Menjalankan ibadah Ramadhan di Indonesia mungkin akan terasa menyenangkan. Sore hari setiap masjid dan mushala akan menjadi layaknya pusat keramaian. Anak-anak dan remaja berkumpul untuk ta’jilan dan berjamaah maghrib bersama. Beranjak malam, para jamaah datang berduyun-duyun untuk melakukan ibadah shalat isya, tarawih dan witir. Suara mengaji dan ceramah seolah saling berlomba antara satu masjid dengan masjid yang lain. Ramadhan di Indonesia begitu terasa, dan rasanya begitu khas dan berbeda dari bulan-bulan yang lain. Tapi, bagaimana dengan puasa di Negara minoritas Muslim seperti di India? Suasana khas seperti apakah yang akan dirasakan?
Pukul 4 dini hari, seseorang mengetuk pintu kamar saya. Buru-buru saya membuka pintu, khawatir Sicillia, seorang teman Indonesia yang sekamar dengan saya akan terganggu. Begitu pintu terbuka, seorang perempuan berwajah khas India berdiri dengan selempangan kerudung sambil tersenyum, “Karlijn dan Jette sudah menunggu di kamarku, mereka mau ikut sahur juga,” ucapnya. Aku mengiyakan, kemudian mengambil makananku dan menyusul langkahnya menuju ke kamar sebelah.
Namanya Ayessa, ia lahir dan tumbuh di India bagian selatan. Nenek moyangnya berasal dari Afghanistan, dan sudah lama beranak pinak di India. Saya dan Ayessa dipertemukan oleh program Monsoon School on Pluralism and Human Development di Training Center National Law School University of India, yang terletak di Nagarbhavi Bangalore, India bagian selatan. Kegiatan ini berlangsung dari pertengahan Juli sampai Agustus 2013. Selain kami, ada empat belas peserta dari Indonesia, Belanda, India, dan Uganda yang mengikuti program ini.
Ini malam kesekian kami menikmati malam sahur bersama. Namun, kali ini kami tidak hanya berdua. Ada Karlijn dan Jette yang berkebangsaan Belanda menemani kami. “Saya ingin merasakan bagaimana makan pagi-pagi sekali lalu tidak makan seharian,” jelasnya. Aku dan Ayessa tersenyum-senyum melihat ekspresi mereka. Apalagi ketika tiba-tiba Karlijn bertanya, “Jam berapa besok kami boleh makan lagi?” Padahal puasa belum juga dimulai. Kami pun tergelak bersama.
Menikmati Ramadhan di India memang jauh berbeda dengan ketika saya di Indonesia. Sekarang saya menjadi bagian dari minoritas, apalagi di antara peserta Monsoon School hanya saya dan Ayessa yang berpuasa. Kami seperti menjadi orang “aneh” pada saat makan pagi dan siang. Karena kami tidak melakukan hal yang sama dilakukan oleh mayoritas peserta. Tekad untuk berpuasa juga harus dibangun dengan kuat, karena kami tidak tinggal di lingkungan muslim yang mungkin berperan melakukan dorongan sosial untuk berpuasa. Jadi, menjadi minoritas memang tidak mudah.
Saya tidak menemukan suasana Ramadhan di Nagarbhavi. Tarawih dan tadarus saya lakukan di kamar sendirian. Sahur pun biasanya hanya berdua dengan Ayessa. Untuk menu sahur, tergantung makanan dan lauk-pauk yang disediakan oleh koki dapur pada waktu makan malam. Tapi yang pasti mereka selalu menyediakan nasi olahan bumbu-bumbu khas India, ayam kari, roti nan, dal, sambar yaitu olahan sayuran dengan bumbu khas India juga, dan nasi putih. Saya dan Ayessa cukup mengambil seukuran satu porsi, dan menyimpannya di kamar. Dan kami akan menikmati makanan kami pada saat sahur, meskipun dalam keadaan dingin. Lalu bagaimana dengan buka puasa? Praktis tidak ada masalah, karena waktu buka puasa bersamaan dengan jam makan malam. Sementara untuk tarawih, kami melakukannya di kamar masing-masing.
Pada awal kedatangan saya di Bangalore, saya sempat menggagas untuk shalat Ied bersama di masjid dekat-dekat training center. Namun, Ayessa menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Oh, perempuan tidak dibolehkan shalat di masjid.” Saya terperangah dan tidak percaya. Ayessa lalu bercerita bahwa hampir semua masjid di India memberlakukan aturan yang sama sehingga ia pun tidak pernah merasakan shalat di masjid.
Ketika saya melihat-lihat kota Bangalore dengan trishaw, semacam bajaj, saya melihat banyak perempuan memakai penutup kepala, baik berbentuk jilbab ataupun berjubah panjang dan bercadar. Satu pemandangan yang tidak saya duga sebelumnya. Saya juga melihat banyak masjid lengkap dengan speakernya, seperti layaknya masjid di Indonesia. Saya lalu menjadi penasaran. Betulkan di antara masjid-masjid itu tidak ada satu pun yang membolehkan perempuan untuk shalat di dalamnya?
Saya bertanya tentang masjid yang bisa saya masuki pada supir trishaw yang seorang muslim. Ia memakai kupluk haji berwarna putih. Ia menjawab bahwa tempat perempuan untuk melakukan shalat adalah di rumah masing-masing. Saya juga bertanya pada penjual baju di dekat training center yang kebetulan muslim. Ia menjawab, “Perempuan melakukan namaz di rumah, dan lebih banyak bekerja di rumah. Sementara laki-laki pergi ke masjid dan bekerja di luar.” Saya bertanya lagi mengapa bisa begitu. “Begitulah yang berlaku dalam keluarga kami. Aturannya memang seperti itu,” jawabnya telak.
Tahu kalau saya begitu kecewa dengan aturan masjid itu, beberapa hari kemudian Ayessa mengirimkan link berita tentang gerakan foto yang dilakukan oleh Hind Makki sejak tahun 2012. Dia memposting foto-foto dalam web Side Entrance untuk menggambarkan bagaimana perempuan melakukan shalat di masjid di berbagai belahan dunia, sebagai bentuk protes dari larangan perempuan untuk shalat di masjid.
Tinggal untuk sementara waktu selama bulan Ramadhan di Nagarbhavi Bangalore memberikan pengalaman yang sangat berharga buat saya. Saya tahu bagaimana rasanya menjadi minoritas. Saya harus mengabaikan perasaan saya bahwa saya orang asing di depan orang lain. Saya mencoba untuk melakukan kegiatan yang tidak menyulitkan dan membuat masalah bagi mayoritas. Saya tidak memiliki ruang publik untuk mengekspresikan keberagamaan saya seperti apa yang saya dapatkan di Indonesia.
Akhirnya, saya mengerti bahwa afiliasi kelompok memiliki kekuatan yang besar di mana saya mungkin berani untuk mengekspresikan identitas saya dan mendapatkan apa yang saya harapkan dan inginkan. Memang, saya sering membaca beberapa artikel tentang bagaimana minoritas berjuang untuk hak-hak mereka. Tapi, sekarang saya mengalami sendiri apa yang mereka rasakan, meskipun belumlah seberapa.
Sumber: NU.ONLINE
4 comments:
Jadi minoritas? Kirain di India muslimnya juga banyak... :O
salam kenal mbak. saya tinggal di jepang, di dekat rumah saya ada masjid punya orang pakistan dan di masjid itu jg khusus untuk jamaah laki-laki, perempuan tidak boleh masuk. sama ya kayak di India (pakistan dan india kan tetangga) hehe. seneng baca pengalamannya mbak. semoga tetap istiqomah ya! :)
postingannya TOP... aku jadi belajar banyak neh mba he he he.. ups.. jangan lupa aku cangkingin oleh oleh yah....he he he
@ ---> first
kalau dibanding hindu, muslim lebih sedikit say. minoritasnya lagi karena aku perempuan dan hanya dua orang yang berpuasa di antara 16 participants Monsoon School. Perempuan di India gak dapat akses solat di dalam masjid, jadi minoritasnya menjadi dobel hehe
@ ----> mb Kartika
iya mbak, sepertinya memang ada kesamaan antara India dan Pakistan. Bersyukur sekali saya tinggal di Indonesia hehe. Amiiin.
@ ----> bunda ian
thank you mbak. ayo silakan mampir jogja utk ambil oleh-oleh hehe
Post a Comment