Seoarang kawan resmi meninggalkan Hawaii dua hari yang lalu. Ia pulang karena studinya sudah selesai. Sehari sebelumnya, saya sempat menemaninya beres-beres kamar. Saya melihat ada dua koper besar yang sudah ia siapkan, menunggu koper-koper lain yang juga akan ia tata. Saya pernah punya pengalaman menata koper, tapi tentu berbeda keadaan. Saya menata koper untuk keberangkatan, dan teman saya menata kopernya untuk pulang ke kampung halaman. Seandainya saya berada di posisinya, pasti lembur bermalam-malam juga saya lakoni. Tergerak oleh rasa senang sebentar lagiakan bertemu dengan keluarga. Sepanjang perjalanan yang berjam-jam itu juga akan terasa cepat karena sudah terbayang seperti apa tempat yang dituju. Tidak seperti perjalanan pertama saya dari Jakarta menuju Honolulu yang berasa grambyang dan begitu lama.
Singapore Airlines tinggal landas dari Jakarta kurang lebih pukul 08.30 pm. Pesawat yang besar dan luas. Ada tiga barisan tempat duduk, jika tak salah ingat dengan komposisi dua tiga dua. Dingin AC langsung menggigit. Tak salah jika saya memakai jaket tebal dan kaos kaki. Setiap penumpang mendapat satu monitor video yang melekat pada sandaran kursi penumpang di depannya. Salah seorang teman saya tampak melirik-lirik penumpang sebelah, mencari tahu bagaimana cara menghidupkan layar itu. Maaf, sebagai orang kampung, ini benda baru yang penggunaannya tidak termasuk dalam materi pre departure kami. Saya cuma menyarankan, tanya saja sama pramugari, karena saya juga tidak punya pengalaman soal itu.
Meskipun ngantuk, susah juga mata saya terpejam. Giliran bisa maklher, suasana mendadak gaduh. Parapramugari sudah beredar membagi-bagikan menu makan malam. Kebanyakan mereka bermata sipit dan pasti berkulit putih dan tinggi seperti bangau putih di sawah. Elok dan tak bosan melihatnya. Bahasa mereka berbeda dengan bahasa keseharian saya. Tak ada lagi Bahasa Indonesia, berganti zona internasional, salah satu alasan yang membuat saya yakin ini bukan penerbangan domestik. Sekali pesawat ini tinggal landas, resmi sudah saya terlempar keluar dari area dalam negeri.
Tiba di Changi kurang lebih pukul sebelas malam. Saat menjelang turun, saya baru menyadari kalau telinga saya ternyata tidak tahan dengan tekanan udara.Pekak sakitnya luar biasa. Tak malu-malu, mata saya basah menahan sakit. Lalusaya berpikir, kalau masih ada dua penerbangan lagi dan saya harus merasakan sakit yang sama. Oh Tuhan, derita tiada akhir. Salah seorang teman saya menasihatkan supaya makan permen karet, atau menggerak-gerakkan mulut dan pipi, atau bernapas dengan menutup hidung. Sambil berjalan menelusuri Changi yang megah, saya melakukan semua saran itu. Hasilnya, tak begitu berhasil.
Cangi memang luar biasa besarnya. Selama hampir tiga jam kami berputar-putar mencari terminal untuk penerbangan berikutnya dengan pesawat Delta. Hasilnya tak jelas. Kami juga mencari-cari lounge yang difasilitaskan gratis untuk tidur sejanak. Pepatah malu bertanya sesat di jalan, tak terbukti kebenarannya. Kami bertanya berkali-kali, tetap saja tak menemukan. Beberapa teman sudah tak lagi genap ruhnya karena ngantuk, termasuk saya. Sampai seorang laki-laki datang di saat yang tepat seperti malaikat. Kami berdiri di depan lift cantik bergambar bunga-bunga, dan laki-laki itu menunjukkan jalan yang benar menuju lounge untuk menikmati slumbrete. Yaitu, naik ke lantai dua dengan lift bunga-bunga yang hanya muat untuk tiga orang.
Lounge yang dimaksud bentuknya adalah kamar-kamar kecil yang dingin luar biasa. Disekat oleh semacam anyaman bambu dan kelambu. Tanpa pintu dan kunci. Kami langsung tewas, terbaring di atas kasur busa yang empuk. Tak boleh ada suara. Huuusssst, beberapa kali si penjaga lounge mengisyaratkan itu. Tapi, satu hal yang bikin kagol adalah kami belum sempat makan di lounge itu. Karena pukul empat pagi kami sudah dibangunkan untuk segera boarding. Takut terlambat, dengan mata setengah hidup kami tergopoh-gopoh mengikuti dua orang teman yang sudah lebih dulu tahu jalan menuju Delta. Dengan tertib kami lalu mengantri, menyiapkan passport dan tiket elektronik. Tapi, sekali lagi lirik-melirik penumpang sebelah terbukti penting. Kami menyadari kalau ada lembaran lain yang dibawa para penumpang itu. Owalaaah, dasar ndeso, ternyata kami harus boarding dulu di counter Delta. Berlari-lari pagi kami menuju counter Delta yang hampir sajatutup karena sudah mendekati jam terbang.
Pesawat Delta tinggal landas pukul enam pagi tanggal 21 Juni 2010. Aroma bulenya semakin tercium. Pertama, dari penumpangnya yang kebanyakan berambut pirang.Saya saja duduk diapit dua bule, yang satu berkulit gelap, satunya lagi berkulit putih. Kedua, dari menu makanan yang disajikan. Nasi diganti kentangatau roti, dengan lauk yang rasanya aneh tidak menendang. Hampir delapan jam perjalanan tak juga membuat saya cepat tidur. Sangat tidak nyaman untuk tidur di kursi dengan pikiran tak jelas, "akan dibawa ke mana diriku ini." Apalagi menjelang landing di Narita, lagi-lagi saya merasakan sakit yang sama. Telinga ini rasanya seperti ditusuk-tusuk sampai dasar telinga. Nandes luar biasa. Yangsempat saya tangkap, saya melihat daratan Jepang begitu rapinya. Barisan lahan cocok tanam yang disekat kotak-kotak, tertata begitu rapi. Rumah-rumah tampak berkelompok di beberapa bagian, di dekat kotak-kotak tempat cocok tanam. Kurang lebih seperti itu aku melihat daratan Jepang lewat jendela pesawat.
Narita sama luasnya dengan Changi, atau mungkin lebih luas karena banyak sudut-sudut kosong tanpa orang. Padahal waktu itu pukul 14.15, waktunya jam sibuk. Masuk rest room, seorang teman sempat terheran-heran karena wastafelnya tak perlu diputar krannya untuk mengalirkan air. Cukup berniat dengan mengulurkan tangan, air secara otomatis akan keluar. Satu lagi yang cuma butuh niat, yaitu eskalator. Dia pikir tangga berjalan itu sedang rusak karena tidak bergerak. Ternyata yang dibutuhkan cuma niat dan berdiri di eskalator itu. Minum gratis juga bisa dilakukan hanya dengan menekan tombol dan memonyongkan mulut di depan kran. Sayang, tak ada internet gratis di Narita, tidak seperti di Cangi. Kata teman, dasar pelit dan perhitungan *hehehe*.
Di Narita, kami hanya melewati pemeriksaan seperti ketika kami akan memasuki bandara Cengkareng. Ini karena kami tetap memakai Delta, dan pemeriksaan intensif sudah dilakukan di Changi. Meski demikian, kami harus menunggu "terlantar" di Narita. Karena pukul 17.45 sore pesawat Narita-Honolulu baru akan take off. Jadilah kami membuka bekal masing-masing yang selamat dari penggeledahan. Indomie kremes, sosis, sisa ayam, dan nasi menjadi menu kami. Dicampur di atas selembar daun pisang dan dinikmati bersama. Terbatas tapi luar biasa nikmatnya. Sampai mendekati waktu yang dijadwalkan, kami menujuk ke gate yang telah ditentukan. Saya segera meminum obat tidur supaya bisa istirahat dengan baik. Tapi, rupanyasaya terlalu dini melakukannya. Jadi, belum juga duduk manis di pesawat, mata saya sudah berat luar biasa berasa seperti tak menginjak lantai. Obat tidurnya sudah sukses bekerja.
Pada penerbangan menuju Honolulu ini saya memilih duduk di dekat teman saya.Supaya bisa membangunkan kalau-kalau tidur saya kebablasan. Sementara teman saya itu duduk di dekat seorang bule army yang ganteng. Posisi duduk kami di barisan tengah. Setelah makan malam, saya sukses terlelap dan tak mimpi apa-apa. Tidak seperti dalam perjalanan Cangi menuju Narita, belum-belum saya sudah bermimpi sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya terbangun ketika matahari tampak sudah bersinar dari balik jendela pesawat yang berarti hari sudah pagi. Di hadapan saya sudah terhidang menu sarapan, semacam steak yang aneh di lidah. Para pramugari yang rata-rata berwajah latin sedang sibuk berkeliling menawarkanmakanan ke penumpang yang lain. Dalam pikiran saya, saat itu kurang lebih pukul enam pagi.
Saya jadi tersadar dan menghitung mundur, kenapa begitu jauhnya Narita ke Honolulu. Jika berangkat dari Narita pukul enam petang dan pukul enam pagi belum juga sampai, berarti sudah 12 jam melayang di udara. Tapi, saya ingat kalau ada perbedaan zona waktu antara Jepang dan Hawaii, tepatnya pada garis bujur bumi. Sebenarnya perjalanan dari Narita menuju Honolulu adalah enam jam. Tapi, karena ada perbedaan zona waktu, lamanya terhitung seperti 14 jam. Jadi sampai Honolulu yang semula harusnya pukul dua belasan malam tanggal 22 Juni 2010, menjadi pukul delapan pagi tanggal 21 Juni2010. Ini juga yang membuat saya bingung dan perlu adaptasi soal waktu dan kebiasaan badan untuk bangun dan tidur. Ini juga yang membuat saya seperti sedang bermimpi, terjaga tapi seperti sedang tidur.
Usai makan, saya dan teman saya sempat bertukar koin dengan si bule. Dia juga menjelaskan ada berapa macam uang koin di US. Tapi, tetap saja saya tidak hafal. Saat-saat itu sesekali pesawat seperti melewati geronjalan, membuat saya sempat menciut takut. Kata si bule bahwa geronjalan itu belum seberapa dibanding penerbangan di wilayah California yang membuat pesawat seolah kesandung dan oleng. Sepanjang itu saya cuma berdoa-doa dalam hati. Ketika lamat-lamat saya melihat seperti lautan, teman saya bilang kalau sebentar lagi pesawat akan mendarat. Saya mengangguk percaya sebab tiba-tiba telinga saya kembali terasa seperti mau pecah.
Dari atas pesawat, lautan Hawaii tampak begitu menawan, biru putih terbentang seperti permadani. Saya cuma sekilas saja mengagumi karena masih sibuk dengan pekak di telinga. Segeralah mendarat, begitu mau saya. Selain itu, saya juga merasa speechless, sebentar lagi akan benar-benar mendarat di negeri yang jauh dan asing. Jadi kepergian saya bukan hanya mimpi, tapi memang nyata. Dingin AC di pesawat saya rasakan seperti angkuhnya tempat dan lingkungan baru. Sendirian saya harus berjuang, bisa tidak bisa harus bisa. Turun di landasan, kurang lebih pukul delapan tanggal 21 Juni2010, angin pagi Hawaii menyapa. Semakin bertambah dingin, tapi saya berharap Hawaii tak sedingin udaranya.
Pemeriksaan panjang dimulai. Pertama, harus mengisi form keimigrasian dan antri diperiksa. Selain bule, kebanyakan penumpang pesawat adalah warga Jepang yang mau liburan summer. Sambil bergerak mengikuti antrian, saya berdoa semoga para bule penjaga itu bisa seramah petugas bule yang menginterview saya ketika membuat visa. "Can you speak English?" ini pertanyaan pertama begitu saya berhadapat muka dengan si bule Imigrasi. Lalu, tentang studi apa yang akan dipelajari di universitas, sampai si bule memintaku untuk menunggu. Dia beranjak menemui supervisornya sambil membawa passport saya untuk ditunjukkan. Saya mulai was-was, adakah sesuatu yang tidak sesuai. "Any problem?" tanya saya begitu dia kembali. Dia tersenyum dan menjawab tidak, dan sebuah stempel ditekankan di atas passport saya.
Menuju ruang pengambilan koper, saya dan teman-teman perempuan terpisah dengan teman-teman laki-laki. Karena laki-laki harus mengikuti pemeriksaan yang lebih intensif dan makan waktu lebih lama. Begitu semua koper sudah kami amankan, tiba-tiba datang seorang petugas dengan anjing pelacak. Dadaku refleks berbunyi-bunyi. Cilaka dua belas. Apalagi pas anjing itu memutari koperku yang penuh dengan bumbu masakan dan makanan. Untuk jumlah liquid yang boleh dibawa memang dibatasi, termasuk dilarang membawa daging-daging dan ikan. Saya sudah pasrah, kalaupun tercium, buanglah apa yang mau dibuang. Saya terus saja membaca mantra-mantra supaya anjing itu kepanasan dan pergi. Bersyukur, mantra saya dikabulkan.
Tapi, saya belum bisa lega karena masih ada pemeriksaan koper sebelum keluar. Meskipun random, bisa saja koper saya yang kebagian dicek. Saya melihat seorang perempuan muda harus membuka lebar-lebar kopernya dan si petugas meneliti isi koper itu dengan telaten. Saya pun berdoa lagi. Sayang, kali ini saya sedang diuji. Pada kertas yang saya dapat dari petugas imigrasi terdapat tanda A dengan lingkaran yang berarti saya menjadi target random check. Speechless. Dengan langkah kalah perang saya kembali ke lorong pemeriksaan yang seperti lorong-lorong kasir di pusat pembelajaan itu, sementara dua teman saya sudah melenggang aman keluar menuju tempat penjemputan.
Saya berusaha tenang, biar tidak mencurigakan.Dengan mantap saya mendekati petugas yang dimaksud. Dia sejenak membaca lembaran yang saya serahkan dan bergumam, "Hm, East West Center," sambil melihat saya. Hai, saya sedikit lega karena sepertinya ada petunjuk kalau saya tidak akan dianiaya. "Any food?" ia bertanya. Saya mengangguk, "Instant noodle," dan banyak yang lain, lanjutku dalam hati. "Beef, chicken, fish?" ia melanjutkan. Saya menggeleng mantap, dan kenyataannya memang saya tidak membawa tiga makanan sebangsa tiga itu. Dan, sudah, laki-laki yang paling baik itu membiarkan saya mendorong kembali troli koper keluar ruangan. Membiarkan saya bernapas lega karena hasil tatanan koper saya tak jadi dibuang percuma. Saya berharap, jika pada saatnyasaya ke bandara itu lagi, membawa koper-koper yang saya tata dengan tujuan untuk pulang kampung seperti kawanku itu atau untuk keberangkatan yang kedua, orang paling baik itu lagi yang akan saya temui.
5 comments:
hhhmmm..perjalanan yang mengasikkan yah....jangan lupa yah tetep update...aku mo tau cerita selanjutnya...mungkin nanti aku orang pertama yang akan baca postingan kamu...hehehe
makasih bin sdh berkenan membaca di tengah kesibukanmu ... keep blogging deh pokokna!
walah adoh men..seko jogja ko...tekan honolulu...nju kapn mulih neng jogja...tase dangu nopo?....mboten kangen kaleh putrinepun...salammm dr blogger jogja..he..salam kenal...
weh seru juga ya jeng, perjalananmu?
kalau aku masih membayangkan tuh naek pesawat sampai ke luarnegeri, paling-paling yo aku bakalan kliatan katrok dan ndeso hehehe...
---> ais:
salam kenal juga. programnya dua tahun jeng, bisa mudik tahun depan. smga lancar dan berhasil dg baik, amin.
---> entik:
hehe sama jeng, itu juga pertama kali mabur keluar negeri, aku cuma mbuntut sama temen2ku, manut aja bisaku :D
Post a Comment