Semula aku agak gimana gitu mendengar istilah "ceko'i". Ini adalah istilah jawa yang artinya disuapin dengan paksa. Tapi arti lengkapnya adalah semacam terapi dengan ramuan tradisional yang disuapkan ke mulut anak (dengan agak memaksa...) supaya nafsu makan anak bertambah. Yup. Shinfa mang susah banget maemnya. Didokterkan, trus dikasih multivitamin dan penambah nafsu makan, sudah. Dikasih obat cacing, sudah. Dicoba dengan camilan, atau masakan yang (menurutku sih...menarik) juga sudah. Akhirnya, berdasarkan pesan dari mulut ke mulut, terutama mbah dan budhenya Shinfa, aku sama Ayah Shinfa coba membawanya ke Mbah Juminten yang pinter nyeko'i.
Pagi-pagi sekali, hari minggu, kami berangkat ke pasar Gancahan, tampat Mbah Juminten buka praktik. Pasar kecil yang biasa aku lewati kalo brangkat ngaryawan.
"Yang biasanya njampi cekok sebelah mana ya, Bu?" tanya Ayah Shinfa begitu sampai di pasar.
"Di sebelah sana, Mas. Tapi, sampean kemruputen (kepagian). Biasanya buka jam 8," jawab si ibu yang langsung membuatku mencibir ke arah Ayah Shinfa.
"Tuh, masih nanti. Katanya kurang pagi lagi!"
"Iya Mas. Nanti ke sininya jam sepuluhan aja. Biasane selo (longgar)," tambah ibu yang satunya. Ya udah, kami pun balik lagi ke rumah. Padahal bulik, mbah uti, mbak Uyung, dan semua orang rumah sudah pada penasaran menunggu critane Shinfa diceko'i, nangis hebat apa enggak.
Pukul setengah sepuluh, kami berangkat lagi ke pasar Gancahan. Kami langsung menuju ke salah satu gang pasar yang dari luar kelihatan banyak ibu-bapak yang lagi pada nggendong anak. Pasti tempatnya di situ.
Ternyata benar, di situlah tempatnya. Tapi, ya ampyuuuun! Antriannya benar-benar bikin aku malas untuk meneruskan niat.
"Tadi mending ditunggu aja, Mbak. Wong jam setengah 8 wis teko kok. Daripada ngantri panjang begini," kata ibu-ibu yang berdiri di belakangku. Saat itu aku sudah berdiri, ngantri giliran, karena kursi duduk yang disediakan terbatas hanya sampai pada antrian keenam. Kalau tidak salah aku di antrian nomor 14. Mau membayangkan? Yah, seperti ngantri jatah beras gitu, diselingi suara tangisan anak-anak yang berontak pas diceko'i jamu. Aku sempat kasihan juga melihat anak-anak itu.
Langkah pertama, si Mbah mplastikin roti biskuat, milkuat (biar kuat kali ya...kok mereknya serba kuat..), sama Okky jeli yang kecil-kecil itu. Setelah itu dia menjelaskan beberapa jenis ramuan, dari yang untuk diminum sebagai penambah nafsu makan, untuk tapel (buat perut kayaknya), bobok (bedak padat yang dicairkan pakai air dingin, terbuat dari tumbukan beras sama rempah-rempah, dilumurkan ke tubuh anak, rasanya dingin segar, apalagi kalo siang panas), dan ada yang buat ditaruh di ubun-ubun/kepala anak. Langkah kedua, si Mbah melumuri tangan anak dengan tumbukan entah apa, terus dipijat. Dari kedua tangan pindah ke kepala, tengkuk, sama punggung. Mungkin mijatnya keras kali ya, soalnya hampir semua anak nangis lho.
Dan, langkah terakhir, si Mbah meneteskan tumbukan jamu yang sudah ditaruh di selembar kapas putih, dan dikasih air kunir asem. Sebenarnya rasanya enggak pahit. Cuma karena dari awal si anak sudah nangis, dan netesinnya enggak cuma netesin, tapi kapasnya dimasukin mulut, sekalian membersihkan lendir (kayak gurah...) di tenggorokan, waduh! jelas pada nangis. Malah ada juga yang keselek, batuk-batuk, trus lendirnya jadi pada keluar.
Hm, aku menarik napas. Kalau mau balik kayaknya nanggung, orang sudah ngantri, sudah hampir dapet giliran lagi. Untungnya Shinfa mau diajak jalan-jalan sama ayahnya, jadi aku nggak capek menggendongnya sambil berdiri, selain mengalihkan perhatiannya biar ndak takut duluan. Baru ketika aku dapet tempat duduk, Shinfa aku pangku sampai tiba dapet giliran.
Dan, sampailah aku di hadapan Mbah Juminten.
"Ada keluhan apa?" tanya si Mbah. "Susah makan sama batuk berdahak," jawabku.
Si Mbah tersenyum. "Masih ASI?" dia bertanya. Aku mengangguk. "Sudah minum jamu?" Aku menggeleng. Trus, aku dikasih segelas jamu dengan berbagai campuran, yang kukira rasanya bakalan pahit, eh ternyata enggak. Tapi se-enggakpahit-nya jamu, tetep bikin perutku mual dan munek-munek. Untungnya bisa kutahan, karena langkah-langkah Mbah Juminten sudah akan dimulai.
Dapat bungkusan jelly sama roti, perhatian Shinfa jadi teralihkan. Sehingga ketika tangannya mulai dipijat kanan kiri, ia diam saja. Tapi, ketika tengkuk dan punggungnya disentuh, alah...dia ngeden kayak nahan sakit gitu, trus nangis deh. Karena sudah nangis, seterusnya juga nangis. Apalagi pas kapas jamu itu dimasukkan, nangisnya pakai grunjal-grunjal. Hasilnya, selain kaos dalamnya yang masih baru itu jadi ndak putih lagi karena tapel di perutnya, dia juga bisa muntahin isi tenggorokannya yang bikin dia batuk dan serak.
Huuu, kayaknya ini jadi pengalaman terakhirku deh untuk nyeko'i Shinfa. Cukup sekali aja. Aku kayaknya juga enggak mau bawa dia ke ceko'an lagi kalo mau disapih (baca aja dipisah) ASI, seperti yang dilakukan sama ibu-ibu di tempat praktik Mbah Juminten. Yah, bukan berarti aku ndak sepakat dengan terapi ini. Cuma kalau pakai cara lain masih bisa, kenapa enggak dicoba. Soalnya selain kasihan, aku juga susah banget buat mengingat resep2 yang sudah dijelaskan sama Mbah Juminten. Sampai di rumah aku mikir-mikir, mana yang buat jamunya Shinfa, buat tapel, trus mana yang buat ditaruh di ubun-ubun. Habis sejenis tumbukan semua, dan warnya memang sama. Tuh kan... ;))
your support means a lot ...
-
your support means a lot ...
ini sebenarnya hal biasa. tapi, buatku sangat luar biasa. pada saat aku
kehilangan kepercayaan diri, tiba-tiba ada orang ...
5 years ago
0 comments:
Post a Comment