Aku berdiri di samping jenazah Simak sambil menggendong Fira, keponakan yang baru berusia satu bulan. Jasad Simak sudah dimandikan dan dikafani dengan baik. Ia diletakkan di atas dipan keranda setinggi sekitar satu meter dari lantai. Aku menyapu wajah pucatnya sambil mengusap-usap tangannya yang bersedekap. Aku ingin menghabiskan menit-menit terakhir bersama jasad Simak, menyerap sebanyak-banyaknya energi dari tubuhnya dan menyimpannya baik-baik dalam hati juga kenangan.
Sabtu sore itu sebenarnya tak berbeda dari Sabtu-Sabtu sebelumnya. Aku berkutat di depan laptop di salah satu sudut ruang tamu rumah Ibu di Jogja. Tiba-tiba adikku menelpon video dari Pekalongan. “Simak demam, muntah-muntah, Mbak,” katanya. Adikku yang tinggal di Jakarta juga ikut bergabung, sambil menunggu Mbakku yang tinggal di Wonopringgo, Pekalongan menyusul.
Simak pernah dua atau tiga kali jatuh sakit lalu opname di rumah sakit karena gula darahnya tinggi. Tapi, biasanya kami saling berkabar melalui WAG keluarga saja. Namun berbeda dengan sore itu, adikku menelpon kami semua seolah-olah keadaan Simak sudah genting. Aku pun menjadi sangat khawatir.
Aku memutuskan untuk ke Pekalongan Minggu pagi bersama ayah juga anak-anak. Tapi kemudian ayah mengurungkan niat. Ia ragu-ragu dengan kesehatan kami karena bepergian keluar kota di masa pandemi. Lebih baik satu orang saja yang berangkat ke Pekalongan, pikirnya.
Sambil menata pakaian bersih yang menumpuk, perasaanku semakin berkecamuk. Kabar dari adikku, setelah muntah-muntah itu Simak tak sadarkan diri. Ia dibawa ke UGD Rumah Sakit Islam Pekajangan dan harus melewati prosedur screening Covid sebelum mendapatkan kamar.
Pukul 21.00 aku ditelpon lagi oleh adikku. Ia meminta pendapat soal selang makanan untuk Simak yang akan dipasang melalui lubang hidung. Detik itu aku luruh. Suaraku berubah parau menahan tangis. Aku punya firasat tentang keadaan Simak, tapi di sisi lain aku ingin percaya kalau Simak akan tetap kuat hingga bisa sadar kembali. “Ayah sama anak-anak ikut saja ya ke Pekalongan. Aku takut kalau ada apa-apa sama Simak,” kataku pelan. Mataku sudah basah. Ayah masih bimbang.
Sebelum tidur aku menanyakan keadaan Simak lagi. Ia sudah dipindah ke kamar inap. Adikku mengirimkan foto Simak yang masih belum sadar. Matanya terpejam. Ia bernapas dengan alat bantu pernapasan yang terhubung dengan tabung oksigen.
“Mak, yang kuat ya,” batinku sedih. Simak yang kuat membesarkan 6 anak-anaknya yang masih kecil setelah Bapak meninggal tahun 1993; Simak yang kuat melahirkan 3 anak-anaknya lagi dari pernikahan keduanya di usianya yang sudah kepala empat; Simak yang tidak pernah bisa diam untuk memastikan kalau anak-anaknya dapat hidup dengan baik; tapi malam itu tampak diam tak berdaya.
Pukul 03.30 pagi aku terbangun oleh dering telpon dari adikku. Ada dua kemungkinan berita yang akan aku dengar; berita baik atau berita sedih. Aku mendengar adikku menangis. Mataku tiba-tiba berair, jantungku berdetak kencang, darahku mengalir dengan cepat.
“Simak sudah nggak ada, Mbak,” adikku akhirnya benar-benar mengucapkan kalimat yang sangat aku takuti sebelumnya. Kalimat yang tidak mau aku dengar sebelumnya. Kalimat yang tidak aku percaya akan terjadi pada Simak dalam waktu dekat. Karena aku ingin Simak hidup lebih lama lagi dengan sehat dan bahagia. Aku melolong dalam tangis. Membangunkan tidur ayah, anak-anak juga Ibu.
***
Aku, ayah, dan anak-anak bertolak dari Jogja pukul 05.00 dengan mobil. Sepanjang perjalanan aku terus saja menangis. Mataku bengkak. Kepalaku pusing. Aku menyesali waktu-waktu yang sudah lewat. Terakhir aku memeluk Simak tepatnya Desember 2019, ketika keluarga Pekalongan datang ke Jogja untuk menghadiri pernikahan keponakan ayah. Setelah itu, pandemi Corona menghalagi keinginanku untuk ke Pekalongan.
Dalam situasi sulit ini aku cuma bisa berhati-hati; satu hal yang masih ada dalam kuasaku. Sementara soal berapa lama umur kita, itu di luar kuasa dan juga pengetahuanku. Aku hanya bisa berpikir positif bahwa aku dan Simak masih akan diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk bertemu dan berpelukan. Meskipun, pada kenyatannya memang sudah tidak ada waktu lagi. Aku pun kembali menangis.
Kami tiba di rumah duka sekitar pukul 10.00 pagi. Mbakku menangis. Adik-adikku menangis. Aku semakin tergugu dalam tangis.
“Wingi simak pingin weroh Ima, iki lho Mak, Ima wis teko, kok malah Simak ora ono.” Mbakku berurai air mata.
Biasanya setiap aku datang, Simak menyambutku di ruang tamu lalu mencium dan memelukku. Saat itu pun sebenarnya Simak tetap menyambutku di ruang tamu tapi ia berbaring di atas dipan keranda. Aku belum berani mendekat. Aku lebih dulu mandi, berganti pakaian dan berwudhu. Aku bilang kepada ayah untuk berjamaah menshalatkan Simak.
Aku mendekati jenazah Simak ditemani Bulek dan Budhe. Bulek membuka kain putih tipis yang menutupi wajah Simak.
“Mak Dah ayu ya, coba lihat,” kata Budhe.
Aku menyentuh pipi Simak yang dingin. “Duuh Simak, aku sudah bilang untuk kuat bertahan, tapi ternyata Simak sudah tidak bisa bertahan lagi. Ini aku, Mak. Aku datang menemui Simak. Maafkan, aku ya Mak. Aku tak datang kemarin-kemarin. Aku terlalu percaya diri dan optimis kalau semua akan baik-baik saja. Simak akan berumur panjang.” Air mataku deras mengalir.
“Oleh nyium nggak, Bulek?” tanyaku.
“Oleh. Tapi ojo nangis. Simake wis suci.”
Aku buru-buru menyeka air mataku bersih-bersih, lalu mencium pipi Simak perlahan-lahan. Kulit pipi Simak yang keriput dan dingin tercium wangi kapur barus dan aroma parfum untuk orang meninggal.
Mencium pipi Simak rasanya tak pernah cukup. Aku ingin jasad itu sebenarnya hanya tertidur saja. Lalu ia akan terjaga dan memberikan pelukan dan ciumannya untukku seperti biasanya. Tapi tidak bisa lagi seperti itu. Simak sudah tiada.
Bulek sudah menutupi kembali wajah simak dengan kain putih tipis. Tapi aku masih berdiri di samping jasad Simak. Aku mengusap kedua kakinya, lengan, dan telapak tangannya. Aku menangis tanpa suara.
Para pelayat terus berdatangan. Mereka membaca al-Ikhlas yang dikhususkan untuk Simak. Bacaan mereka dihitung menggunakan biji-biji jagung yang diletakkan di dalam gelas belimbing. Sebagian membaca surat Yasin dan tahlil bersama-sama. Sebagian lagi yaitu para santri penghafal Al-Qur’an mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an secara berjamaah.
Para pelayat memberikan amplop berisi uang takziyah, tapi ada juga yang membawa gula, teh, mie instant, dan makanan ringan untuk isi toples. Sesekali aku menemui pelayat dan menerima ucapan bela sungkawa mereka. Aku juga ikut mereka membaca Yasin dan tahlil. Aku meresapi benar suasana duka siang itu.
Waktu berjalan perlahan. Adikku dari Jakarta tiba di rumah sekitar pukul 12.00an siang. Ia menangis. Mbakku menangis lagi. Aku juga ikut menangis. Kami bersama-sama membaca Yasin dan tahlil. Setelah itu kami beranjak.
Aku menyibukkan diri dengan menyiapkan makan siang buat anak-anak, menemui tamu, atau menggendong bayi-bayi keponakanku yang ada di rumah. Sambil aku mencuri-curi kesempatan mendekati jasad Simak lagi. Manatap wajahnya dalam-dalam sambil menyentuh lembut tangannya yang tertelungkup. Sampai menjelang ashar, segala persiapan pemakaman sudah dilakukan. Kayu nisan, kembang dan air di dalam toples kaca juga sudah tersedia.
Azan ashar berkumandang. Sebentar lagi Simak akan diberangkatkan ke pemakaman. Lek Dariah yang dipasrahi menutup kain kafan Simak sudah datang. Aku mendekati lagi jasad Simak, menyentuhkan lagi tanganku dengan tangannya. Lek Dariah meletakkan kapas wangi menutupi bagian mulut, hidung, dan seluruh bagian wajah Simak. Ia kemudian menutupnya dengan kain kafan dan mengikatnya dengan tali wangsul, menandakan kalau Simak sudah terbungkus kain kafan dengan sempurna.
“Wis yo, iki ditutup yo?” suara Paklek memecah suasana.
Hatiku bergemuruh. Sudah tiba waktunya, sudah tiba saatnya. Paklek beranjak untuk mengambil tutup keranda. Aku lagi-lagi mendekati Simak, menyentuh tangannya untuk yang terakhir kali, satu dua detik. Inilah mungkin cara terbaikku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Simak, untuk melepaskan dan mengikhlaskan kepergiannya.
Setelah keranda ditutup, aku melangkah mundur. Memang air mataku sudah tak lagi keluar, isakku sudah tak lagi terdengar. Tapi, jauh di relung hatiku, ada yang runtuh dan hancur. Hatiku menangis pilu.
Simak siap diberangkatkan. Aku berdiri di halaman rumah, menyaksikan keranda yang tertutup kain hijau bertuliskan kalimat tauhid perlahan bergerak di atas panggulan bahu ayah dan adik-adikku. Aku merasakan bagian hatiku yang runtuh dan hancur itu ikut terbawa bersama keranda itu. Ia perlahan menjauh dari halaman rumah menuju mushala untuk upacara shalat jenazah. Meninggalkan aku yang merasa suwung dan hampa kembali terisak lagi.
20-21 februari 2021