Shinfa kenal istilah make up dari mana, aku juga tidak tahu pasti. Yang jelas, beberapa hari yang lalu, bangun tidur, dia langsung nyicuit, "Ibu, Dik Abik dibeliin make up ya. Sama lipstik." Aku yang baru aja shalat subuh kontan tertawa.
"Dik Abik ki ngimpi po?"
"Iya. Dik Abik ngimpi Ibu punya kalung, trus punya make up. Dik Abik nggak dibeliin," protesnya.
"Hehehe kan cuma mimpi. Lagian mana ada Ibu punya kalung. Dik Abik kan juga masih kecil, nggak bagus pakai make up. Ntar kulitnya rusak lho..."
"Ya udah kalau Dik Abik sudah besar ya, Dik Abik dibeliin make up."
"Iya," jawabku asal.
Hehe, lucu deh. Memang sudah menjadi kebiasaan, setiap bangun tidur aku memulai dialog kecil sama Shinfa dengan bertanya, "Semalam mimpi enggak?" Kadang Shinfa akan menjawab, enggak. Tapi, sering juga menjawab iya dan lalu dia akan bercerita. Namanya juga mimpi, kadang aneh, lucu dan nggak jelas gitu. Tapi, paling tidak, ini membiasakan dia untuk bercerita dan membuat cerita berdasar apa yang ia rasakan dan lihat dalam mimpinya. Kalau pas menakutkan Shinfa akan berekspresi takut gitu sambil bilang, "Dik Abit takuuut banget. Soalnya gelap."
Salah satunya ya mimpi soal make up itu. Tapi, kalau yang ini sepertinya lebih dilatarbelakangi oleh kebiasaan Shinfa yang suka marah kalau ibunya beli apa-apa sementara ia tidak dibelikan, dalam waktu bersamaan. Kadang, dia sudah punya pun kalau tahu ibunya beli sesuatu yang baru atau melihat hal baru pada ibunya, dia akan protes iri, "Dik Abik kok nggak dibeliin?" Dari potong rambut, jilbab, sepatu, apalagi perhiasan. Hal kecil seperti ketika Shinfa melihat fotoku yang dimake upi untuk syuting JAK-TV aja dia protes nggak terima. "Ibu kok dimakeupi, Dik Abik enggak?" Hehe.
Malah cincin nikahku harus aku relakan menggelinding dengan sukses masuk ke blumbang, dilempar sama Shinfa. Kejadiannya cepat saja. Kupikir dia cuma mau main-main di dalam kamar, pas aku lagi nulis sesuatu, dia minta aku melepas cincin yang aku pakai. Lengah aja dan begitu sadar Shinfa sudah berlari ke luar kamar. Aku segera menyusul, dan kudapati Shinfa sudah dalam keadaan tangan usai melempar sesuatu. Aku malah sempat mendengar bunyi gemerincing kecil seperti benda kecil yang membentur bebatuan.
"Kenapa dilempar, Dik?"
Bukannya dijawab Shinfa malah nangis. Mau marah tapi ya anak, enggak marah kok yang dilempar barang mahal. Tapi, mau gimana lagi. Alhamdulillah, aku masih bisa mendapat ganti cincin itu sama persis meskipun yang tersedia bobotnya berkurang dari sebelumnya.
Weleh, apa karena kita sama-sama perempuan ya, jadi apa-apa kudu sama. Soalnya nasib dibuang-buang ini tidak menimpa barang-barang baru milik ayah. Meskipun Shinfa tahu, sepatu ayah baru, misalnya. Ya, bisa jadi...
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
4 comments:
hehehe....lucu banget si....persaingan antara ibu dan anak :D klo ibu puny, adek harus punya.....untung ndak harus di turutin ya bu hehehe klo harus mah berabe tu......ntar ndak bisa bedain mana ibunya dan mana anaknya hihhii shinfa lucu deh ^_^
Membuat Website
Wah, wah....
kalau banyak ibu curhat kayak begini, bisa tambah asyik anak-anak kita... Salut, karena "masih sempat".
wah, kalo anak cewe gitu ya? pengen sama terus dengan ibukna hehe..
hehehe itulah serunya punya anak cewe bunda... maunya ngikut bundanya
Post a Comment