22 November, 2007

10 comments 11/22/2007 04:35:00 PM

Belajar Culture

Posted by isma - Filed under




Baru kali ini nih aku merasakan adanya culture gap. Maklum sejauh dan sepanjang hidup aku relatif aman-aman ajah menetap di Jawa. Paling banter ke Jawa Timur, yang meski kata orang jenis kejawaannya berbeda dengan kejawaan Jawa Tengah. Tapi, karena masih sama Jawanya, jadi aku masih fine-fine ajah. Selain mungkin karena jawanya Jawa Timur dengan jawanya Pekalongan tidak terlalu berbeda. Karakter orangnya keras, dan jenis bahasanya juga keras.

Awal-awal tinggal di rumah suami aku sempat merasakan culture gap itu. Aku yang di Pekalongan terbiasa cuek dan agak nggak mau pusing sama anggapan orang, kalau di Jogja semua-mua pakai standar pandangan orang. Nah lho! Capek kan. Misalnya, malam Jum’at biasanya ayah Shinfa ikut jamaahan pengajian. Tapi karena capek jadilah dia berniat mbolos. Tapi, tetep ajah diingetin, “Apa kata orang kok nggak ikut.” Hehe, jadi inget iklan: Apa kata duniaaaa…

Itu soal sikap, belum soal bahasa. Contoh kecilnya, kalau di Pekalongan istilah “sungkan” itu sama persis dengan malas. Tapi, kalau di Jogja, “sungkan” itu bermakna “tidak mau karena nggak enak hati”. Jadi pernah suatu kali Ayah Shinfa bilang, “Mbok makan sana!” Trus karena lagi males aku jawab, “Sungkah ah!” Terdengar di telinga ayah pasti akan beda, dan dia menyangka aku merasa nggak enak hati buat makan jadinya nggak mau.

Ada lagi misalnya: “glelengan”. Kalo yang ini di Pekalongan artinya berbaring leyeh-leyeh sambil melepas lelah. Tapi, kalau di Jogja “glelengan” artinya nakal dan nggak bisa diatur. Weleh, beda amat yak!

Dan, pasti masih banyak contoh-contoh lain soal culture gap ini. Yang aku maksud dengan culture di sini bukan tari-tarian, busana, atau tembang-tembang apa gitu. Melainkan lebih ke sikap, cara pandang, bahasa, dan tata pola keseharian kita dalam berhubungan dengan orang lain. Misalnya, kalau orang Jawa cenderung neriman, biar lambat asal selamat, dan mendem mburi, berbeda dengan orang non-Jawa yang cenderung keras, cekatan, dan suka apa adanya.

Ini masih di dunia Indonesia sendiri. Aku membayangkan jika culture gap ini terjadi antara orang Jawa misalnya dengan orang Barat. Contoh, orang Barat dikenal disiplin dan professional. Sementara orang Jawa cenderung sakmlakune dan mengalir. Hihi. Yang satu sudah sampai Jakarta, yang satunya masih jalan di tempat. Belum ke soal model hubungan dengan keluarga, tetangga, atau teman, yang imbasnya sampai juga ke bahasa. Yang satu pakai Inggris beneran, yang satu pakai Indonesia yang diinggriskan. Meannya jelas beda kan? Hehe.

Tapi, sejauh komunikasi bisa dibangun aku pikir akan bisa menjembatani gap-gapan itu. Sebelum menjadi lebih perah, yaitu culture shock. Dalam hal ini jangan memakai karakternya orang Jawa yang suka mendem mburi. Jadi, karena nggak enak trus nggak jadi menjelaskan apa yang dimaksud. Karena ini menghambat komunikasi. Misalnya, aku akan menjelaskan ke Ayah Shinfa apa yang dimaksud dengan “sungkan” versi Pekalongan. Jadi kalau aku keceplosan ngomong “sungkan” ya maknanya bukan “sungkan” versi Yogya.

Yah, namanya hidup kan tidak sendirian. Dan, sebagai konsekuensinya aku ya harus bisa memahami kultur orang lain. Kalaupun ada salah kira dan salah tangkap, maklum aja, kan masih belajar. Jadi, jangan “sungkan” *versi Jogja* untuk mengingatkan aku ya…

10 comments:

Dimas M said...

saya orang indonesia...ibu bapak jawa - berati orang jawa yah? ahhahaha...tapi saya sekeluarga cekat-ceket loh...

mbokne kyra said...

aku juga ngerasain nih culture gap yg kek gini, di jakarta sini...

dulu keknya di jogja atau kediri kalo sama temen tuh akraabbbbb banget, tapi sekarang disini..elo elo..gue gue...

kangen punya temen yg bisa diajak share kapan aja...

bundAzkaFaqih said...

hihiiiii sak omah ae ono culture gap yo ,jeng...malahane, dadi variasi..:)

ojo sungkan lho yo..;)

Vie said...

Kalimat "sungkan" bisa juga diartikan "malu atau segan". Seperti "jangan sungkan-sungkan main aja kerumahku" ya artinya bisa "jangan malu-malu main aja kerumahku" atau "jangan segan-segan main aja kerumahku".

Orang Medan kalo bicara, bayangannyapun ikut bicara. Jadi perbincangan antar 2 orang sering dikira mereka sedang bertengkar.

Anonymous said...

Sesama orang Jawa aja masih merasakan adanya "culture gap", apalagi aku dan ayah yang emang beda suku. Aku Gorontalo, ayah Jawa-Pekalongan. Dari soal tutur kata n bahasa emang jauuhhh banget. Si ayah yang sering negur aku, yang katanya kalo ngomong suka gak sopan gituh. Padahal aku merasa biasa-biasa ajah. Makanya setiap ngumpul dengan keluarga ayah baik di jakarta atau pekalongan aku lebih banyak diam. Takut salah! Bennerr.. rasanya tegang terus hihihihi.. Takut salah sikap, salah bertutur kata, salah mengucapkan bahasa..
Beda dengan si ayah di Gorontalo, semua keluargaku menilai orangnya sopan, santun, pokokke "the best" deh.. Lha wong jowo! :D

Iman Brotoseno said...

itulah Indonesia ya..bangga dengan keanekaragamannya..

Anonymous said...

Culture Gap aku sesama wong jawa klo bicara dg suami kadang malah ada bahasa2 yg tak ku mengerti misal jawa ngoko inggil blas..blas...tapi laen ma suami , pinter banget

Anonymous said...

Itu baru Pekalongan dan Yogya kan Is? Ntar kalau Pekalongan dan Malang (Jatim), wah beda lagi lho. Kalau kita jenguk orang sakit, di Pekalongan kita bilang "niliki". Kalau di Malang, niliki itu dipakai untuk makanan, artinya "nyicipi" he..he.. Makanya dan suami lebih sering pakai bahasa Indonesia he..he...

Ryuta Ando said...

Gpp semakin beragam semakin menarik..nah aku gimana coba, ya ya itulah hidup, ya toh..

Ryuta Ando said...

Gpp semakin beragam semakin menarik..nah aku gimana coba, ya ya itulah hidup, ya toh..