu biar pinter. Sekolah lagi,” jawabnya pada kesempatan yang lain.
Memberikan pengertian kepada Kak Shinfa.
Sejak menikah tahun 2004 kami tinggal serumah dengan
Uti. Ia ikut merawat dua cucunya sejak bayi. Bahkan ketika akhirnya
saya diterima sekolah di University of Hawaii at Manoa USA, Uti juga yang
membantu ayah merawat bayi mungil saya yang kedua, Kafkay Natha. Tanpa dukungan
Uti kayaknya mustahil kami bisa melewati masa-masa sulit itu. Dan,
alih-alih protes karena saya meninggalkan bayi di rumah, ia malah memberikan
dukungan yang sangat luar biasa. Hebat sekali bukan?
Uti juga terbuka dengan kesepakatan di
antara saya dan ayah. Bahwa tugas saya adalah memasak, memandikan anak-anak,
dan menyetrika. Sementara tugas ayah adalah mencuci dan menjemur pakaian. Tak
jarang seorang Ibu yang konservatif tidak rela anak laki-lakinya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Ia bisa juga merasa keberatan atau marah. Tapi, tidak
demikian dengan Uti. Ia bisa memahami dan menerima kesepakatan kami. Malah
kalau melihat baju kotor anak-anak, ia langsung menunjuk ayah untuk
membereskannya.
Tinggal bersama selama 8 tahun bukan berarti tidak ada
konflik. Riak-riak kecil tetap ada. Tapi, saya dan ayah selalu berusaha
menyelesaikannya dengan baik. Bukan konflik besar dan bersifat prinsip. Hanya
perbedaan pendapat misalnya dalam pola asuh anak-anak. Kami lebih fleksibel,
sedangkan Uti cenderung kaku dan beranggapan yang lebih benar. Bukan masalah
besar bagi saya dan ayah untuk mengalah dan mendengarkan pendapatnya dengan
baik. Bukan membantah dan mendebat. Dan sejauh ini kami baik-baik saja.
Postingan ini ditulis dalam rangka posting serentak untuk Hari Kartini 21 April 2015 oleh Kumpulan Emak-Emak Blogger :)
5 comments:
jasa uti banyak ya mbak. Apalagi waktu sekolah keluar ya kalau gak ada uti gak ada yang bantuin ya
---- Lidya
iya mbak, bersyukur sekali ada uti yang bisa membantu :)
Semoga Uti diberi kesehatan ya mbak, terimakasih partisipasinya yaa
Terimakasih partisipasinya ya mbak, semoga Uti selalu sehat walafiat
punya mertua yang sayang sama kita rasanya menyenangkan banget, ya :)
Post a Comment