23 December, 2008

7 comments 12/23/2008 12:59:00 AM

Tentang 23 Desember

Posted by isma - Filed under
Seorang sahabat baikku bilang bahwa Oktober adalah masanya patah hati dan luruh. “Siklus para pecinta,” begitu ia bilang.
“Hah??? Yang bener?” aku berteriak, “trus semi lagi kapan?”
“Biasanya akhir Desember... sehari setelah hari ibu…”
“Hahahahahaha,” aku tergelak, begitu tahu tanggal berapa sehari setelah hari ibu. Tanggal 23 Desember. “Makasiiih, makasiiiih, ada yg ingat tanggal semi itu rupanya.”
Tapi, temenku itu malah memegang kening dan berpikir, “Wagu ora yah, bilang, apa sih yang bisa kulupa tentang isma hahahaha.”
Dan kami pun tergelak bersama.

Itu sepenggal obrolan tak bermaksud. Tapi, cukup bermakna untuk mendefinisikan tentang 23 Desember. Sehari setelah hari ibu, sebagai hari semi setelah sebelumnya patah dan luruh. Semi berarti tumbuh lagi, semi berarti mekar lagi, dan semi berarti memulai lagi. Semi tak berhenti pada patah dan luruh dan tak diam pada kalah dan gugur. Dan semi menjadi baru. Hidup baru, harap baru, semangat baru, Isma baru…

HAPPY B'DAY YA...

*Thanks ya, Sav. Untuk makna seminya...
Continue reading...

09 December, 2008

6 comments 12/09/2008 11:39:00 AM

Bilang "R"

Posted by Isma Kazee - Filed under

“Ibu Ibu, Dik Abit bisa bilang: Mbak U’r’el,” lapor Shinfa tiba-tiba sepulangku dari nguli. Seminggu sebelum lebaran idul adha. Dengan huruf R yang samara-samar.
“Coba ulangi, Dik,” pintaku.
“Mbak U’r’el,” ia mengulang, dan aku langsung terkekeh, mendaratkan hadiah cium buat Shinfa. Akhirnya, dia bisa juga mengucap huruf R. Setelah setiap waktu diajarin, dan nyerah dengan bilang, “Dik Abit belum bisa.”
“Coba bilang roti,” pintaku.
“Loti.”
“Hah! Kok masih L?” aku terkekeh.
Ternyata R-nya baru bisa untuk R-nya Urel. Tapi, nggak apa-apa. Sebagai permulaan sudah bagus. Tinggal latihan aja terus ya Shin. Tapi, aku terus jadi penasaran, bagaimana Shinfa tiba-tiba bisa mengubah Ulel menjadi U’r’el?
“Diajari siapa, Dik?”
“Mbak Tami,” jawab Shinfa. Dan, masuklah Mbak Tami ke dalam kamar.
“Ngajarinnya gimana, Mbak?” tanyaku.
“Dik Abit taksuruh bilang, ‘r’. Gitu,” jelas Tami sambil menirukan bunyi ‘r’ ala Inggris yang samar-samar. Hihi, ternyata Tami pinter juga yak.

Sejak sore itu, aku jadi sering ngagetin Shinfa untuk bilang, “Mbak Urel.” Dan, Shinfa menirukannya dengan ‘r’ yang samar. Tapi, untuk R pada kata yang lain masih berbau-bau L. Sampai dua hari yang lalu, dengan sumringah Shinfa unjuk kebolehan.
“Ibu, ‘r’okok, ‘r’ok, ba’r’u…”
Hehehe. Aku bersorak girang. Alhamdulillah… Shinfa sudah bener-bener bisa ngucapin konsonan “R”. Biar telat, yang penting nggak keterusan pelat ya Dik… hehehe.
Continue reading...

01 December, 2008

3 comments 12/01/2008 02:33:00 PM

Nepotisme dan Konektivisme

Posted by isma - Filed under
Siapa nggak tahu nepotisme, hayoo ngacuung… Pasti, tidak ada. Hampir setiap orang mengerti istilah nepotism. Sementara konektivisme, bisa jadi ini istilah yang aku “paksakan” untuk menambahkan rumpun kata semacam nepotisme. Tapi, yang pasti nepotisme dan konektivisme adalah dua cara yang bisa mempermudah pencapaian tujuan yang sering kali akan rumit, berbelit, bahkan gagal jika ditempuh dengan cara yang prosedural tanpa bantuan apa pun.

Aku termasuk orang yang senang dengan nepotisme dan konektivisme. Tapi, aku bukan orang yang gampang ‘merepotkan’ dan sabar berpangku tangan. Sejauh sesuatu itu bisa aku lakukan dan usahakan. Bisa jadi juga karena aku tidak pintar memanfaatkan jaringan atau link, atau memang dasarnya miskin koneksi.

Untuk memudahkan hubungan dengan para “malaikat” intelektual, seperti doctor dan professor, ternyata nepotisme dan konektivisme sangat penting. Apalagi jika Anda tidak ada kaitan apa pun dengan para “malaikat” itu. Bukan mahasiswanya langsung, bukan tetangganya, bukan yuniornya, bukan temannya, juga bukan saudaranya. Dan, tidak ada kontribusi apa pun yang bisa Anda berikan untuk mereka, sementara mereka harus memberikan waktu yang sudah sangat-sangat padat merayap.

Tahu kenapa para malaikat itu susah digapai apalagi disentuh?
Pertama, tentu saja kesibukan sehingga tidak ada waktu. Kedua, tidak merasa berkepentingan. Ketiga, khawatir cuma dimanfaatkan. Keempat, tidak berperipelayanan.
Keempat alasan itu murni analisaku, setelah semingguan ini mengamati dan terlibat langsung dalam perburuan “malaikat”. Dan, tentu saja, jika pada alasan keempat sebenarnya tidak ditemukan, aku pikir, akan ada itikat baik dari para “malaikat” itu untuk sekadar membalas sms sebagai tanda bahwa aku tidak benar-benar sedang berburu “malaikat” yang tak tersentuh.

Tapi, ternyata jurus nepotisme dan konektivisme bisa melampaui keempat hal tersebut. Meminta tolong dari link yang terdekat, ke link berikutnya, sampai pada link paling “ashor” yaitu aku. Ketika link terdekat itu sudah berkomunikasi dengan sang “malaikat”, paling tidak menggugurkan alasan ketiga dan kedua. Lalu, merambat ke alasan pertama dan keempat. Celah komunikasi pada link kedua dan seterusnya akan terbuka sampai pada celah yang paling sempit sakuprit, yaitu aku. Beruntung aku masih punya koneksi yang punya koneksi dengan “malaikat” (mbingungi nggak tuh!). Sebab, jika tidak, wa alamatuhu tidak digape sama sekali. Dan, selamat datang sakit hati. Hiks.

Kecuali, jika tidak ada lagi alasan nomor empat, mereka adalah sosok “malaikat” yang melayani. Dan, aku bersyukur, ternyata masih banyak para “malaikat” yang bisa aku sentuh. Mereka tidak perlu jalinan nepotisme dan konektivisme. Garansinya adalah niat dan prasangka baik. Apalagi untuk hal-hal yang baik, seperti yang sedang aku usahakan. Dan, aku berdoa semoga mereka selalu mendapat banyak berkah dalam setiap detik kehidupan mereka. Amiin.

Jadi, apakah Anda ingin berburu “malaikat” seperti aku? Jika “malaikat” itu tidak masuk kriteria paragraph yang terakhir, pesanku, jangan lupakan nepotisme dan konektivisme.
Continue reading...