Si Manis adalah nama seekor kelinci yang berbulu putih bersih. Ia tinggal di sebuah taman istana raja Syahrazad yang sangat luas. Setiap pagi, bersamaan dengan terbitnya sang mentari, si Manis berlari-lari mengitari taman yang penuh dengan beraneka macam bunga yang berwarna-warni. Sesekali ia melompat tinggi-tinggi menghindari lemparan bola Ayessa, puteri raja yang berumur hampir 7 tahun, yang datang menyusul untuk bermain-main dengannya.
Si Manis tak pernah berwajah murung atau sedih. Bibirnya tak pernah lupa untuk tersenyum, memamerkan deretan gigi-gigi kecilnya yang putih. Atau suara gelak tawanya tak akan lupa diperdengarkan ke telinga puteri Ayessa, setiap kali mereka bemain bersama. Bulu-bulu putihnya juga selalu tampak berseri-seri, akan terasa lembut dan licin jika dibelai. Lihatlah matanya, yang kecil runcing berwarna putih dengan bulatan hitam di tengahnya, pasti ia akan bergerak jenaka membuat gemas setiap tatapan yang memperhatikannya.
Si Manis memang benar-benar kelinci yang manis. Pantas saja jika ia sangat disayang, tidak hanya oleh keluarganya yang terdiri atas ayah, ibu, dan kakaknya, tetapi juga oleh seisi istana, terutama sang Puteri.
Namun, pada suatu hari si Manis tampak lain dari biasanya. Ia duduk termenung di pinggiran taman. Wajahnya tertunduk lesu. Bibirnya terkatup mungil dengan mata menekuni rerumputan tempat kaki-kakinya berpijak. Padahal sang mentari belum sepenuhnya menampakkan diri. Artinya, sebenarnya masih banyak waktu tersedia bagi si Manis untuk bergembira seperti biasanya. Tetapi tidak hari ini.
Tiba-tiba seorang tukang kebun datang mendekatinya.
“Hai, Manis. Kenapa bersedih? Sudah tiga hari belakangan ini kuperhatikan kamu tampak berbeda dari biasanya.”
Si Manis masih tetap pada sikapnya semula. Ia bergeming.
“Ayolah, ceritakan kepadaku ada masalah apa. Ada baiknya rasa sedih itu jangan kamu pendam seorang diri. Jika begitu, apa gunanya sahabatmu yang tua renta ini, Manis,” rayu si tukang kebun.
Beberapa saat si Manis tetap diam. Namun tak lama kemudian, si Manis mulai bersuara. “Sudah tiga hari ini sang Puteri tidak bermain bersamaku,” ucap si Manis dengan suara parau. “Aku jadi sedih.”
Si tukang kebun tampak mengerutkan keningnya. Memang benar kata si Manis, dia pun tidak lagi melihat puteri Ayessa berlarian bersama si Manis tiga hari ini. Apakah ia sakit? Tapi siapa pun pasti akan mendengar berita itu. Atau sedang keluar kota? Juga tidak ada kabar tersiar kalau keluarga baginda sedang pergi.
“Kamu sudah cari tahu kenapa?”
Si Manis menggeleng, lalu berkata: “Belum. Tapi aku yakin sang Puteri pasti sudah bosan denganku. Aku tak lagi menarik untuk dijadikan teman.”
“Eh, Manis,” kata tukang kebun menyela, “jangan berpikiran seperti itu. Belum apa-apa kok sudah berprasangka jelek. Itu tidak baik. Siapa tahu sang Puteri sedang ada urusan tertentu. Kenapa kamu tidak coba cari tahu?”
“Siapa sih aku ini!” tanya si Manis seolah mengejek dirinya sendiri. “Aku hanya seekor kelinci, mana bisa masuk ke dalam istana.”
Kali ini si Manis benar-benar tertunduk sedih. Matanya redup dan lamat-lamat ada genangan air di pelupuknya. Si Manis hampir menangis.
“Aduh, Manis. Sepertinya kamu tidak lagi bisa melihat betapa manisnya dirimu. Padahal sebenarnya banyak teman-temanku iri melihat kamu begitu akrab dengan sang Puteri. Kalau kamu tidak istimewa, kenapa sang Puteri mau bermain denganmu?”
Sebelum si Manis menimpali, tukang kebun menambahkan: “Kamu kelinci yang baik dan menyenangkan. Itulah kenapa sang Puteri menyukaimu. Kamu adalah sahabat sang Puteri, dan karena itu kamu berhak masuk ke dalam istana, untuk menanyakan bagaimana keadaan sahabatmu itu.”
Si Manis masih tertunduk. Dia hanya mendengarkan saja kata-kata si tukang kebun, dengan kedua telinganya yang berwarna putih kemerahan.
“Kamu harus percaya diri. Karena aku yakin raja dan pengawalnya tidak akan melihat apakah kamu kelinci atau manusia, tetapi bagaimana kamu bersikap dan berbicara baik di depan mereka. Sungguh aku berkata benar.”
Si tukang kebun sudah cukup banyak berbicara. Dan melihat si Manis yang hanya diam, dia pun akhirnya bersiap-siap untuk pergi, untuk kembali bekerja. Tetapi, di luar dugaan, sebelum dia berdiri, si Manis mengangkat kepalanya, dan bertanya: “Betulkah begitu?”
Tukang kebun mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya si Manis berhasil memahami kata-katanya. Dan tanpa menunggu lama, si Manis pun melesat pergi meninggalkan tukang kebun setelah mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia berniat menemui puteri Ayessa di istana.
Sebisa mungkin si Manis menjaga sikap dan kata-katanya agar sang raja dan pengawalnya berkenan menerimanya. Dan memang benar apa yang dikatakan oleh tukang kebun, akhirnya si Manis diizinkan untuk menemui sang Puteri.
“Maafkan aku, Manis,” kata sang Puteri ketika menemui si Manis di kamarnya. “Hari ini adalah hari di mana aku genap berusia tujuh tahun. Dan setelah hari ini, setiap pagi aku harus mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru istana. Jadi aku tak bisa lagi berkeliling taman di pagi hari,” jelas sang Puteri.
Si Manis mengangguk-angguk tanda maklum. Kemudian ia mohon diri, tentu dengan hati sedih karena esok ia tak bisa lagi bermain-main dengan sang Puteri. “Aku dan sang Puteri memang berbeda,” ratapnya dalam hati.
“Mau kemana kamu, Manis?” tanya sang raja.
“Hamba mohon pamit, Baginda. Terima kasih baginda sudah mengizinkan hamba untuk menemui sang Puteri. Semoga sang Puteri selalu bahagia.”
Dan si Manis siap beranjak, namun…
“Kamu kelinci yang baik dan hebat,” kata sang raja. “Kedatanganmu ke istana menunjukkan betapa kamu peduli kepada Ayessa, puteriku. Tinggallah di sini, Manis. Puteriku pasti akan menerimamu dengan senang hati.”
Si Manis tercengang. Antara percaya dan tidak, ia mendengar kata-kata baginda. Belum selesai ia dengan rasa bingungnya, sang Puteri sudah meraihnya ke dalam pelukan, sembari berkata: “Terima kasih, Ayahanda. Ini benar-benar hadiah ulang tahun yang sangat istimewa buat nanda.”
Si Manis tak tahu harus berkata apa. Tetapi matanya yang indah itu tampak berbinar bahagia. Tentu saja, ia bahagia karena ternyata sang Puteri tetap menyayanginya. Memang, seharusnya ia tak berprasangka buruk. Akhirnya, si Manis pun tetap bersahabat dengan sang Puteri untuk selama-lamanya.__________________________________
*Beberapa hari ini aku iseng-iseng membuka file lama yang tersimpan di server. Tidak dinyana aku banyak meyimpan cerpen, baik yang masih bakal atau yang sudah jadi. Hihi. Lucu juga rasanya, pas aku membaca kembali tulisan lamaku itu. Karena aku sudah lupa bagaimana jalan cerita dan endingnya. Jadi seperti membaca tulisan orang.
Ini tulisan tanggal 15 Januari 2004. Contoh cerita buat teman-teman Oegi Studio. Dan, karena cerpen itu memang hanya jadi koleksi pribadi dalam arti belum dipublikasikan, tak ada salahnya aku posting saja di sini. Siapa tahu ada yang ingin membaca... hehe :) Hepi wiken semua...
6 comments:
jadi ngantuk nih abis baca.. kayak didongengin..
mmm...aku jd si manis nya ya..terus isma puterinya,gitu??kan bersahabat untuk selama-lamanya..*wink-wink*
wah emag seru bgt yaa kalo nemuin tulisan2 jadul kita, mbaca ulang..
aku baca bt modal dongengin azka nii:)
Tak copy ya wuk, buat Salma...
Biar dia belajar gimana nulis.. akhir² ini dia lagi keedanan nulis terus tuh, pe aku gak dapet jatah pegang kompi hehehe...
Ceritanya bagus, sayang anakku dah gede, udah nggak suka cerita ginian he..he...kalau nggak kan bisa kucopy & print buat dia.
duuuh senangnya bisa nulis crita seindah ini... =)) bikin buku crita donk say, trus jualan, aku jadi pembeli pertama deh..
-evan-
Post a Comment