“Ben ngerti njobo, ora neng kamar terus!”
Hegh! Sorry, itu kalimat buat siapa ya? Buat aku atau buat Shinfa? Trus, maksudnya apa ya? Entahlah. Kalau ini bagian dari sebuah cerita. Aku akan menuliskannya begini:
Kata-kata itu kudengar begitu menusuk ulu hatiku. Sambil berlalu dari hadapku, ia masuk ke kamar, mengambil kain batik untuk menggendong anakku. Aku melongo. Merasakan sisa perih kiriman telingaku. Singkat. Cepat. Tandas. Meski aku nggak tahu apa motif di balik kata-kata itu. Cukuplah membuat hatiku kembali tercabik, dan berujar, “Tidak tahukah, kalau kata-kata itu membuat aku sakit?”
Yah, paling tidak aku jadi tahu, untuk "nyeplos" memang perlu keahlian, biar tidak membuat pendengarnya tersinggung. Termasuk penampilan waktu nyeplos. Misalnya jika dengan muka bersengut, mata tajam, dan intonasi yang tinggi, wajar kalau pendengar selalu saja, dan selalu saja menanggapinya sebagai sebuah ekspresi kemarahan. Atau, protes.
Nah, kalau sudah begini, bagaimana tidak malah membuat aku jadi seperti momok yang pantes untuk ditakuti? Bagaimana bisa aku terlihat tulus dan penuh kasih sayang pada orang yang aku ceplosi?
Shinfa, jagain ibu ya, biar ndak gampang nyeplos yang nyakitin...seperti mendengar ceplosan yang itu...
0 comments:
Post a Comment