28 August, 2010

6 comments 8/28/2010 05:58:00 PM

Puasa di Rantauan

Posted by isma - Filed under
Dan, tiba jugalah bulan puasa, bertepatan dengan masa orientasi mahasiswa baru. Ramadhan pertama aku jauh dari keluarga. Kalau banyak teman yang bertanya, bagaimana bedanya? Sangat berbeda sekali ditambah banget. Pertama, karena di negeri orang. Kedua, sendirian, dan ketiga, tak ada suasana Ramadhan.

Amerika, atau Hawaii berbeda dengan Indonesia yang mayoritas muslim. Dari keseluruhan penghuni dorm yang berlantai 12, mungkin cuma 20 orang yang berpuasa. Setiap kali aku memasak di dapur dan ada teman yang menawari makanan, aku akan jawab, maaf aku sedang berpuasa. Lalu, temenku yang orang Thai itu, misalnya, akan keheranan. Puasa? ulangnya, dan disusul dengan pertanyaan seputar puasa. Tak jauh berbeda ketika ada teman yang menawari pork (daging babi) dan aku menjawab, maaf aku tidak makan pork, temanku itu pun akan heran dan bertanya kenapa. Di sini lebih banyak teman-temanku yang lebih suka makan pork daripada beef. Bahkan ada temen dari Thai tidak makan beef karena kepercayaan agamanya dan untuk daging dia memilih pork :-)) Di kampung, aku menjadi mayoritas dan normal tapi di negeri orang aku menjadi minoritas dan dipandang asing, begitulah kira-kira.

Buka dan sahur sangat berbeda dengan kebiasaan ketika di kampung. Kadang pas jadwalnya tak bentrok, aku biasa berbuka berdua dengan temen dari Indo di lantai yang sama, atau gabung bersama teman-teman Indo lain di lantai berbeda dengan jumlah yang lebih banyak. Biasanya pakai model potluck. Kami membawa makanan masing-masing lalu dishare, saling mencicipi. Untuk buka masih mending, dibanding waktu sahur. Beberapa kali aku sahur sendirian, atau kalau tidak seorang temen dari Pakistan datang menyusul ke dapur. Kami hanya menghangatkan makanan di microwave karena di luar jam dapur, maksimal jam 11 malam, kompor akan dimatikan secara sentral. Untuk masak sahur hanya dapur lantai 12 yang kompornya dihidupkan.

kolak biji salak untuk buka bersama

Suasana itu jelas berbeda dengan suasana di kampung. Aku biasa masak kolak untuk dimakan bersama keluarga. Ada bapak dan ibu, mas dan mbak, simbah, ayah dan anak-anak, juga para ponakan di rumah. Kami akan berkumpul pada saat buka dan sahur. Selalu ramai dengan obrolan dan penuh oleh makanan di meja. Kesendirian di sini benar-benar terasa karena aku biasa melakukan sahur dan buka di tengah keluarga besar. Sabaaaar deh.

Di sini tak ada azan, suara tadarus, juga suara pengingat imsak. Patokan yang dipakai adalah jadwal puasa selama satu bulan, alarm, dan matahari. Masjid lumayan jauh, selain tak ada pengeras suara yang bisa menembus jarak seperti yang banyak dijumpai di Indonesia. Tarawih kami lakukan di lounge milik dorm, dengan 8 orang jamaah. Tapi, aku lebih suka tarawih sendiri di dalam kamar, menjelang sahur. Aku biasa mengeset jam untuk bangun sahur, atau meminta ayah untuk membangunkan setiap paginya. Kadang ayah lupa, dan aku pernah juga kebablasan tidak sahur :D

sayur asem, yummy ...

Jarak antara imsak dan buka menurutku tak jauh-jauh amat, cuma nambah satu jam dari waktu puasa di Indo. Karena fajar atau subuh biasanya pukul 05.05am dan waktu berbuka pukul 6.40pm. Bedanya di sini hawanya cenderung dingin karena dikelilingi bukit jadi tida berasa haus, dan karena dibawa buat beraktivitas juga lalu perjalanan waktu dalam sehari terasa lebih cepat.

Sejauh ini, puasaku belum bolong dan aku berharap semoga tetap akan baik-baik saja. amiiin.
Continue reading...

22 August, 2010

5 comments 8/22/2010 01:31:00 AM

Melanglang ke Negeri Jauh (2)

Posted by isma - Filed under

Seoarang kawan resmi meninggalkan Hawaii dua hari yang lalu. Ia pulang karena studinya sudah selesai. Sehari sebelumnya, saya sempat menemaninya beres-beres kamar. Saya melihat ada dua koper besar yang sudah ia siapkan, menunggu koper-koper lain yang juga akan ia tata. Saya pernah punya pengalaman menata koper, tapi tentu berbeda keadaan. Saya menata koper untuk keberangkatan, dan teman saya menata kopernya untuk pulang ke kampung halaman. Seandainya saya berada di posisinya, pasti lembur bermalam-malam juga saya lakoni. Tergerak oleh rasa senang sebentar lagiakan bertemu dengan keluarga. Sepanjang perjalanan yang berjam-jam itu juga akan terasa cepat karena sudah terbayang seperti apa tempat yang dituju. Tidak seperti perjalanan pertama saya dari Jakarta menuju Honolulu yang berasa grambyang dan begitu lama.

Singapore Airlines tinggal landas dari Jakarta kurang lebih pukul 08.30 pm. Pesawat yang besar dan luas. Ada tiga barisan tempat duduk, jika tak salah ingat dengan komposisi dua tiga dua. Dingin AC langsung menggigit. Tak salah jika saya memakai jaket tebal dan kaos kaki. Setiap penumpang mendapat satu monitor video yang melekat pada sandaran kursi penumpang di depannya. Salah seorang teman saya tampak melirik-lirik penumpang sebelah, mencari tahu bagaimana cara menghidupkan layar itu. Maaf, sebagai orang kampung, ini benda baru yang penggunaannya tidak termasuk dalam materi pre departure kami. Saya cuma menyarankan, tanya saja sama pramugari, karena saya juga tidak punya pengalaman soal itu.

Meskipun ngantuk, susah juga mata saya terpejam. Giliran bisa maklher, suasana mendadak gaduh. Parapramugari sudah beredar membagi-bagikan menu makan malam. Kebanyakan mereka bermata sipit dan pasti berkulit putih dan tinggi seperti bangau putih di sawah. Elok dan tak bosan melihatnya. Bahasa mereka berbeda dengan bahasa keseharian saya. Tak ada lagi Bahasa Indonesia, berganti zona internasional, salah satu alasan yang membuat saya yakin ini bukan penerbangan domestik. Sekali pesawat ini tinggal landas, resmi sudah saya terlempar keluar dari area dalam negeri.

Tiba di Changi kurang lebih pukul sebelas malam. Saat menjelang turun, saya baru menyadari kalau telinga saya ternyata tidak tahan dengan tekanan udara.Pekak sakitnya luar biasa. Tak malu-malu, mata saya basah menahan sakit. Lalusaya berpikir, kalau masih ada dua penerbangan lagi dan saya harus merasakan sakit yang sama. Oh Tuhan, derita tiada akhir. Salah seorang teman saya menasihatkan supaya makan permen karet, atau menggerak-gerakkan mulut dan pipi, atau bernapas dengan menutup hidung. Sambil berjalan menelusuri Changi yang megah, saya melakukan semua saran itu. Hasilnya, tak begitu berhasil.

Cangi memang luar biasa besarnya. Selama hampir tiga jam kami berputar-putar mencari terminal untuk penerbangan berikutnya dengan pesawat Delta. Hasilnya tak jelas. Kami juga mencari-cari lounge yang difasilitaskan gratis untuk tidur sejanak. Pepatah malu bertanya sesat di jalan, tak terbukti kebenarannya. Kami bertanya berkali-kali, tetap saja tak menemukan. Beberapa teman sudah tak lagi genap ruhnya karena ngantuk, termasuk saya. Sampai seorang laki-laki datang di saat yang tepat seperti malaikat. Kami berdiri di depan lift cantik bergambar bunga-bunga, dan laki-laki itu menunjukkan jalan yang benar menuju lounge untuk menikmati slumbrete. Yaitu, naik ke lantai dua dengan lift bunga-bunga yang hanya muat untuk tiga orang.

Lounge yang dimaksud bentuknya adalah kamar-kamar kecil yang dingin luar biasa. Disekat oleh semacam anyaman bambu dan kelambu. Tanpa pintu dan kunci. Kami langsung tewas, terbaring di atas kasur busa yang empuk. Tak boleh ada suara. Huuusssst, beberapa kali si penjaga lounge mengisyaratkan itu. Tapi, satu hal yang bikin kagol adalah kami belum sempat makan di lounge itu. Karena pukul empat pagi kami sudah dibangunkan untuk segera boarding. Takut terlambat, dengan mata setengah hidup kami tergopoh-gopoh mengikuti dua orang teman yang sudah lebih dulu tahu jalan menuju Delta. Dengan tertib kami lalu mengantri, menyiapkan passport dan tiket elektronik. Tapi, sekali lagi lirik-melirik penumpang sebelah terbukti penting. Kami menyadari kalau ada lembaran lain yang dibawa para penumpang itu. Owalaaah, dasar ndeso, ternyata kami harus boarding dulu di counter Delta. Berlari-lari pagi kami menuju counter Delta yang hampir sajatutup karena sudah mendekati jam terbang.

Pesawat Delta tinggal landas pukul enam pagi tanggal 21 Juni 2010. Aroma bulenya semakin tercium. Pertama, dari penumpangnya yang kebanyakan berambut pirang.Saya saja duduk diapit dua bule, yang satu berkulit gelap, satunya lagi berkulit putih. Kedua, dari menu makanan yang disajikan. Nasi diganti kentangatau roti, dengan lauk yang rasanya aneh tidak menendang. Hampir delapan jam perjalanan tak juga membuat saya cepat tidur. Sangat tidak nyaman untuk tidur di kursi dengan pikiran tak jelas, "akan dibawa ke mana diriku ini." Apalagi menjelang landing di Narita, lagi-lagi saya merasakan sakit yang sama. Telinga ini rasanya seperti ditusuk-tusuk sampai dasar telinga. Nandes luar biasa. Yangsempat saya tangkap, saya melihat daratan Jepang begitu rapinya. Barisan lahan cocok tanam yang disekat kotak-kotak, tertata begitu rapi. Rumah-rumah tampak berkelompok di beberapa bagian, di dekat kotak-kotak tempat cocok tanam. Kurang lebih seperti itu aku melihat daratan Jepang lewat jendela pesawat.

Narita sama luasnya dengan Changi, atau mungkin lebih luas karena banyak sudut-sudut kosong tanpa orang. Padahal waktu itu pukul 14.15, waktunya jam sibuk. Masuk rest room, seorang teman sempat terheran-heran karena wastafelnya tak perlu diputar krannya untuk mengalirkan air. Cukup berniat dengan mengulurkan tangan, air secara otomatis akan keluar. Satu lagi yang cuma butuh niat, yaitu eskalator. Dia pikir tangga berjalan itu sedang rusak karena tidak bergerak. Ternyata yang dibutuhkan cuma niat dan berdiri di eskalator itu. Minum gratis juga bisa dilakukan hanya dengan menekan tombol dan memonyongkan mulut di depan kran. Sayang, tak ada internet gratis di Narita, tidak seperti di Cangi. Kata teman, dasar pelit dan perhitungan *hehehe*.

Di Narita, kami hanya melewati pemeriksaan seperti ketika kami akan memasuki bandara Cengkareng. Ini karena kami tetap memakai Delta, dan pemeriksaan intensif sudah dilakukan di Changi. Meski demikian, kami harus menunggu "terlantar" di Narita. Karena pukul 17.45 sore pesawat Narita-Honolulu baru akan take off. Jadilah kami membuka bekal masing-masing yang selamat dari penggeledahan. Indomie kremes, sosis, sisa ayam, dan nasi menjadi menu kami. Dicampur di atas selembar daun pisang dan dinikmati bersama. Terbatas tapi luar biasa nikmatnya. Sampai mendekati waktu yang dijadwalkan, kami menujuk ke gate yang telah ditentukan. Saya segera meminum obat tidur supaya bisa istirahat dengan baik. Tapi, rupanyasaya terlalu dini melakukannya. Jadi, belum juga duduk manis di pesawat, mata saya sudah berat luar biasa berasa seperti tak menginjak lantai. Obat tidurnya sudah sukses bekerja.

Pada penerbangan menuju Honolulu ini saya memilih duduk di dekat teman saya.Supaya bisa membangunkan kalau-kalau tidur saya kebablasan. Sementara teman saya itu duduk di dekat seorang bule army yang ganteng. Posisi duduk kami di barisan tengah. Setelah makan malam, saya sukses terlelap dan tak mimpi apa-apa. Tidak seperti dalam perjalanan Cangi menuju Narita, belum-belum saya sudah bermimpi sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya terbangun ketika matahari tampak sudah bersinar dari balik jendela pesawat yang berarti hari sudah pagi. Di hadapan saya sudah terhidang menu sarapan, semacam steak yang aneh di lidah. Para pramugari yang rata-rata berwajah latin sedang sibuk berkeliling menawarkanmakanan ke penumpang yang lain. Dalam pikiran saya, saat itu kurang lebih pukul enam pagi.

Saya jadi tersadar dan menghitung mundur, kenapa begitu jauhnya Narita ke Honolulu. Jika berangkat dari Narita pukul enam petang dan pukul enam pagi belum juga sampai, berarti sudah 12 jam melayang di udara. Tapi, saya ingat kalau ada perbedaan zona waktu antara Jepang dan Hawaii, tepatnya pada garis bujur bumi. Sebenarnya perjalanan dari Narita menuju Honolulu adalah enam jam. Tapi, karena ada perbedaan zona waktu, lamanya terhitung seperti 14 jam. Jadi sampai Honolulu yang semula harusnya pukul dua belasan malam tanggal 22 Juni 2010, menjadi pukul delapan pagi tanggal 21 Juni2010. Ini juga yang membuat saya bingung dan perlu adaptasi soal waktu dan kebiasaan badan untuk bangun dan tidur. Ini juga yang membuat saya seperti sedang bermimpi, terjaga tapi seperti sedang tidur.

Usai makan, saya dan teman saya sempat bertukar koin dengan si bule. Dia juga menjelaskan ada berapa macam uang koin di US. Tapi, tetap saja saya tidak hafal. Saat-saat itu sesekali pesawat seperti melewati geronjalan, membuat saya sempat menciut takut. Kata si bule bahwa geronjalan itu belum seberapa dibanding penerbangan di wilayah California yang membuat pesawat seolah kesandung dan oleng. Sepanjang itu saya cuma berdoa-doa dalam hati. Ketika lamat-lamat saya melihat seperti lautan, teman saya bilang kalau sebentar lagi pesawat akan mendarat. Saya mengangguk percaya sebab tiba-tiba telinga saya kembali terasa seperti mau pecah.

Dari atas pesawat, lautan Hawaii tampak begitu menawan, biru putih terbentang seperti permadani. Saya cuma sekilas saja mengagumi karena masih sibuk dengan pekak di telinga. Segeralah mendarat, begitu mau saya. Selain itu, saya juga merasa speechless, sebentar lagi akan benar-benar mendarat di negeri yang jauh dan asing. Jadi kepergian saya bukan hanya mimpi, tapi memang nyata. Dingin AC di pesawat saya rasakan seperti angkuhnya tempat dan lingkungan baru. Sendirian saya harus berjuang, bisa tidak bisa harus bisa. Turun di landasan, kurang lebih pukul delapan tanggal 21 Juni2010, angin pagi Hawaii menyapa. Semakin bertambah dingin, tapi saya berharap Hawaii tak sedingin udaranya.

Pemeriksaan panjang dimulai. Pertama, harus mengisi form keimigrasian dan antri diperiksa. Selain bule, kebanyakan penumpang pesawat adalah warga Jepang yang mau liburan summer. Sambil bergerak mengikuti antrian, saya berdoa semoga para bule penjaga itu bisa seramah petugas bule yang menginterview saya ketika membuat visa. "Can you speak English?" ini pertanyaan pertama begitu saya berhadapat muka dengan si bule Imigrasi. Lalu, tentang studi apa yang akan dipelajari di universitas, sampai si bule memintaku untuk menunggu. Dia beranjak menemui supervisornya sambil membawa passport saya untuk ditunjukkan. Saya mulai was-was, adakah sesuatu yang tidak sesuai. "Any problem?" tanya saya begitu dia kembali. Dia tersenyum dan menjawab tidak, dan sebuah stempel ditekankan di atas passport saya.

Menuju ruang pengambilan koper, saya dan teman-teman perempuan terpisah dengan teman-teman laki-laki. Karena laki-laki harus mengikuti pemeriksaan yang lebih intensif dan makan waktu lebih lama. Begitu semua koper sudah kami amankan, tiba-tiba datang seorang petugas dengan anjing pelacak. Dadaku refleks berbunyi-bunyi. Cilaka dua belas. Apalagi pas anjing itu memutari koperku yang penuh dengan bumbu masakan dan makanan. Untuk jumlah liquid yang boleh dibawa memang dibatasi, termasuk dilarang membawa daging-daging dan ikan. Saya sudah pasrah, kalaupun tercium, buanglah apa yang mau dibuang. Saya terus saja membaca mantra-mantra supaya anjing itu kepanasan dan pergi. Bersyukur, mantra saya dikabulkan.

Tapi, saya belum bisa lega karena masih ada pemeriksaan koper sebelum keluar. Meskipun random, bisa saja koper saya yang kebagian dicek. Saya melihat seorang perempuan muda harus membuka lebar-lebar kopernya dan si petugas meneliti isi koper itu dengan telaten. Saya pun berdoa lagi. Sayang, kali ini saya sedang diuji. Pada kertas yang saya dapat dari petugas imigrasi terdapat tanda A dengan lingkaran yang berarti saya menjadi target random check. Speechless. Dengan langkah kalah perang saya kembali ke lorong pemeriksaan yang seperti lorong-lorong kasir di pusat pembelajaan itu, sementara dua teman saya sudah melenggang aman keluar menuju tempat penjemputan.

Saya berusaha tenang, biar tidak mencurigakan.Dengan mantap saya mendekati petugas yang dimaksud. Dia sejenak membaca lembaran yang saya serahkan dan bergumam, "Hm, East West Center," sambil melihat saya. Hai, saya sedikit lega karena sepertinya ada petunjuk kalau saya tidak akan dianiaya. "Any food?" ia bertanya. Saya mengangguk, "Instant noodle," dan banyak yang lain, lanjutku dalam hati. "Beef, chicken, fish?" ia melanjutkan. Saya menggeleng mantap, dan kenyataannya memang saya tidak membawa tiga makanan sebangsa tiga itu. Dan, sudah, laki-laki yang paling baik itu membiarkan saya mendorong kembali troli koper keluar ruangan. Membiarkan saya bernapas lega karena hasil tatanan koper saya tak jadi dibuang percuma. Saya berharap, jika pada saatnyasaya ke bandara itu lagi, membawa koper-koper yang saya tata dengan tujuan untuk pulang kampung seperti kawanku itu atau untuk keberangkatan yang kedua, orang paling baik itu lagi yang akan saya temui.
Continue reading...

01 August, 2010

4 comments 8/01/2010 01:01:00 AM

Melanglang ke Negeri Jauh (1)

Posted by isma - Filed under
Agustus sudah datang menggantikan Juni dan Juli. Summer yang kata orang terasa panas, berangsur menjadi dingin karena masuk musim gugur. Setiap hari Manoa diguyur hujan, hujan tepung yang tipis. Seorang perempuan baya berseragam kaos biru tengah membersihkan dapur Ewa. Rambutnya yang berikal-ikal seperti pir bergerak naik turun setiap kali tubuhnya bergerak. Saya membatin, sudah berapa lama dia bekerja di dormitory ini. Apakah dia juga biasa menghitung waktu dan mengingat bagaimana pertama kali menginjakkan kaki di gedung ini?

Waktu tanpa dikomando memang akan bergerak. Kadang saat sadar terasa begitu lambat, tapi pada saat yang lain menjadi begitu cepat. Saat tertentu, saya suka waktu berjalan cepat, tapi tak jarang saya begitu nyaman jika waktu bergerak lambat. Sayang, 17 Juni yang saya ingin datangnya seperti gerak keong tiba-tiba menjadi secepat jet. Sampai-sampai saya workless, banyak yang ingin dipersiapkan tapi tak tahu mau memulai dari mana. Hingga, kalender pemberian sekolah tempat ayah mengajar benar-benar menunjuk ke angka 17 di bulan Juni. Ini berarti saya harus pergi.

Taksaka pagi dari Yogya menuju Jakarta berangkat pukul 10.00. Waktu dibonceng ayah menuju stasiun, rasanya begitu miris mengingat mungkin satu tahun kemudian saya baru bisa dibonceng lagi. Waktu menggendong Shinfa dari parkiran menuju gerbong, rasanya juga miris karena satu tahun kemudian puteri saya itu mungkin sudah semakin berat jika saya gendong. Sama mirisnya ketika saya menciumi pipi lembut Atha sebelum berangkat. Waktu menyalami satu per satu, dari ibu, kakak ipar, ponakan, tetangga, dan teman yang ikut mengantar saya seperti bedol desa, saya juga merasa miris. Duhai betapa mereka appresiate dengan keberangkatan saya. Benar-benar saya belum pernah merasakan momen seharu itu. Momen yang paling saya khawatirkan sebelumnya, dan pada waktunya memang harus dilakoni. Diiringi lambaian doa-doa, saya melihat shinfa menangis, gerbong pun bergerak. Pecahlah tangis yang sebelumnya saya tahan kuat-kuat. Ambrol.

Dua hari saya menyelesaikan urusan di Jakarta. Beberapa teman tampak menikmati saat-saat berduaan dengan suami atau istri. Saling meneguhkan niat dan kesetiaan. Wisma daerah diguncang gempa lokal katanya. Ah, mereka ada-ada saja. Saya sendiri lebih memilih bermalam dari sanak saudara satu ke saudara yang lain sembari berpamitan. Minta doa restu, seperti layaknya santri yang mau berangkat mondok. Siapa tahu juga dapat tambahan sangu. Selain itu, secara khusus ibu dan saudara-saudara saya dari Pekalongan datang ke Jakarta. Lagi-lagi, saya dibuat terharu.

Tanggal 20 Juni sore, saya dan teman-teman berkemas meninggalkan wisma daerah. Kalau saya perhatikan, sayalah yang paling banyak membawa barang. Ada dua travel bag masing-masing 22kg, satu travel bag kecil dan tas tangan yang saya bawa ke kabin. Saya juga yang paling banyak membawa pasukan pengantar, total 7 orang, ditambah budhe dan pakdhe yang jauh-jauh naik motor dari Bekasi untuk ikut melepas saya meski hanya di wisma daerah. Orang-orang tercinta itu, sungguh membuat saya speechless.

Begitu kaki melangkah memasuki pintu terminal bandara, petualangan pun segera dimulai. Beruntung saya bersama 7 orang teman sehingga saya yang tak berpengalaman jadi merasa tenang. Yang paling membuat saya khawatir adalah soal pemeriksaan karena terus terang saya membawa banyak bumbu masakan jadi yang berbentuk cair. Ketahuan sebenarnya tak soal, hanya saja saya harus merelakan banyak rupiah melayang. Setiap detik saya membaca shalawat supaya petugas perempuan yang sebenarnya manis kalau mau tersenyum itu jadi berkunang-kunang dan urung membuka koper saya. Ternyata manjur. Dari dua koper yang diletakkan di troli yang sama, koper teman saya yang diperiksa. Koper saya yang penuh dengan bumbu masakan melenggang aman menuju tempat penimbangan. Deg-degan lagi sebenarnya, tapi saya lumayan pede kalau berat travel bag saya tak melebihi batas. Ada lima kali saya dibantu ayah dan tetangga menimbang dua travel bag saya dengan timbangan beras di rumah. Hasilnya, memang aman.

Selesai boarding, rasanya semakin dekat saja waktunya untuk benar-benar menempuh hidup baru. Dua orang teman tampak sesenggukan karena harus merelakan suami mereka kembali ke kampung halaman. Keluarga saya sudah pamit sebelum saya masuk terminal, dan saya sempat menahan tangis juga. Menuju loket bebas fiskal, lagi-lagi saya membaca shalawat. Kali ini karena saya lupa membawa fotokopian NPWP. Namanya lupa, padahal siang harinya saya juga memfotokopi passport. Tapi, kali ini saya tak berdoa supaya si masnya kunang-kunang, cukup supaya tak bermasalah saja. Dan, saya mendapat peringatan, “Besok lagi bawa fotokopiannya ya …“

Saya dan teman-teman kemudian menuju antrian pemeriksaan imigrasi. Para petugasnya, masih muda dan segar. Saya perhatikan mereka memasang senyum yang dibuat berwibawa. Susah untuk menggambarkan. Yang jelas membentuk bibir di antara cemberut dan tersenyum. Selesai pemeriksaan, seorang teman berbisik, “Itu Rachel Mariam ya? Cantik banget!” Mataku mengikuti arah telunjuknya. Heran juga, malam-malam begini wajahnya masih saja bermake up segar. Aku ganti berbisik, “Kamu bilang mau mengalahkan kecantikan seluruh pengunjung bandara, bagaimana dengan Rachel Mariam?” Temenku itu tertawa lepas yang berbunyi, aku tidak sanggup.

Mengantri di pemeriksaan sebelum masuk ruang tunggu, seperti biasa saya membaca shalawat. Meski koper bumbu-bumbu sudah selamat masuk bagasi, di koper kecilku ada laptop. Beberapa teman ada yang bilang kalau laptop akan diperiksa. Tapi, saya percaya dengan penjelasan teman yang lain bahwa laptop hanya perlu untuk ditunjukkan saja. Ternyata, bukan laptop yang menjadi masalah melainkan satu kaleng susu beruang yang belum sempat saya minum. Ahh, sayang sekali. Terpaksa saya keluarkan susu mahal itu dan memasukkannya ke keranjang penyitaan. Saya malu untuk menenggaknya habis-habis di depan petugas karena saya tak terbiasa untuk membuat malu.

Di ruang tunggu, dadaku semakin ramai saja. Seramai celoteh anak-anak ABG entah dari lembaga mana yang ikut memenuhi ruangan itu. Mereka memakai t’shirt biru laut, dengan model dan tulisan yang sama, dan berwajah elit. Tidak seperti wajah saya dan teman-teman saya yang bisa sampai ke ruangan ini setelah melewati proses panjang selama satu tahun. Wajah beruntung anak-anak ndeso karena doa maqbul dari orang-orang tercinta. Sedikit info yang didapat teman saya, mereka ke luar negeri untuk English program. Pesawat yang sebentar kemudian akan membawa saya memang mendarat di Changi Singapore, lalu melanjutkan perjalanan ke Narita kemudian Honolulu.

Pesawat delay 10 menit. Semakin salah tingkah. Nerveous. Beberapa orang teman berkirim sms, mengucapkan selamat dan doa-doa. Saya masih sempat mereply, sempat juga memasang status. Sebagai kenang-kenangan, karena pasti jika status itu saya baca lagi, kenangan kecamuk rasa hati saya akan terputar kembali. Di ruang tunggu itu saya masih menyimpan ragu, tapi saya tahu tak mungkin untuk mundur ke belakang. Rasanya saya juga tak memijak tanah, seperti berada di awang-awang, dan saya hanya bisa membiarkan diri saya melesat sampai ke tempat jauh yang tak bisa saya terka. Terjadilah apa yang harus terjadi...
Continue reading...