Almarhum bapak pernah bercerita kalau Mbah Kasbari atau kami biasa memanggilnya Mbah Kastani termasuk salah satu yang ikut terbuang ke luar negeri pada masa penjajahan. Ia terdampar di Singapore. Di Negara yang terkenal dengan ikon singa itu ia berjuang untuk bertahan hidup hingga akhirnya menikah dengan warga setempat dan beranak-pinak. Tahun 80-an ketika aku masih duduk di bangku SD, hampir setiap liburan akhir tahun, Mbah Kastani berkunjung ke kampung halamanku, Pekalongan. Pernah datang sendirian, sering juga bersama anak-anak dan cucu-cucunya, membawa makanan, pakaian, dan uang. Tentu saja kami yang di kampung selalu senang dengan kedatangan mereka.
|
aunti jumuyah, pak jalali, pak syukor, alm. mbah kastani, alm. bapak dan pak ngaliman |
Hingga suatu ketika, Mbah Kastani dan keluarga tak pernah lagi berkunjung ke rumah. Hanya sesekali, dan satu dua hari saja. Aku pernah menghubungi nomor telpon yang aku dapat dari Simak, dan sempat juga ngobrol dengan Mbah Kastani. Tapi setelah itu, praktis tidak ada komunikasi. Dan tahun lalu, 2014 sebelum Mbah Kastani meninggal dunia, anak-anaknya kembali berkunjung ke Pekalongan. Dari sinilah cerita jalinan kekeluargaan di antara kami kembali dimulai. Aku bisa kembali terhubung dengan Diana, gadis kecil yang akrab denganku waktu kunjungannya puluhan tahun silam. Apalagi sekarang sudah ada facebook dan whatsup. Jarak di antara kami serasa dilipat-lipat saja.
|
bersama seluruh keluarga, kecuali pak jalali dan pak taslim |
|
bersama keluarga pak taslim |
|
bersama keluarga pak ngaliman |
|
bersama keluarga pak jalali |
Bertemu kembali setelah puluhan tahun tak ada berita, rasanya sesuatu sekali tentunya. Diana sampai harus meyakinkan apakah benar saya yang dulu menemaninya bermain waktu liburan ke rumah. "Aku kirim surat juga lho dan dibalas juga sama Yana dengan sebuah foto," jelasku. Sayangnya fotonya entah nyasar di mana hehe. Kami ngobrol banyak lewat Facebook, sebelum kemudian saya bisa juga bertemu dengannya secara langsung.
Aku senang sekali bisa menyempatkan untuk singgah ke Singapore sepulang dari Belanda, pada 17-20 Januari 2015. Diana sekarang bukan gadis kecil lagi. Demikian juga Erna dan Farhan. Para sepupuku dari Singapore. Selama empat hari aku tinggal di flat Pak Wo Ahmad. Secara bergantian, mereka menemani jalan-jalan. Dari Sentosa Island, Marine Bay, Singapore Zoo, Bugis street, naik Bianglala (haha apa namanya lupa), membuat hari-hari di Singapore jadi berasa liburan. Saya juga berkunjung ke rumah semua anak Mbak Kastani, satu per satu. Dari Pak wo Ahmad, Pak Ngaliman, Pak Jalali, Pak Taslim, Aunti Jumuyah dan Aunti Sabariyah. Seperti hampir semua penduduk Singapore, mereka tinggal di flat. Tapi aku suka lihatnya karena rapi dan bersih.
|
berasa jadi ponakan bener :) |
|
aunti sabariyah, erna dan diana yang sudah bukan gadis cilik lagi |
|
pose di pintu masuk sea world |
|
naik cable car |
Mendengar cerita seruku selama di Singapore, Simakku senang sekali. Akhirnya ada juga anak turunnya yang ganti menengok ke Singapore hehe. Bagi orang-orang ndeso seperti kami, ini bagian dari prestasi. Keren. Apalagi datang sendirian. Naik pesawat (haha). Simak jadi ingin juga sampai ke sana. Ayah dan anak-anak juga. Waktu itu aku sempat minta ayah dan anak-anak menyusulku, tapi ayah tak bisa ambil libur. Mungkin liburan akhir tahun ini. Semoga ada rezeki untuk kami bisa menjaga tali silaturahim antara keluarga Pekalongan dan Singapore. Semoga. Amiin.
2 comments:
Iya, Mbak, kayaknya cuma konglomerat aja yang di Singapore bisa punya rumah sendiri ya (bukan di flat)..
---> isnuansa
iya mbak, tapi kalau kata kami orang kampung, keren juga tinggal di apartemen hehe
Post a Comment