Siapa nggak tahu nepotisme, hayoo ngacuung… Pasti, tidak ada. Hampir setiap orang mengerti istilah nepotism. Sementara konektivisme, bisa jadi ini istilah yang aku “paksakan” untuk menambahkan rumpun kata semacam nepotisme. Tapi, yang pasti nepotisme dan konektivisme adalah dua cara yang bisa mempermudah pencapaian tujuan yang sering kali akan rumit, berbelit, bahkan gagal jika ditempuh dengan cara yang prosedural tanpa bantuan apa pun.
Aku termasuk orang yang senang dengan nepotisme dan konektivisme. Tapi, aku bukan orang yang gampang ‘merepotkan’ dan sabar berpangku tangan. Sejauh sesuatu itu bisa aku lakukan dan usahakan. Bisa jadi juga karena aku tidak pintar memanfaatkan jaringan atau link, atau memang dasarnya miskin koneksi.
Untuk memudahkan hubungan dengan para “malaikat” intelektual, seperti doctor dan professor, ternyata nepotisme dan konektivisme sangat penting. Apalagi jika Anda tidak ada kaitan apa pun dengan para “malaikat” itu. Bukan mahasiswanya langsung, bukan tetangganya, bukan yuniornya, bukan temannya, juga bukan saudaranya. Dan, tidak ada kontribusi apa pun yang bisa Anda berikan untuk mereka, sementara mereka harus memberikan waktu yang sudah sangat-sangat padat merayap.
Tahu kenapa para malaikat itu susah digapai apalagi disentuh?
Pertama, tentu saja kesibukan sehingga tidak ada waktu. Kedua, tidak merasa berkepentingan. Ketiga, khawatir cuma dimanfaatkan. Keempat, tidak berperipelayanan.
Keempat alasan itu murni analisaku, setelah semingguan ini mengamati dan terlibat langsung dalam perburuan “malaikat”. Dan, tentu saja, jika pada alasan keempat sebenarnya tidak ditemukan, aku pikir, akan ada itikat baik dari para “malaikat” itu untuk sekadar membalas sms sebagai tanda bahwa aku tidak benar-benar sedang berburu “malaikat” yang tak tersentuh.
Tapi, ternyata jurus nepotisme dan konektivisme bisa melampaui keempat hal tersebut. Meminta tolong dari link yang terdekat, ke link berikutnya, sampai pada link paling “ashor” yaitu aku. Ketika link terdekat itu sudah berkomunikasi dengan sang “malaikat”, paling tidak menggugurkan alasan ketiga dan kedua. Lalu, merambat ke alasan pertama dan keempat. Celah komunikasi pada link kedua dan seterusnya akan terbuka sampai pada celah yang paling sempit sakuprit, yaitu aku. Beruntung aku masih punya koneksi yang punya koneksi dengan “malaikat” (mbingungi nggak tuh!). Sebab, jika tidak, wa alamatuhu tidak digape sama sekali. Dan, selamat datang sakit hati. Hiks.
Kecuali, jika tidak ada lagi alasan nomor empat, mereka adalah sosok “malaikat” yang melayani. Dan, aku bersyukur, ternyata masih banyak para “malaikat” yang bisa aku sentuh. Mereka tidak perlu jalinan nepotisme dan konektivisme. Garansinya adalah niat dan prasangka baik. Apalagi untuk hal-hal yang baik, seperti yang sedang aku usahakan. Dan, aku berdoa semoga mereka selalu mendapat banyak berkah dalam setiap detik kehidupan mereka. Amiin.
Jadi, apakah Anda ingin berburu “malaikat” seperti aku? Jika “malaikat” itu tidak masuk kriteria paragraph yang terakhir, pesanku, jangan lupakan nepotisme dan konektivisme.
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
3 comments:
wah aku dadi bingung baca postinganmu yang ini mba..
bahasane tinggi huh susah dipahami orang seperti sayah
gak2-e sampeyan ki lagi ngerjain opo to buk? *bingung*
btw, tips soal nepotisme dan konektivismnya boleh juga tuh utk diterapkan 'kapan'2 :D
gutlak aja yah, semoga semuanya lancar sesuai keinginan ;)
Post a Comment