di depan pintu masuk eco camp |
Saya berpikir cukup lama untuk mengisi jawaban pertanyaan tentang “strength” dan “weakness”. Saya lirik Atina yang duduk di sebelah dengan lincah mengisi titik-titik yang tersedia di buku pelajaran pertama. Saya mengedarkan pandangan ke seisi ruangan, sambil bergumam dalam hati, apa ya? Buntu.
Lalu ketika esok harinya Pak Erick bertanya kepada saya saat makan siang, pelajaran mana yang menurut saya paling berkesan sejauh ini, saya menjawab, pelajaran tentang “to be me”, atau pelajaran pertama. “Ternyata saya tidak cukup mengenal diri saya sendiri,” jelas saya ketika ditanya mengapa. Buktinya saya harus berpikir keras untuk menjawab pertanyaan tentang kelebihan dan kekurangan. “Untuk kekurangan, bisa lebih mudah. Tapi untuk kelebihan?” Pak Erick yang sudah fasih berbahasa Indonesia itu menimpali, “Aren’t you a good writer?” Dan saya tertawa lebar, menyadari kalau saya tidak mengakui kalau saya penulis yang baik.
Pak Erick |
Begitulah tipikal orang Asia, kata Pak Erick, susah menghargai diri sendiri. Salah satu faktor penyebabnya karena tidak terbiasa mendapatkan pujian daripada kritikan. “Padahal pujian itu justru akan lebih memotivasi daripada kritikan,” lanjutnya. Iya, saya pun lebih senang dan merasa termotivasi dengan pujian. Bukan membuat tinggi hati, tapi ingin terus menjadi yang baik dan terus lebih baik. Pak Erick juga mengatakan bahwa anak perempuan cenderung menemukan sosok percontohan dari figure ayahnya. Jadi, akan sangat bagus kalau ayah bisa dekat dengan anak perempuannya. “Minta sang ayah untuk memberikan pujian pada anak perempuan kamu. Tidak selalu tentang prestasi sekolah, misalnya pakaiannya rapid an lain-lain,” Pak Erick memberikan contoh.
Ini bagian kecil dari pembelajaran di luar kelas yang saya dapatkan dari program TOT pendidikan perdamaian yang diadakan oleh Peace Generation di Bandung. Bertempat di Eco Camp, kegiatan ini berlangsung dari 14-16 Agustus 2015. Pak Erick adalah salah satu trainernya yang paling sering berinteraksi dengan para peserta. Saya perhatikan ia selalu membuat percakapan-percakapan kecil dengan setiap peserta, di luar kelas. Menurut saya ini metode yang menarik untuk membangun hubungan baik antara fasilitator dan peserta dan peserta juga merasa impressed karena mendapatkan perhatian dari fasilitator. Selain itu, fasilitator menjadi tahu sejauh mana proses training bisa diterima oleh peserta.
kegiatan pagi, berkeliling di kebunorganik |
bersama trainer, panitia, dan seluruh peserta |
Saya jadi teringat dengan Pak Henk, salah satu fasilitator program Mansoon School di India. Ia juga melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh PakErick. Waktu itu dia menyapa saya dengan mengatakan, “Saya ingin ngobrol dengan kamu, Isma. Tapi belum juga dapat kesempatan.” Lalu, ketika kami ada ekskursi ke desa, kami duduk bersebelahan di dalam bis dan berbincang-bincang. Waktu itu hanya dengan Pak Ram saya belum sempat diajak berbincang-bincang. Sepertinya ia memang unik.
Well, dari setiap program dan perjumpaan dengan orang baru, saya selalu mendapatkan pelajaran. Ini adalah anugerah, dan tentu saja, saya merasa senang sekali.
2 comments:
senangnya bisa bertemu dengan orang-orang baru ya mbak
@Lidya -----> iya mbak, banyak hal baru yang didapat :)
Post a Comment