Kalau aku ditanya bagaimana rasanya nganterin Shinfa sekolah? Tentu aku akan jawab seneeeeeng banget. Apalagi setelah rutinitas lima hari nguli, berangkat pagi pulang petang, dan Sabtu adalah saatnya full time menemani Shinfa. “Ibu nggak kelja?” puteri manisku itu bertanya. “Enggak. Kan libur. Ibu mau nganterin Dik Abik sekolah,” jawabku. Sambil tersenyum tipis dan mata berbinar biasanya Shinfa akan menimpali penjelasanku dengan, “Oooh.”
Bagi ibu-ibu yang bukan FTM kayak aku, mengantar sekolah bisa dianggap sebagai penebus rasa bersalah untuk lima hari berjauhan dengan buah hati. Tapi, tidak semata itu juga sih. Ada rasa senang, puas, bisa ikut terlibat dalam proses belajar dan berinteraksi puteriku. Aku nggak tahu apakah rasa seperti ini juga dimiliki oleh ayah. Hehe. Aku belum sempat wawancara. Cuma kalau aku perhatikan, ayah agak aras-arasen kalau aku minta nemenin Shinfa sekolah. Pernah sekali, dulu, pas hari Senin. Setelah itu tidak pernah lagi. Selain karena tak ada waktu juga, dan Shinfa sepertinya lebih nyaman sama ibunya.
"Bu, ayam maem lumput nggak?"
"Coba aja, Dik. Mau enggak?"
Shinfa lalu nyabut rumput, trus dikasihkan ke ayam.
"Bu, ayamnya maem lumput lho," sorak Shinfa
pas si ayam nyaplok rumput yang dia sodorkan."
Aku senyum-senyum aja, secara aku juga baru tahu
ayam doyan rumput. Hehe.
Rata-rata teman-teman Shinfa juga ditemani oleh ibu mereka. Hanya satu dua yang ditemani oleh sang ayah. Dan, sebagaimana biasa, para ibu yang anak-anaknya sudah berani alias nggak keembok2en, mereka akan ngobrol seputar kehidupan sehari-hari. Tampak akrab. Berbeda dengan aku yang seringnya malah ikut terlibat dalam permainan kelas karena Shinfa masih suka ngelendot dan takut. Selain, karena aku nganternya cuma hari Sabtu, jadi tidak begitu akrab dengan ibu-ibu itu.
Tapi, sudah dua Sabtu dua minggu yang lalu, Shinfa sudah mau main sendiri, dan aku dapat kesempatan untuk ngobrol sekilas, dengan seorang ibu cantik yang baru potong rambut. Namanya aku nggak tahu. Hehe.
“Kono kuwi rego umahe 200jt to,” dia bercerita semangat.
“Sing endi, Mbak. Perumahan kuwi po?” aku menunjuk kawasan genteng rumah yang kelihatan dari halaman Salam.
“Iyo. Aku wingi takon2. Walah nek regone semono yo mati aku.”
“Hehe. Iyalah Mbak. Kayaknya elit kok situ.”
Trus, salah seorang guru pengasuh nimbrung. “Deket sini ada yang mau dijual lho. Harganya 150 juta. Rumahnya besar.”
“Tapi kan nggak bisa dikredit to, Bu?” tanyaku.
“Aku golek sing iso dikredit. Uang mukane piro, kan dadi ringan. Iyo to?”
Aku mengangguk. Hihi… baru kali ini deh aku ngobrol gini.
“Eh, ono umah regane ming 75jt. Apik. Keramikan. Tapi, pas takdelok ning mburi, kok ono kuburan loro. Walah emoh aku, ra sido…”
Aku ketawa. “Weleh, kuburane keluarga po Mbak? Kok medeni. Nek aku jelas ra iso turu kuwi.”
“Iyo. Lha wong….”
Udah ah. Kalo aku lanjutin bakalan panjang banget nih postingan. Hehe. Ternyata asyik juga yak ngobrol sama ibu-ibu pas nganterin sekolah gitu hehe...
Continue reading...
Bagi ibu-ibu yang bukan FTM kayak aku, mengantar sekolah bisa dianggap sebagai penebus rasa bersalah untuk lima hari berjauhan dengan buah hati. Tapi, tidak semata itu juga sih. Ada rasa senang, puas, bisa ikut terlibat dalam proses belajar dan berinteraksi puteriku. Aku nggak tahu apakah rasa seperti ini juga dimiliki oleh ayah. Hehe. Aku belum sempat wawancara. Cuma kalau aku perhatikan, ayah agak aras-arasen kalau aku minta nemenin Shinfa sekolah. Pernah sekali, dulu, pas hari Senin. Setelah itu tidak pernah lagi. Selain karena tak ada waktu juga, dan Shinfa sepertinya lebih nyaman sama ibunya.
"Coba aja, Dik. Mau enggak?"
Shinfa lalu nyabut rumput, trus dikasihkan ke ayam.
"Bu, ayamnya maem lumput lho," sorak Shinfa
pas si ayam nyaplok rumput yang dia sodorkan."
Aku senyum-senyum aja, secara aku juga baru tahu
ayam doyan rumput. Hehe.
Rata-rata teman-teman Shinfa juga ditemani oleh ibu mereka. Hanya satu dua yang ditemani oleh sang ayah. Dan, sebagaimana biasa, para ibu yang anak-anaknya sudah berani alias nggak keembok2en, mereka akan ngobrol seputar kehidupan sehari-hari. Tampak akrab. Berbeda dengan aku yang seringnya malah ikut terlibat dalam permainan kelas karena Shinfa masih suka ngelendot dan takut. Selain, karena aku nganternya cuma hari Sabtu, jadi tidak begitu akrab dengan ibu-ibu itu.
Tapi, sudah dua Sabtu dua minggu yang lalu, Shinfa sudah mau main sendiri, dan aku dapat kesempatan untuk ngobrol sekilas, dengan seorang ibu cantik yang baru potong rambut. Namanya aku nggak tahu. Hehe.
“Kono kuwi rego umahe 200jt to,” dia bercerita semangat.
“Sing endi, Mbak. Perumahan kuwi po?” aku menunjuk kawasan genteng rumah yang kelihatan dari halaman Salam.
“Iyo. Aku wingi takon2. Walah nek regone semono yo mati aku.”
“Hehe. Iyalah Mbak. Kayaknya elit kok situ.”
Trus, salah seorang guru pengasuh nimbrung. “Deket sini ada yang mau dijual lho. Harganya 150 juta. Rumahnya besar.”
“Tapi kan nggak bisa dikredit to, Bu?” tanyaku.
“Aku golek sing iso dikredit. Uang mukane piro, kan dadi ringan. Iyo to?”
Aku mengangguk. Hihi… baru kali ini deh aku ngobrol gini.
“Eh, ono umah regane ming 75jt. Apik. Keramikan. Tapi, pas takdelok ning mburi, kok ono kuburan loro. Walah emoh aku, ra sido…”
Aku ketawa. “Weleh, kuburane keluarga po Mbak? Kok medeni. Nek aku jelas ra iso turu kuwi.”
“Iyo. Lha wong….”
Udah ah. Kalo aku lanjutin bakalan panjang banget nih postingan. Hehe. Ternyata asyik juga yak ngobrol sama ibu-ibu pas nganterin sekolah gitu hehe...