13 February, 2007

5 comments 2/13/2007 01:11:00 PM

Mumetnya Mutusin Nikah

Posted by isma - Filed under


Keluarga besar mbahnya Shinfa beberapa waktu yang lalu (dan sekarang masih jadi PR) lagi dihangatkan sama topik per-jodoh-an untuk puteri bungsu mereka. Tapi, bukan perjodohan dalam arti menemukan si puteri dengan calon pilihan keluarga, melainkan tetek bengek yang berhubungan dengan jodoh yang dikenalin si puteri ke keluarga besarnya.

Memang sih setiap keluarga punya karakteristik cara didik dan ruang pembebasan pada anak yang berbeda-beda. Kalau di keluarga asalku, (makasih bapak, ibu) cukup luas memberikan ruang kebebasan untuk anak-anaknya dalam menentukan pilihan sikap, termasuk dalam menentukan calon istri ataupun suami. Asal si calon itu seiman, orang baik-baik, sudah mantap dan dipandang siap untuk berumah tangga, bapak ibuku tak banyak memberikan persyaratan yang justru bisa memberatkan si anak untuk membuat keputusan menikah.

Membuat keputusan untuk menikah itu memang tidak mudah. Seperti kata temanku, “Dalam pernikahan terdapat 10% kenikmatan, dan 90% kenikmatan yang luar biasa. Namun tidak setiap orang punya keberanian untuk menggapai semua kenikmatan itu dengan memutuskan untuk menikah.”

Yah, siapa yang nggak takut masuk ke dalam kehidupan yang sama sekali tak ada satu pun jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan selain keyakinan hati dan cinta? Siapa yang tahu setelah si A menikah dengan si B akan tetap kaya, saling mencinta, dan berbagi kasih seperti sebelum keduanya menikah? Seperti kata temanku itu: “Menikah itu seperti main lotre. Kita tidak tahu akan menang berlimpah uang atau kalah bersimbah derita; kita tidak tahu apakah pasangan kita adalah orang yang kita damba mampu mendatangkan kebahagiaan dan berbagi perasaan atau justru sebaliknya, sumber petaka dan penghancur hidup kita.”

Jadi, pantaslah kalau kemudian tidak sedikit orang tua yang jadi khawatir, memikirkan kemungkinan ini dan itu yang bisa jadi akan menimpa anaknya setelah menikah. Maka, mulailah mereka melakukan uji kelayakan, dari kepribadian, budi pekerti, materi, latar belakang keluarga, perilaku, ibadah dan kesalehan, sampai pada tempat tinggal si calon suami/istri yang dikenalkan ke hadapan mereka itu dekat apa jauh, di jawa apa luar jawa, suku jawa apa sunda. Malah ada juga yang sampai (ini yang fanatik ya) satu ormas atau satu partai enggak? Soalnya, ortu takut setelah menikah, si anak bukannya menikmati 100% kenikmatan, malah terjerumus ke dalam 100% lubang derita.

Dari sinilah kerumitan demi kerumitan itu mulai muncul. Tentu saja jika ternyata hasil penilaian menunjukkan ada bagian-bagian yang belum layak atas si calon jodoh. Meskipun si anak sudah 100% menyatakan lulus uji ples mantep.

Hm, aku jadi mikir-mikir, kira-kira kalo aku dihadapkan pada persoalan mutusin nikah untuk Shinfa kelak, dan ternyata “mentok” pada uji kelayakan…gimana ya? Hehe, belum juga Shinfa bisa mandi sendiri ya, kok wis kepikiran.

Enggak sih. Aku cuma mencoba untuk objektif bersikap sebagai orang tua yang amat sangat menyayangi anak. Yang kadang saking sayangnya bisa jadi malah sudah melakukan ‘penindasan’ atas hak anak untuk membuat keputusan dan pilihan buat hidupnya (alah-alah! Opo to kuwi?). Yang kadang malah sudah menganggap anak adalah hak milik yang tidak boleh bergeser, pindah, apalagi dibawa pergi jauh dari tempat tinggalku.

Aku jadi ingat mutiara katanya Kahlil Gibran bahwa anak ibarat anak panah yang ketika dilepas dari busurnya akan melesat sendiri menuju tempat sasarnya. Karena kodrat anak panah memang harus melesat meninggalkan busurnya. Kecuali jika anak panah itu tetap ditahan dalam kekangan busurnya.

Jadi, bukan bermaksud tidak peduli dan memasabodohkan pilihan anak, aku sebagai ortu sudah sepatutnya membiarkan anakku mandiri, tahu apa yang dia mau, tahu dengan setiap risiko dari apa yang dia maui, dan berani bertanggung jawab atas risiko pilihannya itu. Apalagi kalau si anak sudah berusia hampir 30 tahun! Sudah bukan seperti Shinfa yang baru dua tahun yang masih harus dikasih tahu kalau main-main air itu bisa basah dan masuk angin, misalnya.

Aku cukup menunjukkan, menjelaskan, mengingatkan, jika kamu menikah dengan A misalnya, kamu akan meninggalkan pekerjaanmu karena harus ikut suamimu ke luar jawa, apakah kamu siap? Jika kamu menikah dengan A yang belum bekerja, misalnya, bagaimana dengan kehidupan ekonomi kalian? Dan lain sebagainya. Paling tidak dengan begitu anakku tidak semakin bingung dan takut menghadapi putusan untuk menikah.

Tidak jarang memang, karena takut tidak “nyanding” anak, membuat para ortu memberikan syarat khusus untuk calon mantunya: harus tetangga, paling enggak 100 km, misalnya. Lha kalau ternyata yang dipilih si anak, tetangga provinsi gimana? Masak diputusin, menunggu yang tetanggaan? capeee deee...

Juga, karena takut dengan kualitas keturunan, sehingga ada syarat latar belakang keluarga harus jelas bapak ibunya. Karena ada kepercayaan, masa lalu yang kelam bisa mengalir pada anak turun. Padahal, aku pernah dengar bahwa seseorang tidak akan menanggung kesalahan orang lain. Dan, kalaupun ada perbedaan derajat, kekayaan, kemulyaan, yang kebetulan kelebihannya ada pada kita, asalkan budi pekerti dan karakter si calon mantu memang sudah lulus uji, kenapa kita tidak mau anak kita menjadi anugerah buat mereka? Dan, bukankah derajat tertinggi ada pada kedekatan seseorang pada Yang Kuasa?

Hmm, lagi-lagi aku menarik napas dalam. Memang kita akan semakin pusing dan rumit jika kita punya keinginan, dan ternyata keinginan itu berseberangan dengan kenyataan yang dihadapkan pada kita. Padahal, misalnya, kita saat ini berdoa, Tuhan kirimkan untuk anakku jodoh yang baik. Dan ketika seseorang itu benar didatangkan, kita seolah jadi sok tahu menilai bahwa seseorang itu bukan yang dikirim oleh Tuhan hanya karena tidak sesuai dengan kriteria kita. Padahal, dialah kekasih hati anak kita dan seseorang yang dipilih oleh anak kita. Jadi, kenapa tidak pasrah dan mantap saja. Yakin sambil berdoa, dialah yang dikirim Tuhan untuk anak kita.

Yah, percikan ini semoga bisa aku buka kelak pas aku pusing ngadepin Shinfa yang mau memutuskan untuk menikah.

5 comments:

Anonymous said...

Wah, diriku beruntung punya ortu yg bs menerima menantu yg beda latar belakang budaya dan merelakan anaknya diboyong ke negri seberang :)

Keira Adzra Athayya said...

berhubung gw blasteran, maksudnye jawa palembang *pletak* jadinya ngga begitu masalah.

Ada yg lucu juga seh, gw tuh pen kawin ma org jawa nah klo mbakyuku pengennya org sumatra. Kenyataanya kebalik, gw dpt org sumatra mbakyu dpt wong jogja. Eh mertua mbakyuku malah ngomong ke nyokap "bu... koq ya mau sih anaknya dikasihin ke org sumatra...???" tinggal nyokap yg bingung, lha pegimana dunk wong bapake sumatra... lha piyeee...

Anonymous said...

pilihan untuk menikahkan adalah yg sangat terpenting masalah akhlak...

klu akhlak udah bener dan lurus, insya Allah, mslh lain dapat teratasi, krn dgn akhlak dan pendidikan agama yg bgs bisa menuntun sejauh apapun anak kita nanti melangkah...

tul???

mbokne kyra said...

setuju buk..kalo masalah jodoh perjodohan anak kita..kyknya emang gak perlu kita tll ikut campur kali yah..kita percaya aja kalo anak2 kita kelak bisa memilih pasangan2 yg baik, sholeh dan sholehah..amieennnn..(waduh kejauhan juga nih ogut mikirnya)...

Toko Fiara said...

alhamdulillah ortuku juga menyerahkan 85% pilihan ditanganku, yang 15%nya pertimbangan mereka hehe..