31 July, 2009

2 comments 7/31/2009 09:54:00 AM

Tak Ada Mubazir dalam Perhatian dan Cinta

Posted by isma - Filed under
Waktu itu Jogja sedang musim hujan. Kami juga belum punya mesin cuci. Jadi praktis kami membutuhkan waktu berhari-hari untuk mendapatkan pakaian kering. Shinfa yang waktu itu masih berusia 2 bulan tentu tak bisa diajak kompromi untuk tidak ngompol. Membasahi baju gurita, celana popoknya, juga alas kain tempat tidurnya. Bisa sih memakai diapers, tapi aku memang sengaja tidak membiasakan itu pada Shinfa. Selagi memang tidak kepepet, alias popok Shinfa sedang basah semua.

Kondisi inilah yang kemudian, mungkin, membuat tetangga Shinfa ingin berbaik hati. Menambah stok baju gurita dan celana popok Shinfa. Ketika sore itu ibu dan adik iparku, juga ponakan-ponakan sedang bercengkerama di depan rumah, tentu saja bersama dengan tetangga Shinfa itu. Obrolan pun sampai pada soal baju-baju yang susah kering karena hujan. Si tetangga itu lalu menawarkan setumpuk baju gurita dan celana popok habis pakai anaknya yang sudah duduk di bangku kelas IV SD, tentu saja buat bayi Shinfa. Aku tidak tahu pasti siapa yang menerima dan bagaimana persis kejadiannya. Yang jelas, sewaktu aku pulang dari nguli, aku mendapatkan laporan tentang baju gurita itu.

Respon pertama dari Teti, “Masak udah kayak gini kok dike’ke uwong. Ora usah dienggo, Mbak,” begitu komentarnya. Sambil menunjukkan setumpuk baju gurita yang memang sudah kusam warnanya, tidak menarik lagi. Aku cuma tersenyum. Meskipun dalam hati juga mengakui dan mengamini komentar adik iparku itu. Ibu juga mengatakan hal yang sama, kurang lebih agak tidak berkenan dengan pemberian itu. Demikian juga dengan keponakan-keponakanku. “Tuku dewe yo iso,” tambah Teti.

Tapi, yang membuatku senang, mereka tidak kemudian menolak pemberian itu. Atau bahkan, berniat mengembalikan biar tidak mubazir karena tidak akan terpakai. Baju gurita dan celana popok itu tetap diterima dengan baik, dan lalu disimpan di sebuah rak almari bersama baju-baju pantas pakai yang lain, sampai sekarang. Meskipun tidak untuk dipakai Shinfa, aku yakin baju gurita dan popok itu akan terpakai untuk yang lain.

Menurutku, dalam setiap pemberian dan oleh-oleh, ada perhatian dan cinta. Dan, dalam perhatian dan cinta tidak ada kata mubazir. Dalam kasus ini, aku tidak akan melihat pada baju gurita dan celana popok yang sudah kusam itu, tetapi pada makna dan ketulusan dari tetangga Shinfa. Karena dengan memahami makna dan ketulusan itu, aku tentu akan bisa menghargai dalam bentuk sikap, minimal membuat lega dan senang orang yang sudah memberikan perhatian dan cinta untukku dan Shinfa dengan cara apa pun. Soal akan diapakan dan dikemanakan pemberian itu aku pikir soal kedua, dan itu sudah menjadi wewenang kita. Soal pertama yang penting adalah membuat lega sang pemberi dengan penerimaan yang baik. Apalagi jika pemberian itu sesuatu yang memang sengaja diadakan untuk kita, lebih-lebih oleh orang-orang yang mencintai dan menyayangi kita.

Dari Shinfa kecil sampai besar, dia biasa mendapatkan tanda cinta lewat pemberian. Entah oleh bulek, pakdhe, simbah, atau teman-temanku. Semua aku terima dengan baik, begitu pun yang aku ajarkan pada Shinfa. Meskipun tak jarang, misalnya dibelikan baju hanya dipakai satu kali karena kekecilan atau modelnya Shinfa tidak suka. Siapa pun pasti paham anak-anak biasa seperti itu. Bahkan, pernah ayah membelikan rok di pasar tiban tapi satu kali pun Shinfa tak mau pakai. “Jelek,” katanya. Tapi, yang pertama tetap diterima, karena sesederhana apa pun, ada perhatian dan cinta di dalamnya. Bukan malah menyalahkan, “Ayah ki mubazir, tuku rok barang. Kayak nggak ngerti selerane anake wae.”

Bagi beberapa orang mungkin ini termasuk basa-basi dan pura-pura, dan lalu lebih baik menjelaskan apa adanya dan mengembalikan pemberian itu. Tapi, apakah sikap ini bisa dikatakan berempati pada perasaan sang pemberi? Siapa pun ketika memberi, lebih-lebih memang sengaja “mengadakan” tentu berharap akan diterima dengan baik, bukan ditolak atau malah berharap pemberian itu dikembalikan. Selebihnya, aku pikir kita tak bisa dipaksa untuk membagaimanakan pemberian itu. Kita sudah punya hak penuh atas pemberian itu. Jika tak akan terpakai dan akan lebih bermanfaat untuk orang lain, kenapa tidak kita teruskan saja memberikan pemberian itu untuk orang lain. Yang jelas, pemberian itu tak ubahnya seperti cinta. Ketika pemberian ditolak, rasanya tak jauh berbeda dengan cinta yang tertolak. Dan, bukankah sudah sewajarnya jika kita belajar membalas sikap perhatian dan cinta dengan sikap perhatian dan cinta juga?

Dan, aku coba menegaskannya pada Teti. “Tapi Tet, maksudnya kan tetap baik. Itu yang musti kita kedepankan,” komenku mencoba bijak.
“Iya ya, Mbak. Dan, yang dia punya ya sebatas itu,” balas Teti maklum.

2 comments:

Kuyus is cute said...

wah, saya suka dengan cara berfikir mbak. Santun dan indah..
Kalau semua punya pola fikir seperti ini .. rasanya damai ya? he he he

Terus terang, dulu saya suka memberi seseorang dan beberapa sesuatu yang mereka butuhkan. Namun apresiasinya tak seindah Mbak. Saya suka sedih. Mereka tak bisa merawatnya dengan baik. Mungkin karena mereka tak mengusahakannya sendiri, jadi mereka tak mengenal apa arti pemberian.

Akhirnya saya belajar tentang ke ikhlasan, yang sekarang masih terus saya pelajari. Sesuatu yang sederhana, namun dalam sekali maknanya. Semoga saya bisa ..

entik said...

ya betul aku setuju mba isma...
niat untuk memberi adalah niat yang tulus dan perlu dihargai