Apa yang ada dalam pikiran saya ketika mendengar nama Nepal? Meskipun saya lupa kapan pertama kali mendengarnya, nama Nepal membawa ingatan saya pada puncak Himalaya dan jajaran Mount Everest, salju, dan Tibet. Jika dulu saya pernah menyebut Madura sebagai Negeri atas Air, meminjam istilahnya Ra Faizi, Nepal adalah Negeri Atap Langit. Karena ia terletak dalam apitan jajaran pegunungan tertinggi di dunia.
Hujan kecil menyambut kedatangan saya di bandara Tribuvan Kathmandu. Suasananya hampir-hampir mirip dengan ketika saya tiba di bandara Toronto Canada. Bedanya cuaca Kathmandu tidak sedang ekstrim dingin, meskipun sedang sering diguyur hujan. Kebanyakan penumpang yang terbang satu pesawat dengan saya adalah pelancong, backpacker dengan ransel besar-besar ala petualang. Seperti Laury yang asli Philiphine, ia sengaja datang dari Bangalore untuk menikmati pendakian di titik Pokhara selama sembilan hari. Asyik sekali kedengarannya.
Kedatangan saya ke Kathmandu Nepal merupakan bonus dari perjalanan saya ke Bangalore India. Setelah program Monsoon School selama satu bulan, saya berhasil merencanakan dan mendapatkan tiket kembali ke Yogyakarta dengan rute melewati Kathmandu. Meneruskan kebiasaan singgah-singgah yang selalu saya lakukan waktu saya di Hawaii. Tujuannya Toronto, kembalinya lewat Montreal. Tujuannya Las Vegas, kembalinya lewat Boston, New York dan Washington DC. Tujuannya Los Angeles, kembalinya lewat Sacramento, Berkeley dan San Francisco. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
Setelah melewati proses pembuatan visa turis yang seharga $25 dan pemeriksaan imigrasi, dengan wajah berseri-seri saya melewati ruang-ruang bandara yang dibangun dengan dominasi tekstur batu-bata, salah satu karakteristik arsitektur Nepal. Tak perlu lama menunggu, begitu saya menghirup udara segar di pintu keluar bandara, kawan baik saya yang dulu sama-sama sekolah di Hawaii langsung menghampiri. Kami terakhir bertemu di bandara Honolulu Hawaii satu tahun silam, tepatnya 31 July 2012, ketika saya pulang kampung ke Indonesia. Tentu saja waktu itu saya tidak ada bayangan sama sekali akan bisa bereuni kembali setelah tepat satu tahun lebih sepuluh hari. Sebuah keajaiban!
Kami meninggalkan bandara dengan taksi, menempuh perjalanan kurang lebih selama setengah jam untuk sampai di tempat saya menginap. Sepanjang jalan saya menemukan pemandangan yang hampir-hampir seperti Bangalore, hanya saja lebih eksotis dengan karakter batu-bata pada bangunan-bangunannya dan penampilan orang-orangnya yang lebih fashionable. Sore itu saya belum bisa memulai hari pertama kunjungan saya. Saya menikmati waktu untuk istirahat, mengumpulkan sisa tenaga yang habis selama perjalanan dari Bangalore mulai pukul tiga pagi, transit di New Delhi selama empat jam dua puluh menit, dan tiba di Kathmandu pukul tiga sore.
Esok harinya, barulah saya memulai petualangan di Kathmandu. Pagi hari setelah menyeruput teh tarik ala Nepal dan biskuit, saya mendaki ke Swayambhunath temple atau disebut juga dengan Monkey temple. Ia terletak di puncak Kathmandu valley, di sebelah barat pusat kota. Lokasinya mirip-mirip dengan makam Sunan Muria di Kudus dan harus melewati sekian ratus tangga untuk sampai di atas. Di tempat ini saya menjumpai sebuah stupa besar dengan gambar mata dan alis sang Budha. Stupa besar dikelilingi oleh setengah lingkaran jajaran logam-logam silinder bertuliskan mantra Tibetan. Setiap silinder itu memiliki ruas yang akan membuatnya berputar-putar jika disentuh. Selain itu, ada banyak pusara dan tempat-tempat pemujaan tersebar di sekitar stupa besar.
Waktu itu bukan hari perayaan, tapi temple dalam keadaan ramai. Mereka berbasah-basah di bawah gerimis yang semakin deras. Setelah berkeliling ke temple lain di sekitar Swayambhu, kami berjalan pulang, melewati beberapa toko souvenir dan restoran. Kami beristirahat sejenak untuk sarapan sebelum menuju ke istana Patan. Kali ini kami naik angkutan kota, berupa mobil beroda empat dengan pintu di belakang.
Angkutan yang kami tumpangi dalam keadaan penuh. Seorang ibu yang baru saja naik, duduk di sebelah saya. Ia memperhatikan saya sejenak dan bertanya dengan bahasa setempat. Saya mendengar dengan tatapan bego lalu menggeleng, dan meminta perlindungan pada kawan saya yang asli Nepal. Mendengar penjelasan kawan saya, tidak cuma si ibu, penumpang lain yang duduk di hadapan saya juga memberi komentar sambil tersenyum-senyum melihat saya. “She thought you are Nepali that’s why she asked where this vehicle is heading to,” jelasnya. Sampai di sini rasanya saya ingin tertawa. Tak salah juga memang, karena kebanyakan wajah yang aku jumpai di sini memiliki mata sipit dan hidung kecil khas Tibetan.
Tiba di istana Patan, kami langsung berkeliling, melewati loket retribusi dengan diam. Bagi non-kama’aina (orang asing) harus membayar, tapi karena wajahku mirip Nepali, mereka membiarkan saja kami masuk dengan gratis. Istana Patan adalah kompleks istana yang terletak di Patan, pusat kota Lalitpur. Terdiri atas bangunan istana dan tempat-tempat pemujaan, berbahan susunan bata dan kayu. Sekilas melihat arsitekturnya, saya teringat menara kudus yang menonjolkan warna coklat bata dan atap bersusun. Seperti itulah Patani Palace.
Dari Patan, kami berjalan pulang menuju penginapan melewati Kathmandu Palace Square. Serupa dengan Patani Palace, ia didominasi susunan bata dan kayu. Pada salah satu bagian gedung, seorang biksu tengah memberikan “pengajian kuping”, duduk di atas mimbar. Sementara pendengar, duduk lesehan di hadapannya. Kebanyakan mereka adalah orang tua, laki-laki dan perempuan. Di sebelah gedung tempat mengaji itu terdapat museum. Namun kami tidak diizinkan masuk, kecuali membayar retribusi yang lumayan mahal. Kami hanya duduk-duduk memandangi lalu lalang pengunjung yang lumayan ramai. Untuk perayaan festival di Kathmandu, tempat ini biasanya menjadi pusatnya. Sayang kedatangan saya tidak bertepatan dengan perayaan yang pastinya sangat meriah dan ramai.
Hari kedua, tujuan pertama kami adalah Narayanhity Royal palace. Istana ini resmi berfungsi sebagai museum sejak 2004, ketika raja terakhir memutuskan untuk melepaskan jabatan dan meninggalkan kerajaan. Ada kisah sedih pembantaian yang menimpa keluarga kerajaan terjadi pada 1 Juni 2001. Terus terang saya jadi terbawa suasana haru ketika berjalan mengelilingi istana, mengingat peristiwa tersebut terjadi di tahun 2000an. Miris sekali! Selama menelusuri istana, kami tidak diperkenankan menggunakan kamera. Jadi tidak ada dokumentasi kecuali pada bagian luar istana
Di sebelah Narayanhity, terdapat Garden of Dream. Namun, lebih dahulu kami menuju the sister of Swayambhunath temple, atau disebut juga dengan Boudhanath temple. Ini juga termasuk Tibetan Budhis temple. Berupa sebuah stupa besar bergambarkan mata dan alis Budha pada dinding puncak stupanya. Berbeda dengan Swayambhu, lingkungan temple ini lebih berkembang dan kelihatan sebagai tempat tujuan wisata para turis asing. Teman saya sempat menceritakan kisah epic di balik pembangunan temple ini. Tapi, terlalu panjang untuk diceritakan dalam postingan ini.
Langit mulai gelap, pertanda hujan akan segera datang. Bersyukur kami sudah berada di dalam taksi ketika hujan benar-benar turun. Teman saya bergegas membawa saya ke Garden of Dreams. “Keep quiet,” pesan teman saya ketika kami akan membeli tiket masuk. Tentu saja supaya bisa dihitung sebagai kama’aina. Hujan masih rintik-rintik ketika kami masuk ke dalam taman. Tak jauh berbeda dengan Indonesia, taman-taman sejuk yang jauh dari keramaian biasanya dimanfaatkan pasangan muda-mudi untuk berduaan. Tapi, taman ini benar sejuk dan hening. Beda jauh dengan kota Kathmandu yang bising dan berdebu. Saya sungguh menyukai suasananya.
Selain mengunjungi tempat-tempat tersebut, tak boleh terlupakan saya juga mencoba kuliner dan belanja oleh-oleh. “Pagi kemarin kamu makan daal, itulah makanan khas Nepal,” kata temen saya ketika saya bertanya tentang kuliner. Tapi, kemudian kami menikmati samosa, manisan barfi, dan momo atau dampling. Yang unik dari samosa dan barfi yang saya nikmati, makanan-makanan itu disajikan di atas daun jati yang dimodifikasi menjadi mangkok kecil sekali pakai. Jadi, mereka tidak memakai mangkok plastik atau kertas. “Ini sustainable sekali bukan,” seloroh temen saya.
Untuk oleh-oleh, saya sempat membeli kain tenun dan baju tenun made in Nepal. Apalagi lingkungan tempat di mana saya tinggal adalah kawasan perbelanjaan untuk turis, atau semacam malioboronya Jogja. Sayangnya, saya tidak punya waktu banyak untuk menyisir satu per satu toko untuk menemukan barang bagus dengan harga paling murah. Saya juga masih ingin berfoto-foto di sepanjang jalan tikus pasar Kathmandu, yang ramai dan berdebu. Kawan saya juga sempat membawa saya untuk minum lassi, minuman yoghurt yang enak. Dua kali malah, dan saya tetap ketagihan.
Sekarang tiba saatnya untuk beranjak dari Kathmandu. “Are you satisfied with your visit,” tanya teman saya sebelum saya berangkat ke airport. Saya tertawa, “Yes, I am.” Meskipun jujur, dua hari tidaklah cukup untuk melihat Kathmandu saja, apalagi sampai Pokhara. Saya bermimpi bisa lebih lama lagi singgah di Nepal, untuk melihat dan menemukan pengalaman di kota-kotanya yang lain. Saya berharap mimpi saya suatu saat akan terkabul. Tunggu kedatangan saya kembali, Nepal!
9 comments:
cuma tau dari novel2 aja mbak :) asyik ya sudah bisa melihat langsung
Perjalanan yg menakjubkan ya mbak..
Jika punya impian yang akan diwujudkan, mari berbagi kisahnya di GA http://www.garammanis.com/2014/01/01/giveaway-kolaborasi-apa-impianmu/
Salam kenal
Wah, ngiri, aku pengen deh ke Nepal. Semoga suatu hari nanti bisa ke sana :)
Postingannya seru dan menarik.
suka sekali membaca narasinya. semoga akan lebih banyak cerita menarik dari perjalanan mbak :-)
insya Allah, suami saya katanya mau ke Kathmandu. Baca postingan ini kayaknya saya makin garuk-garuk karena gak ikut hihihi
Jadi inget waktu ke Bangkok, saya juga dikira penduduk asal, Mbak. Hehe
Makasih sharingnya, Mbak. Jadi pengen kesana :D
senengnya bisa punya kesempatan melihat-lihat kota di luar indonesia..
waaahh like this.. kapan ya aku bisa nyusul mba isma ke nepal yang gratiiiss hehe ^_^
Perjalanan seru Isma... thank you for sharing!
Post a Comment