Spring break, dua minggu yang lalu, aku dan dua orang temen berkesempatan nyebelah ke pulau tetangga di Hawaii, namanya Big Island. Pulau ini dikenal juga dengan pulau Hawaii, pulau termuda dan terbesar di Hawaii. Sementara pulau yang aku tempati di mana ibukota Hawaii berada, namanya Oahu. Selain Big Island dan Oahu, Hawaii memiliki pulau lain seperti Maui, Kawai, dan Lanai. Transportasi antarpulau seringnya memakai pesawat, dengan jarak tempuh antara 30 menit sampai satu setengah jam-an.
Kami memakai Hawaiian Airlines, bangun jam 3 pagi untuk mengejar penerbangan jam 5an. Ini kali pertama buatku menempuh perjalanan antarpulau selama tinggal di Hawaii. Sampai di bandara Hilo sekitar pukul 6, usai subuhan kami segera melaju ke University of Hawaii at Hilo. Suasananya benar-benar berbeda dengan Honolulu yang ramai dan penuh gedung bertingkat. Hilo seperti kota tua dan terletak di pedalaman. Aku jadi inget film-film holywood yang settingnya memakai kota-kota terpencil di daratan Amerika. Sejauh mata memandang terhampar daratan dengan satu dua bangunan rumah, kalaupun bergerombol bangunan-bangunan itu adalah pabrik atau gudang. Tapi asyiknya, udaranya terasa segar dan bersih. Lengang dan damai.
Di University kami cuma foto-foto karena mereka juga sedang libur spring break. Perjalanan berlanjut dengan jalan kaki berkilo-kilo meter menuju ke pusat kota. Buatku yang bukan petualang sejati pasti seperti mematah-matah seluruh persendian kaki. Apalagi dengan beban back pack berkilo-kilo membuat punggungku mati rasa saking pegalnya. Di sini taksi sangat jarang dijumpai, demikian juga angkutan umum seperti bus. Benar-benar kota sepi.
Dari pusat kota kami menelpon taksi dengan mencontek buku telpon yang disediakan di box telpon koin. Kami menuju ke Arnott Lodge, sebuah penginapan biasa, agak menepi dari pusat kota. Suasananya semakin sepi. Lodge ini biasa dipakai para backpacker menginap karena mereka menyediakan yard untuk mendirikan tenda dengan hanya membayar $5 permalam. Murah memang, tapi mengkhawatirkan kalau hujan deras. Dijamin kedinginan. Kami memilih tinggal di paviliun, memiliki dua kamar, satu ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Keren. Dapurnya lengkap, dari kompor listrik, oven, berikut peralatan wajan dan sebagainya. Sepagian kami teler, satu hal yang sebenarnya amat disayangkan karena kita tidak sempat untuk mengeksplorasi alam di sekitar lodge. Karena ternyata di dekat-dekat daerah itu ada pantai dan pelabuhan.
Setelah makan perbekalan dari rumah, pukul 1 siang kami siap-siap mengikuti program tour Arnott menuju Rainbow water fall dan puncak Maunakea. Menggunakan van bermuatan 10an orang, seorang guide berkulit hitam dan gaya bicaranya yang khas hawaii, mengantar kami menjelajah dua tempat itu. Rainbow fall menurutku biasa saja, berbeda sekali dengan puncak Maunakea. Ini adalah puncak tertinggi di dunia yang mencapai 33,000 ft, jika ketinggiannya dihitung dari dasar laut. Puncaknya biasa tertutup salju, biasanya saat winter, dan di puncak gunung inilah salju bisa ditemukan di Hawaii.
Sepanjang perjalanan menuju puncak, aku cuma melihat hamparan sisa-sisa lava yang mengeras dan menghitam. Tak ada kehidupan. Tanah kosong dan cadas. Atau kalau tidak, tanah merah dan tanaman hutan yang liar. Kalau Hawaiian menganggap Mauna kena adalah the holy land, aku sangat bisa merasakan kesakralannya. Benar-benar memukau. Terdiam. Tunduk. Subhanallah. Erupsi ini terjadi 6,000 sampai 4,000 tahun yang lalu, dan aku tak bisa membayangkan seperti apa kejadiannya waktu itu. Membuncah dan membara pastinya.
Kami berhenti di ketinggian 9000, udaranya sudah sedingin kulkas. Aku dan dua temenku menikmati bekal arem-arem yang aku bawa dari dorm. Tiupan anginnya kenceng sekali. Aku yang tidak tahan dingin harus memakai dua kaos kaki, sarung tangan, dua jaket, tutup kepala dan syal. Beberapa orang juga sudah mulai mengenakan baju hangat masing-masing. Perjalanan dilanjutkan. Ketika melewati semacam gate menuju ketinggian, aku sudah mulai memastikan pandangan untuk menemukan salju. Karena beberapa hari sebelumnya instruktur nari hulaku sempat menunjukkan foto-foto hasil perjalanannya ke Mauna Kea yang hampir seluruh permukaannya tertutup salju. Tapi sekarang, tersisa tanah merah. Aku sedikit kecewa.
Sebelum benar-benar sampai puncak, kami sempat berhenti sekali untuk melihat semacam alat pemantau astronomi yang seperti raksasa robot milik NASA. Lima menit berhenti sudah membuat pipiku seperti tertimpuk es. Tapi, tetap saja aku belum melihat salju. Baru ketika van kembali berjalan, tiba-tiba mataku menggeliat riang. Ada warna putih memanjang antara warna merah tanah gunung. Yup, itu salju. Sayang, terlalu jauh untuk disentuh. Sama saja seperti melihatnya di foto atau televisi. Kecewa lagi. Meskipun kami sempat berfoto-foto, sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak yang sebenarnya.
Tiba di puncak, sebelum semua berpencar, guide membagi jaket tambahan untuk melawan dingin. Aku yang berhasil menangkap warna putih-putih, segera berhambur untuk memastikan saljukah itu. Yeee, ternyata benar. Aku bersorak girang, lupa dengan tamparan dingin di wajah. Aha, ada salju, yang mengeras seperti es di dalam kulkas. Tapi, ada juga yang bisa dikeruk seperti es gosrok jajanan masa SD. Tak menyisakan banyak, tapi lumayan untuk membuktikan bahwa di Hawaii juga ada salju. Di puncak itu ada empat bangunan untuk memantau astronomi juga, tapi tidak dibuka untuk umum. Kami lalu mencari posisi masing-masing untuk mengantar matahari tenggelam. Menatap kejauhan, awan putih bergerombol indah membuat aku seperti terbang di angkasa. Aku bisa menangkap keagungan semesta raya. Menelusup, menyatu, dan tunduk. Perlahan, matahari bergerak turun, warna senja terpendar menabuh gegap rasa kagum. Indah luar biasa.
Seluruh penumpang van sudah bergerak kembali ke mobil, sementara kami harus menunggu klakson dari guide barulah mau beranjak. Enggan meninggalkan keindahan Mauna Kea, meskipun dinginnya sudah tidak tertahankan. Napasku sudah sesak, seperti ada tekanan di dada. Aku harus berhenti berkali-kali dan menarik napas dalam. Baru kali ini aku merasakan dingin dan kehabisan napas. Aku sudah berpikir kalau aku akan jatuh pingsan, sesak bukan main. Bersyukur aku bisa sampai di dalam mobil dan mendapat segelas coklat panas, membuat dadaku kembali terasa lega.
Tak menunggu lama, mobil beranjak turun. Guide sempat mengajak kami berhenti dan berdiri melingkar di sebuah tanah lapang untuk melihat bintang-bintang di langit. Sangat jernih, seperti di planetarium. Ia menjelaskan tentang sistem perbintangan Hawaiian, sementara aku sudah menggigil kedinginan. Malam itu, aku menyudahi hari pertama di Big Island dengan klimaks yang terkatakan. Salju, dingin, awan, senja, dan bintang. Wonderful Mauna Kea ...
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
6 comments:
duh, kebayang indahnya .. apalagi bisa liat bintang bertaburan ...
mupeng banget deh ah ke Hawaii.. huhuhu. nggak ada direct flight dari jogja ke Hawaii ya?.
di jamin tuh,, di Mauna nggak bakal ada yang berani nari hula-hula. hahaha.. la wong dingin banget gitu.
aih, pengen megang saljunyaa..
bagus bageeet pemandangannya...
Mupeng juga nich
wuih.. bagus banget pemandangannya jeng...
bener-bener kesempatan yang ga boleh terlewatkan ya?
---->Dey
menakjubkan jeng pokoknya. saya sampai terpukau ... :))
---->Gaphe
silakan berkunjung ke big island. direct flight gak ada, harus transit manila, taipei, atau jepang. aku katrok nih, baru sekalinya pegang salju hehe
---->desy noer
ayo buk, mampirlah ke sini hehe
---->entik
iya jeng betul, mumpung. kalo sdh balik indo, mau ke sininya lagi berat di ongkos hehe.
edoooo! :))
Post a Comment