Sekian tahun aku tak lagi berkunjung ke Tambakberas. Tepatnya ke Pondok Pesantren Al-Fathimiyyah Bahrul Ulum. Biasanya masih ada kegiatan semacam pelatihan tulis-menulis, tapi praktis setelah menikah aku tak lagi ikut ambil bagian dalam acara itu. Kalau dihitung-hitung ada tiga tahunan aku tak lagi menginjakkan kaki di bumi almamaterku itu. Terakhir road show Matapena tahun 2005.
Sampai, pada tanggl 22-23 kemarin, ketika ada undangan untuk mengikuti acara Halaqah Kebudayaan Pesantren di Tebuireng, aku berkesempatan melepas kangen ke Tambakberas bareng sama Uus, anak Bumiayu yang juga peserta halaqah dan ternyata alumni Al-Fathimiyyah tahun 2002.
Sore usai pembukaan halaqah, aku dan Uus ngangkot menuju Tambakberas. Aroma khas sungai yang manis karena limbah pabrik gula, mengiringi perjalanan kami. Di dalam angkutan aku mendengar perbincangan khas Jombang yang keras dan lantang. Aku jadi tersenyum, teringat logat bicaraku yang kurang lebih seperti itu. Sebelum kemudian berganti menjadi logat Jogja yang ndono-ndene.
Sampai di pasar, kami ganti angkot warna hijau yang ternyata ngetemnya lumayan lama. Aku sempat mengeluh, karena waktu kami tak banyak. Jika berlama-lama, bisa ketabrak waktu maghrib, dan kami tidak tahu harus naik angkutan apa untuk kembali ke Tebuireng. Perlahan angkot kedua yang kami tumpangi pun berjalan, sesekali berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Aku benar-benar menikmati perjalanan sore itu. Perjalanan menuju lepas kangen yang terpendam bertahun-tahun.
Di depan pintu gerbang Bahrul Ulum, kami turun. Berasa seperti santri yang akan kembali ke pondok. Secara aku dan Uus memakai bawahan rok selain jilbab tentunya, kostum khas pasa santri. Melangkah di jalanan Bahrul Ulum, pandanganku langsung tertuju pada gedung sekolah Tsanawiyah. MTs Bahrul Ulum. Tiga tahun aku belajar di sana. Sekarang sudah berganti menjadi MTs Plus Bahrul Ulum. Sayang, sudah sore. Tidak bisa sekadar mampir dan menampakkan perubahan wajahku. Isma yang imut sekarang sudah ibu-ibu.
Perubahan kedua, sisi kanan kiri jalan sekarang tak ada lagi jeda tanah. Penuh oleh toko kebutuhan sehari-hari. “Ini kan warung puteri solo itu ya?” aku mengingat-ingat. “Iya, Mbak.” “Ah, tapi masak sih...,” aku masih ragu. Ahh, kalau saja tidak kepancal sore, ingin sekali aku mencicipi rujak cingur puteri solo yang legit pedas. Kami menjuluki penjualnya dengan puteri solo karena memang gerak-geriknya yang lemah gemulai.
Sebelum ke Al-Fathimiyyah, mampir dulu ke rumah Mila, penulis Ning Aisya. Janjian, kalau dia mau ikutan ke Tebuireng malam itu bareng kami. Lalu, mampir ke warung Mbak Sus. Hai, perempuan ibu-ibu itu tetap saja cantik dan putih. Hampir tak ada perubahan pada dirinya. Waktu aku dan Uus mengatakan itu, dia tersipu-sipu. “Masak sih, Mbak?” Hihi. Aku berharap mendapat diskon harga gula teh untuk pujian kami, ternyata tidak. Hihi. Ada-ada saja.
Melewati warung Mbak Sus, mataku tertuju pada kantor KAMTIB alias keamanan dan ketertiban dan KPM BU (Kelarga Pelajar Madrasah Bahrul Ulum). Kalau KABTIB, aku nyaris tidak ada kenangan.
Tapi di KPM BU, aku jadi teringat Mbak Ida dari Bojonegoro, Cak Munib dari Paciran... mereka partnerku di Majalah Dinding LANA. Hai, where r u, and how r u... Kenangan lucu dan seru ala santri tiba-tiba hadir. Komunikasi antarkru putera dan puteri bisa dilakukan lewat surat, dan baru esok harinya aku dan Mbak Ida ngecek balasan. Tidak cuma soal LANA, ada juga urusan bikin album kenangan. Karena kebetulan krunya sama, jadi sekalian aja surat-suratannya di KPM-BU. Hihi... antik deh!
Ini gedung MI. Aku tak ada kenangan dengan gedung ini selain sebagai gedung tempat lomba-lomba ketika jelang Haflah pesantren, nonton film Rabiah al-Adawiyah, dan tempat aku praktik ngajar di akhir sekolahku di Muallimat. Eh, ada lagi. Aku teringat Titin, adikku dari Jember yang tidak tahu bagaimana rimbanya sekarang. Dia sekolah di gedung itu, dan biasanya kita akan berpapasan pas jam istirahat. Miss u, Diiiik...
Dan, sampailah aku dan Uus di pintu gerbang Al-Fathimiyyah. Di pintu gerbang ini aku dulu biasa menerima wesel dan paket dari rumah. Gerbang ini jadi pintu utama mobilitas santri, masuk dan keluar pesantren. Gerbang ini juga sempat aku tuliskan di Jerawat Santri, sebagai tempat menunggu teman-teman Una sebelum berkegiatan Posyandu di kampung penduduk.
Dulu, jaman aku masih mondok, gerbangnya belumlah sebagus itu. Masih berupa pintu kecil. Itu pun cuma pintu luar saja. Sementara sekarang, setelah gerbang ini, masih ada gerbang lagi yang menuju ke asrama puteri. Sejak kapan, aku sendiri tidak tahu persis.
Memasuki AL-Fathimiyyah, tujuan pertama kami sebenarnya sowan Bu Salma. Tapi, pengasuh kami itu sedang tidak ada di tempat. Aku pun mengajak Uus untuk mampir ke kamar Al-Jamilah 4. Kamar yang kutempati selama hampir 7 tahun di pesantren. Dan, sampai 2008 pun ternyata tak ada perubahan yang berarti. Selain pergantian para penghuninya. “Bisa ketemu ketua kamar?” Ini kalimat pertama yang kutanyakan. Aku bingung mau ketemu siapa. Secara aku sudah tidak lagi punya kenalan ataupun saudara.
“Mbak siapa?”
“Mmm... alumni. Ada yang dari Pekalongan?” tanyaku kemudian.
Dan, mereka pun tergopoh-gopoh menggelar selimut untuk aku duduk. Dengan wajah sumringah mereka duduk melingkar. “Ini adiknya Mbak Umi Hanik, Anis,” salah seorang dari mereka memperkenalkan temannya. “Ini Anis? Dulu masih dua tahun lho. Walah-walah... wis gede,” aku terkaget-kaget. “Kalau ini adiknya Mbak Ulum, Eva.” Kembali aku membelalak. “Kalau ini adiknya Uqi, ponakannya Mbak Zum... ini juga...”
Hmm... aku mengangguk-angguk sambil melebarkan senyum. Benar-benar seperti terlempar ke beberapa tahun silam. Aku mencari-cari dan mengingat-ingat posisi almari kecilku, juga kotak sandalku. Kaca besar itu juga masih terpasang kokoh di dinding. Tulisan Sunan Kalijaga juga tetap tak terhapus. Aku resapi setiap lekuk bangunan kamar lamaku itu penuh rasa. Paling tidak aku coba menyatakan semua mimpi yang bercerita tentang masa-masa indah dan sedihku di pesantren, mimpi yang sampai sekarang kadang masih menemani malam-malamku....
To be continued
harus memilih
-
ceritanya aku apply dua peluang setelah wisuda dari leiden. peluang pertama
adalah postdoctoral yang infonya dishare sama bu barbara. yang kedua,
peluang...
1 year ago
6 comments:
lagi mengenang masa lalu toh jeng, semoga bisa terobati ya ....
asyiknya yg lagi nostalgia ..
Baca postingan di atas jadi ikut terkenang PP Bahrul Ulum. Kita tunggu lanjutannya lho jeng...
halah jeng..indahnya hidupmu..jalan2 mulu..hehehe
aduh is... beruntungnya diriku masih ada yang mengenal di El-fath walaupun cuman dua orang hehhehe. Tempat yang selalu aku coba kunjungi kalau lagi di El-Fath adalah Jeding dan warung Yu Nur plus kantor IPM. Jadi terharu banget. Masih ingatkah dirimu dengan mimpimu saat itu untuk duduk di kursi putar?? Or masih ingatkah dirimu ketika kita main drama waktu jumpa fans IDE dengan Noqilah, Eting, Mbak Ima Maryono?? hehehe
Mbak, dari sini yaa awal mula ide *Ja' Jutek* itu yaA?? :D
btw asyik yaa Mbak, kembali ke masa lalu *mengenangnya* jalan ke kamar dan tempat2 indah yg dilewati slama 7thn, mana tempatnya dan juga letak barang2nya msih sama pula... waahh pasti keinget teman2 dan segala kegiatan wktu itu ya? *sok tau[.]com* :D
Post a Comment