18 September, 2015

5 comments 9/18/2015 01:01:00 PM

Dag Dig Dug Test LPDP

Posted by isma - Filed under ,
siap-siap buat test
Aiiih, siapa sih yang nggak dag dig dug saat mau test? Demikian juga dengan saya. Datang pagi-pagi memakai batik ke Gedung Keuangan Yogyakarta, jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mulut saya jadi tak henti-henti melafalkan surat al-insyiroh, doa agar segala urusan dimudahkan. Di emperan ruangan test LPDP, saya sempat mengalihkan galau saya dengan ngobrol sama peserta lain. Ia perempuan berambut cepak berkulit putih bersih, seorang dosen di salah satu kampus swasta di Salatiga. Seperti saya, ia juga ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. “Saya sudah dapat LoA dari kampus di Melbourne,” jelasnya, yang membuat saya makdeg bergumam dalam hati, wah saingan nih! Hihihi.

Test pertama yang saya ikuti adalah menulis essay. Sebelumnya saya sempat bertanya-tanya kepada senior, tapi rupanya penulisan ini baru ditestkan di angkatan saya. Saya mempersiapkan ‘hafalan’ dua essay yang saya upload di website LPDP waktu pendaftaran. Hehe norak banget. Habis takutnya disuruh menulis sama persis dengan yang diupload. Tapi, ternyata tidak. “Jadi ada dua tema, tentang dampak globalisasi dan nasib anak korban kekerasan, dan kita suruh pilih,” seorang peserta yang sudah duluan mendapat giliran test tulis bercerita. Waktu itu saya pikir, temanya pasti diacak. Tidak sama antara grup satu dengan lainnya. Jadi, saya tidak mendahului merancang sistematika dengan dua tema itu.

Namun saudara, ternyata tema tulisan yang harus saya tulis sama persis dengan yang diujikan ke mbaknya. Di sini saya bener-bener merasa sebel haha. Jujur saja ya, saya paling gengsi sama test ini. Gengsi kalau tulisan saya jelek karena gini-gini saya kan trainer creative writing *uhuk*. Tapi, sungguh ternyata menulis dalam suasana test itu nggak asyik *ngeles*. Menit-menit pertama saya bengong, mau pilih yang mana. Kira-kira di antara dua tema ini, manakah yang lebih mudah. Wis pokoknya kondisi saya nggak elit banget, nggak pantas untuk diceritakan. Apalagi hasil tulisannya haha yang berisi tentang dampak globalisasi dan bagaimana menganggulanginya. Coba ya kalau tadi saya mencermati bocoran tema dari mbaknya. Tinggal penyesalan yang tersisa.

petunjuk ruangan test
Penulisan essay cuma berlangsung selama 45 menit apa ya *maaf saya ingin melupakan segala hal tentang test ini*. Setelah itu bersama dengan anggota kelompok B5 yang lain, saya menunggu giliran untuk test Leaderless Group Discussion (LGD). Kami berjumlah 8 orang. Semua masih unyu-unyu dan mau ambil S2, tentu saja kecuali saya yang sudah emak-emak beranak dua dan mau ambil S3 *sigh*. Kami duduk di koridor ruangan, sambil menerka-nerka testnya akan seperti apa. Dua orang cewek muda yang duduk di samping saya, mereka dari kelompok lain, tampak asyik membahas pengalaman mereka mengikuti LGD tahun lalu. Waktu itu, tidak ada seorang pun yang mencatat kesimpulan diskusi yang berdasarkan skenario akan menjadi bahan rekomendasi untuk diajukan ke DPR. “Ada yang lulus nggak dari grup Mbak dulu itu?” tanya saya. “Sepertinya tidak ada,” jawab salah satu dari keduanya.

Mendapat poin penting tentang test LGD, saya mendiskusikannya dengan teman-teman.”Siapa nih yang mau jadi notulen?” tanya salah seorang dari kami. Tak ada suara. Kami hanya saling lempar pandang. Namun, lama-lama semua mata menuju ke arah saya. Haha apes jadi orang paling dewasa. Mau nggak mau saya pun menerima untuk bertugas sebagai notulen.  Beruntung juga tema yang disodorkan untuk kami tentang MOS bagi siswa baru, dan apa rekomendasinya. Kami sudah sepakat untuk bergiliran bicara, dan setiap peserta harus mendapat jatah ngomong. Setelah itu, siapa yang mau boleh menambahkan. Tantangan buat saya, tentu harus mencatat. Saya juga sesekali meminta klarifikasi dan tambahan penjelasan, misalnya, MOS harus diawasi, lalu pertanyaan saya, oleh siapa. Di akhir diskusi saya diminta membacakan kesimpulan. Hufff! Leganya, saya bisa juga menjalankan tugas!

Keluar dari dag dig dug LGD, masuklah ke dag dig dug pemeriksaan dokumen. Kenapa dag dig dug? Ya, anything can be happened ya. Jadi supaya aman, lagi-lagi saya membaca al-insyiroh. Dan ternyata masalahnya ada di surat pernyataan yang bermaterai. Isi surat tersebut tidak sama dengan yang ada pada contoh. Padahal, saya sudah copy paste dari manual LPDP. Usut punya usut ternyata tanpa sadar saya sebenarnya mendaftar melalui jalur afirmasi yang saya pikir sebelumnya melalui jalur regular. Jadi judul suratnya harus diganti. Saya lalu jadi kuatir, takut kalau ketidaksadaran saya membawa masalah. Karena umumnya afirmasi prestasi itu untuk para atlet atau pemenang olimpiade hehe. Pantesan waktu ada bapak pejabat meninjau dan mendengar saya menjawab bahwa saya dari jalur afirmasi prestasi, saya ditanya, “Apa prestasi Anda?” gubrak!

menunggu giliran

Tentang revisi surat pernyataan itu, saya sebenarnya bisa menyusulkannya esok hari sebelum test interview. Namun, rezeki anak baik, ndilalah ada juga temen yang harus revisi surat dan ia mau membantu saya ngeprint ke luar. Saya yang kebetulan bawa laptop tinggal menyesuaikan isi surat dengan contoh yang benar dan menunggu teman saya itu datang dengan print out. “Mbak, besok kalau ditanya pas interview, jangan bilang salah centang ya jadi afirmasi,” seloroh mas-mas di sebelah saya. Haha mungkin dia sempat kaget pas saya menjawab pertanyaan bapak pejabat dengan, “Emang harus ada prestasi ya Pak?” hihihi

Selesai urusan test hari pertama, esok harinya saya mengikuti test interview. Sejak dua hari sebelumnya saya sudah membuat pancingan pertanyaan dan jawabannya yang saya praktikkan sambil berkegiatan di rumah. Biar saja dianggap aneh karena ngomong sendiri. Pagi saat test interview tiba, saya bersama anggota kelompok B5 berjajar di luar ruangan interview menunggu giliran. Gurat-gurat ketidakpastian nasib tergambar di setiap raut wajah kami. Begitu seorang kawan selesai interview, kami menyambutnya dengan serangan pertanyaan, “Bagaimana tadi, kamu ditanya apa, pakai bahasa Inggris atau Indonesia?” Dan ia menjelaskan kepada kami sambil megap-megap haha.

Saya mendapat giliran interview pukul 08.45 WIB. Tiga orang penanya sudah siap berhadap-hadapan dengan saya. Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Mereka masih muda, kisaran usia 45 atau 50 tahun, dan tak ada satu pun yang saya kenal. Grogi saya sedikit berkurang. Akan lain kalau saya paling tidak tahu siapa interviwer saya, seperti ketika mengikuti interview beasiswa IFP. Salah satu interviwernya adalah Ibu Maria Hartiningsih, wartawan senior Kompas yang concern dengan isu-isu perempuan. Grogi saya berlipat-lipat. Apalagi saya waktu itu lebih banyak ditanya tentang pengetahuan, buku yang saya baca, dan sesekali disindir kenapa tidak tahu soal ini dan itu hehe. Menyeramkan pokoknya, dan saya berharap tidak demikian dengan interview LPDP ini.

Tuhan sepertinya menjawab doa saya. Para interviewer lebih banyak bertanya tentang hal-hal yang sudah saya tulis dalam aplikasi saya. “Tema penelitian Ibu tentang ulama perempuan ya. Sebenarnya apa pentingnya ulama perempuan itu?” interviewer berjilbab yang duduk di sebelah kiri memulai pertanyaan dari proposal penelitian saya. Ia juga meminta kepastian tentang komitmen untuk kembali ke tanah air. “Isu perempuan dan gender itu kan banyak diminati, bagaimana kalau setelah lulus Ibu diminta oleh kampus mana untuk bekerja di sana entah sebagai dosen atau peneliti?” ini pertanyaan yang lain. Pada bagian ini si Ibu tidak menyerah begitu saja mendengar jawaban saya tentang komitmen, ia menyerang saya dengan kondisi yang lain, tapi saya tetap teguh pendirian.

Penanya kedua, ia banyak bertanya tentang aktivitas saya dan sejauh mana saya berprestasi *uhuk*. “Itu pin apa yang Ibu pakai, santri Indonesia menulis?” tanya si Ibu sambil menunjuk ke arah jilbab saya. Seketika saya bersorak. Yes, yes, maksud saya memakai pin Matapena besar-besar di dada saya rupanya bersambut haha. Ini bagian dari caper supaya mendapat nilai tambah. Supaya saya bisa mempromosikan apa itu Matapena, kegiatan dan menunjukkan salah satu novel Matapena yang saya bawa. Hal sama yang aku pakai juga ketika interview IFP dan MEP (Muslim Exchange Program), kecuali untuk pin karena itu merchandise Matapena yang baru. Ini mungkin bisa dibilang trik yang norak haha. Tapi, pikir saya dalam interview semacam ini saya musti pede menunjukkan keberhasilan. Kalau bukan kita sendiri, siapa dong yang mau menjualkan kelebihan kita, iya nggak.

Berpindah ke penanya ketiga, ia meminta untuk switch ke bahasa Inggris. “Sure, I will try,” jawab saya ketika ia minta izin untuk pakai bahasa Inggris dan bertanya apakah saya keberatan. Karena penuturnya sesama Indonesia, tingkat grogi saya tidak sama seperti ketika interview untuk MEP atau program community solution. Yang sekarang lebih pede dan cuek saja apakah grammar saya salah atau tidak. Ia bertanya tentang tantangan terberat ketika studi di Hawaii, dan jawaban saya adalah bahasa. Ia juga bertanya tentang apa rencana setelah studi dan bagaimana menghadapi tantangan pengaruh lingkungan dan kehidupan Barat jika besok saya membawa keluarga tinggal di Belanda.

Menurut saya test interview LPDP tidak semenyeramkan bayangan saya. Memang salah satu interviwernya adalah psikolog. Tapi, saya tidak tahu pasti juga siapa di antara mereka yang psikolog. Jadi, jawab saja dengan konsisten seperti yang saya tuliskan dalam essay. Pengalaman saya sekolah di Hawaii dengan segala tantangannya juga banyak membantu saya menjawab dan meyakinkan mereka bahwa saya sudah punya bukti, entah itu keberhasilan studi, beradaptasi dengan lingkungan baru, komunikasi di internal keluarga, juga komitmen untuk kembali kepada komunitas. Di akhir sesi, salah serang interviewer mengusulkan, “Suami Ibu kan guru ya, sekolah saja sekalian di Belanda.” Sambil tersenyum saya menjawab, “Suami saya tidak suka sekolah Bu. Dia bilang, Ibu aja yang sekolah, aku dukung. Kalau aku nggak cocok.” Dan ketiga interviwer itu tertawa bersama. Hah legha!

5 comments:

Unknown said...

asyik baca ceritamu...
segar dan menyenangkan ky baca cerpen jerawat santri. setalah baca ternyata terjawab semua pertanyaan yang td pagi, jd hilang Dag Dig Dug nya....
share pengalamnmu ini memauat jd bersemangat,pingin merasakan suasana dag dig dug seperti yg Ima alami... badan panas dingin, pikiran kesana kemarin,dan perasaan tak menentu menanti detik demi detik dan tahapan demi tahapan prosesinya tapi setelah semuanya lewat "lega" jadinya...
selamat & sukses selalu, do'a Ami selalu menyertai Ima...
Amien.......

Anonymous said...

Hebat...

Diah Alsa said...

whuaaaaaa, udah mau S3 sekarang Mbak?? kereeeeeeeeennn... moga semuanya dimudahkan ya Mbak, Aamin :*

Lidya Fitrian said...

walaupun dag dig dg senyumya tetap manis mbak :) Sukses selalu ya untuk skeolahnya. Duh aku ngiri pingin sekolah lagi mbak

Fitri3boys said...

heubat deh...