Agustus sudah datang menggantikan Juni dan Juli. Summer yang kata orang terasa panas, berangsur menjadi dingin karena masuk musim gugur. Setiap hari Manoa diguyur hujan, hujan tepung yang tipis. Seorang perempuan baya berseragam kaos biru tengah membersihkan dapur Ewa. Rambutnya yang berikal-ikal seperti pir bergerak naik turun setiap kali tubuhnya bergerak. Saya membatin, sudah berapa lama dia bekerja di dormitory ini. Apakah dia juga biasa menghitung waktu dan mengingat bagaimana pertama kali menginjakkan kaki di gedung ini?
Waktu tanpa dikomando memang akan bergerak. Kadang saat sadar terasa begitu lambat, tapi pada saat yang lain menjadi begitu cepat. Saat tertentu, saya suka waktu berjalan cepat, tapi tak jarang saya begitu nyaman jika waktu bergerak lambat. Sayang, 17 Juni yang saya ingin datangnya seperti gerak keong tiba-tiba menjadi secepat jet. Sampai-sampai saya workless, banyak yang ingin dipersiapkan tapi tak tahu mau memulai dari mana. Hingga, kalender pemberian sekolah tempat ayah mengajar benar-benar menunjuk ke angka 17 di bulan Juni. Ini berarti saya harus pergi.
Taksaka pagi dari Yogya menuju Jakarta berangkat pukul 10.00. Waktu dibonceng ayah menuju stasiun, rasanya begitu miris mengingat mungkin satu tahun kemudian saya baru bisa dibonceng lagi. Waktu menggendong Shinfa dari parkiran menuju gerbong, rasanya juga miris karena satu tahun kemudian puteri saya itu mungkin sudah semakin berat jika saya gendong. Sama mirisnya ketika saya menciumi pipi lembut Atha sebelum berangkat. Waktu menyalami satu per satu, dari ibu, kakak ipar, ponakan, tetangga, dan teman yang ikut mengantar saya seperti bedol desa, saya juga merasa miris. Duhai betapa mereka appresiate dengan keberangkatan saya. Benar-benar saya belum pernah merasakan momen seharu itu. Momen yang paling saya khawatirkan sebelumnya, dan pada waktunya memang harus dilakoni. Diiringi lambaian doa-doa, saya melihat shinfa menangis, gerbong pun bergerak. Pecahlah tangis yang sebelumnya saya tahan kuat-kuat. Ambrol.
Dua hari saya menyelesaikan urusan di Jakarta. Beberapa teman tampak menikmati saat-saat berduaan dengan suami atau istri. Saling meneguhkan niat dan kesetiaan. Wisma daerah diguncang gempa lokal katanya. Ah, mereka ada-ada saja. Saya sendiri lebih memilih bermalam dari sanak saudara satu ke saudara yang lain sembari berpamitan. Minta doa restu, seperti layaknya santri yang mau berangkat mondok. Siapa tahu juga dapat tambahan sangu. Selain itu, secara khusus ibu dan saudara-saudara saya dari Pekalongan datang ke Jakarta. Lagi-lagi, saya dibuat terharu.
Tanggal 20 Juni sore, saya dan teman-teman berkemas meninggalkan wisma daerah. Kalau saya perhatikan, sayalah yang paling banyak membawa barang. Ada dua travel bag masing-masing 22kg, satu travel bag kecil dan tas tangan yang saya bawa ke kabin. Saya juga yang paling banyak membawa pasukan pengantar, total 7 orang, ditambah budhe dan pakdhe yang jauh-jauh naik motor dari Bekasi untuk ikut melepas saya meski hanya di wisma daerah. Orang-orang tercinta itu, sungguh membuat saya speechless.
Begitu kaki melangkah memasuki pintu terminal bandara, petualangan pun segera dimulai. Beruntung saya bersama 7 orang teman sehingga saya yang tak berpengalaman jadi merasa tenang. Yang paling membuat saya khawatir adalah soal pemeriksaan karena terus terang saya membawa banyak bumbu masakan jadi yang berbentuk cair. Ketahuan sebenarnya tak soal, hanya saja saya harus merelakan banyak rupiah melayang. Setiap detik saya membaca shalawat supaya petugas perempuan yang sebenarnya manis kalau mau tersenyum itu jadi berkunang-kunang dan urung membuka koper saya. Ternyata manjur. Dari dua koper yang diletakkan di troli yang sama, koper teman saya yang diperiksa. Koper saya yang penuh dengan bumbu masakan melenggang aman menuju tempat penimbangan. Deg-degan lagi sebenarnya, tapi saya lumayan pede kalau berat travel bag saya tak melebihi batas. Ada lima kali saya dibantu ayah dan tetangga menimbang dua travel bag saya dengan timbangan beras di rumah. Hasilnya, memang aman.
Selesai boarding, rasanya semakin dekat saja waktunya untuk benar-benar menempuh hidup baru. Dua orang teman tampak sesenggukan karena harus merelakan suami mereka kembali ke kampung halaman. Keluarga saya sudah pamit sebelum saya masuk terminal, dan saya sempat menahan tangis juga. Menuju loket bebas fiskal, lagi-lagi saya membaca shalawat. Kali ini karena saya lupa membawa fotokopian NPWP. Namanya lupa, padahal siang harinya saya juga memfotokopi passport. Tapi, kali ini saya tak berdoa supaya si masnya kunang-kunang, cukup supaya tak bermasalah saja. Dan, saya mendapat peringatan, “Besok lagi bawa fotokopiannya ya …“
Saya dan teman-teman kemudian menuju antrian pemeriksaan imigrasi. Para petugasnya, masih muda dan segar. Saya perhatikan mereka memasang senyum yang dibuat berwibawa. Susah untuk menggambarkan. Yang jelas membentuk bibir di antara cemberut dan tersenyum. Selesai pemeriksaan, seorang teman berbisik, “Itu Rachel Mariam ya? Cantik banget!” Mataku mengikuti arah telunjuknya. Heran juga, malam-malam begini wajahnya masih saja bermake up segar. Aku ganti berbisik, “Kamu bilang mau mengalahkan kecantikan seluruh pengunjung bandara, bagaimana dengan Rachel Mariam?” Temenku itu tertawa lepas yang berbunyi, aku tidak sanggup.
Mengantri di pemeriksaan sebelum masuk ruang tunggu, seperti biasa saya membaca shalawat. Meski koper bumbu-bumbu sudah selamat masuk bagasi, di koper kecilku ada laptop. Beberapa teman ada yang bilang kalau laptop akan diperiksa. Tapi, saya percaya dengan penjelasan teman yang lain bahwa laptop hanya perlu untuk ditunjukkan saja. Ternyata, bukan laptop yang menjadi masalah melainkan satu kaleng susu beruang yang belum sempat saya minum. Ahh, sayang sekali. Terpaksa saya keluarkan susu mahal itu dan memasukkannya ke keranjang penyitaan. Saya malu untuk menenggaknya habis-habis di depan petugas karena saya tak terbiasa untuk membuat malu.
Di ruang tunggu, dadaku semakin ramai saja. Seramai celoteh anak-anak ABG entah dari lembaga mana yang ikut memenuhi ruangan itu. Mereka memakai t’shirt biru laut, dengan model dan tulisan yang sama, dan berwajah elit. Tidak seperti wajah saya dan teman-teman saya yang bisa sampai ke ruangan ini setelah melewati proses panjang selama satu tahun. Wajah beruntung anak-anak ndeso karena doa maqbul dari orang-orang tercinta. Sedikit info yang didapat teman saya, mereka ke luar negeri untuk English program. Pesawat yang sebentar kemudian akan membawa saya memang mendarat di Changi Singapore, lalu melanjutkan perjalanan ke Narita kemudian Honolulu.
Pesawat delay 10 menit. Semakin salah tingkah. Nerveous. Beberapa orang teman berkirim sms, mengucapkan selamat dan doa-doa. Saya masih sempat mereply, sempat juga memasang status. Sebagai kenang-kenangan, karena pasti jika status itu saya baca lagi, kenangan kecamuk rasa hati saya akan terputar kembali. Di ruang tunggu itu saya masih menyimpan ragu, tapi saya tahu tak mungkin untuk mundur ke belakang. Rasanya saya juga tak memijak tanah, seperti berada di awang-awang, dan saya hanya bisa membiarkan diri saya melesat sampai ke tempat jauh yang tak bisa saya terka. Terjadilah apa yang harus terjadi...
4 comments:
yah ampunnnn...masa aku lupa sih sama Topiiiiiiii......emangnya lagi dinegara mana sekarang bun???....btw, gak mo tanya ke aku sih kalo kita keluar tuh gak boleh bawa2 cairan..sebenernya boleh kalo di bagasi..tapi kalo hand carry..wahhh pasti dibuang...apalagi di s'pore tuh..super ketattt dehh...update lagi donggg
emang sedih kalau harus pergi jauh dari orang-orang tercinta di seberang lautan sono. Kalau aku kayaknya ndak kuat plus pasti dapat tanda dilarang berangkat sama bapakna ikhsan hihi..
Semoga semuanya baek2 aja jeng...,ndak ada yang berubah sampai dikau balik djogja.
wah, lama sekali tdk komentar d blog ini: rupanya harus pake Opera untuk bisa :-)
salam
Honolulu jauh sekali ya...
Sukses..
--> bintang
lama juga nggak chat lagi bin. kalupaan aja say hehe. tapi gak papa, botol paling kecil kok. aku skrg di hawaii, sekolah ;-)
--> entik
yap, c. setiap keluarga punya kesepakatan masing2. amiin, makasih ya doanya
--> rafa
saya komen ini pake mozila lho hehe. amiin. thanks yaaa
Post a Comment