Wajahnya tampak kusut dan kusam. Sangat jauh dari wajah tampan dan segar yang dulu sempat kukenali, bahkan menghiasi hampir separo indahnya masa remajaku. Dia menatapku penuh nelangsa.
“Maaf, aku baru bisa mengungkapkan ini semua sekarang,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Aku terdiam. Antara percaya dan tidak. Antara gamang dan bahagia. Antara sesal dan biasa-biasa saja. Mungkin karena terlalu lama rentang waktu terlewat antara aku dan dirinya. Waktu yang sanggup memupus getar rasa itu, meski tidak semuanya.
Aku mengenal baik dirinya tujuh belas tahun yang lalu, ketika aku masih hijau segar dalam balutan seragam sekolah Madrasah Ibtidaiyah sementara dia sudah gagah menyenangkan dalam balutan seragam Madrasah Aliyah. Meski masih bersaudara mindoan, nenek kami kakak beradik, kami jarang bertemu. Seingatku dia sekolah di Bogor. Jadi, hanya ketika liburan saja retina mataku bisa menangkap wajahnya yang tampan dan telingaku mendengar tutur katanya yang sopan dan menyejukkan.
“Kamu mungkin beranggapan kalau keterusterangan ini hanya sia-sia. Iya aku mengerti. Karena toh semua sudah terlambat,” lanjutnya.
Aku masih saja terdiam. Kali ini kurasakan seperti ada riak yang menggenang di bola mataku. Kepalaku menunduk, coba menghindari tatap matanya yang penuh oleh pancar cinta dan rindu. Jujur, sebenarnya inilah saat yang selalu memenuhi hampir separo harap jiwaku kala itu. Bahkan, tidak saja saat aku terjaga. Pada saat aku tidur pun harapan itu muncul dengan tiba-tiba menjadi sebuah mimpi. Kadang indah, kadang menyakitkan. Dan, aku hanya bisa tersenyum bahagia, atau malah menangis tersedu setiap habis tidur. Sendirian, di dalam kamar.
“Lin, tolong bicaralah…”
Aku menelan ludah. Setitik air benar-benar menetes di punggung telapak tanganku. Mungkin hanya ini yang bisa aku keluarkan, bukan berlembar-lembar kata yang setiap hari sejak aku mengenalnya selalu aku tulis menjadi bertumpuk-tumpuk diary. Sungguh aku sudah tak punya kekuatan lagi meski hanya untuk bertanya: “Dari mana saja kamu?” Kekuatan itu sudah habis. Musnah. Tinggal ketidakberdayaanku harus kembali tenggelam dalam rasa itu, justru saat aku sudah tidak lagi bisa merasakannya.
Aku mengangkat wajah, menatapnya tajam. Rasanya ingin sekali aku menghakiminya…
Mencaci-maki, bersumpah serapah… Melemparnya dengan seribu kenangan indah yang berakhir menyakitkan… “Tidak tahukah kamu kalau aku harus menimbun harapan dan doa lebih dulu untuk bisa bertemu denganmu, meski itu cuma sekelebat bayangan. Dan, kamu tahu, rasa bahagiaku sanggup bertahan untuk beberapa hari untuk kemudian aku harus kembali berharap dan berdoa?” aku tergugu dalam hati.
Aku ingat waktu itu, entah kenapa setiap kali aku akan bertemu dengannya, setiap kali itu pula aku seperti mendapat intuisi. “Lewatlah jalan ini, Lin. Karena dia akan melewatinya,” bisik kata hatiku. Atau, “Kenapa kamu tidak main ke rumah nenekmu, sepertinya dia akan menemui om kamu siang ini.” Dan, ketika aku benar-benar melihatmu, kamu tahu, dadaku berdentum hebat! Apalagi jika kamu sempat menyapaku, dadaku luluh lantak oleh gegap gempita kebahagiaan.
“Lin, bicaralah…
Aku mendesah pelan. Sekarang tidak hanya satu tetes, air mataku kini sudah menjadi ribuan anak sungai yang membanjiri pipiku. Aku biarkan, agar ia bisa membaca seberapa dalam isi hatiku tanpa harus aku tumpahkan segala isinya. Yah, andai saja dia tahu bagaimana girangnya aku setiap kali Om Hari menyebut namanya di depanku. Setiap kali ia diminta ibunya untuk mengantarkan sesuatu ke rumahku. Setiap kali dia menatapku diam-diam saat sekolah sore di rumahnya… Remeh memamg, tapi dalam dan mendalam.
“Maafkan aku, Lin,” ucapnya sekali lagi. Aku berkedip, menghalau genangan air di kelopak mataku. “Waktu itu aku tak punya keberanian dan keyakinan untuk berterus terang padamu. Aku pun menangkap sikapmu tak ubah seperti kamu bersikap pada Mas El, pada Om Hari…,” ia menggantungkan kalimatnya. “Lin, jawablah… ungkapkan isi hatimu…”
Sebenarnya tanpa harus aku ungkapkan pun sudah pasti dia tahu semua isi hatiku. Karena siapa pun dari keluargaku tentu bisa menangkap kalau aku juga memendam rasa untuknya. Cukup lewat girang sikapku dan binar bahagiaku acap kali mereka menyinggung dirinya. Hanya saja, entah kenapa aku lebih memilih untuk mengenalnya sebagai saudara mindoan, meski kian hari perasaanku semakin dalam dan napas kerinduanku kian membuncah hanya untuknya. Sakit memang, tapi rasa itu begitu asyik, indah, dan penuh dramatisasi.
“Lin, dulu…”
“Hm… sudahlah, Mas,” aku menepis pelan. “Dulu biarlah menjadi kenangan indah untuk masanya. Karena, sekarang, kita sudah punya cerita masing-masing yang akan menjadi kenangan indah untuk masa ini,” jawabku pelan. Meski dengan hati hancur, mendapati mata itu kian sayu dan putus asa.
“Tapi, kita saling mencintai kan, Lin…”
“Tapi, kita sudah terlanjur memilih jalan cinta kita masing-masing,” potongku cepat. “Sudahlah, Mas. Masa kecil dan remajaku memang habis untuk menuliskan cinta dan kerinduan pada sampean. Hampir 17 tahun. Tapi, aku sudah cukup berbahagia dengan itu, tanpa aku harus meminta diriku untuk membagi semuanya pada sampean. Biar semua akan menjadi diary bacaan puteriku kelak… bahwa ibunya pernah menjadi pejuang cinta tanpa nama,” lanjutku sambil tersenyum hambar.
Perlahan aku berdiri, menatapnya sekilas dan berlalu. Aku tak mau berlama-lama berkubang dalam masa lalu. Apalagi di bawah tatapan penuh pengertian dari istri Mas Erbei dan ayah dari puteriku. Meskipun toh semua hanya mimpi.
Lagi-lagi, hanya mimpi. Mimpiku semalam niy. Heran deh.
Jadi, siapa bilang banyak bermimpi itu tidak asyik? Xixixixi. Bener-bener serasa jadi gadis 17 tahun yang sedang dilanda patah hati euy. Dan, aku hanya bisa menarasikannya sebatas itu. Memang, tidak sempurna. But at least, suatu hari kelak, Shinfa bakal tahu kalau semalam ibunya jadi remaja lagi… suit…suit!
Ohya, pamit dulu ya
Bakal jarang BW niy, mo brb beberapa hari
Doakan selamat sampe balik ke depan kompi lagi, amiin.
Happy week end ya buat semua…
17 comments:
Wah aku juga kalo mimpi dapet yg asik² seringnya, smalem mimpi ma Dhani Dewa.. hiks apa karna bis liat mamamia yah?? uhuk
Mimpinya ada-ada aja. Suit..suitt mimpinya gimana gitu. Kayak drama Korea ah..
halah mimpi lagi tah mbok??
mimpi katanya bunganya tidur .. tapi gak tau lah soale kadang mimpiku jadi nyata lho :p
mbok jangan lupa oleh2 nya apel 2 kilo yah :p
Wah mimpinya panjang yah...Asik yah serasa remaja...bangun tidur masih gadis gak? he..he..
hihi..bangun tidur dah gak gadis lagi yah? loh mau hiatus toh,mau kmana?
penulis lg critain mimpinya disini dibalut kata2 indah... jadinya enak dibaca, pengen deh bisa nulis keik dikau.. hux..hux.. mungkin gak yah? mimpi kali yeee
suit suit mimpi masa gadis... pasti bangun tidur senyum2 sendiri dan berkali2 ngaca nih..Shinfa ibu kok dah puber lagi ya..?
Wah mimpinya sejuta kenangan, slesai mimpi senyum simetri n ngaca2 hehhee
eheemmm... emang beda yaa.. klo seorang penulis yg nuangin kisah mimpinya... kata2nya ituw tuuhh mengalir indah bow... *mauu dunkz mbakk.. diajarin nulis *comment gk nyambung :D
Halaaah, mimpi rupanya.
Tapi kok bagus juga ya ceritanya. Enak dibaca.
Mimpinya serinbg-sering ya diceritakan dalam bentuk cerpen...lumayan baca karya gratisan. Cepet kembali ya bu..
mimpi aja dikau mah bisa berbentuk cerprn yak? ;)
salut dah!!!
Walah.. mimpi tho Mbakyu.. tak kirain apaan,koq kayaknya serius banget. Tapi bagus lho kayak cerpen he..he...
walah... tiwas bacanya serius, ternyata cuman mimpi tho... xixixi
owalaahhh.. mimpi aja bisa jadi cerita bagus gitu di tanganmu ya Jeng :)
btw, kmrn di Malang cuman sehari tok tah? ato sms aku emang pas udah mau pulang? *curaaanggg* hihihi...
Kirain cerpen ternyata mimpi tho :D Yo wis sering2 mimpi yg indah ya ntar diposting lg ;)
mimpi-nya pake nglindur gak niyy hehehe...
Post a Comment