24 September, 2008

2 comments 9/24/2008 11:36:00 AM

Merasa Kehilangan

Posted by isma - Filed under
Ini bagian dari catatan detik-detik perubahan yang terjadi pada Shinfaku. Sejak berusia 3 bulan, Shinfa memang sudah aku tinggal tiap pagi untuk nguli dan pulang sore harinya. Karena masih bayi, tentu dia belum bisa protes atau menangis setiap kali aku pamitan keluar rumah. Selain karena Shinfa sering kali langsung tertidur, selesai maem, mandi, dan nenen. Kebiasaan ini berlangsung sampai Shinfa hampir satu tahun.

Usia satu tahun sampai dua tahun setengah, Shinfa sudah mulai protes. Harus ada acara kucing-kucingan, rayu-merayu (untuk tidak mengatakannya dengan membohongi hihi), atau tangisan bombay karena klayu. Shinfa belum bisa diajak mengerti kalau ibu tiap sore pasti balik ke rumah. Jadi teriba-iba hatiku tiap pagi jadinya, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Memasuki tiga tahun, Shinfa sudah bisa ngerti kalau maknya kudu pergi pagi pulang sore. Dia sudah bisa bilang, ati-ati ya Bu. Sudah mau ucapin salam, dan selalu mengulurkan tangannya untuk salaman sebelum aku kabur.

Tapi, semakin ke sini, kenapa keadaan jadi berbalik seperti Shinfa ketika masih dua tahunan yak. Shinfa jadi klayunan lagi. Setiap aku ada di dekatnya pasti ditanya, “Ibu kelja nggak?” Atau kalau aku pulang sore hari, dia akan nanya, “Abis ini ibu pelgi kelja lagi nggak?” Kemarin pagi, dia nangis,”Ibu nggak boleh kelja.” Dan, karena aku masih ngantuk, aku pun menemaninya sampai aku dan dia sama-sama ketiduran.

Kalau lihat Shinfa tidur gitu, aku suka membatin. “Sampai sebesar ini Nak, Makmu ini cuma bisa menemanimu tiap sore sampai pagi, dan sabtu minggu. Itu pun kalau aku nggak ada kegiatan lain.” Sedih juga yak! Secara cilikanku dulu, 24 jam penuh dibanding sama Simakku. Pas Simak harus sering keluar kota menggantikan bapakku yang sakit dan tidak kuat lagi, aku juga merasa kehilangan dan merasa kurang kasih sayang dan perhatian. Hmm… apa ini kali ya yang sedang dirasakan sama Shinfaku.

Sampai beberapa hari yang lalu, aku dapat laporan dari Teti. Shinfa bilang, “Dik Abit nggak mau jadi punya adik. Ntal dicuekin.” Hehe. Padahal, biasanya tiap ditanya, soal mau nggak punya adik, dia akan mengangguk iya. Dan menyebut pingin adik cowok. Lha kok sekarang berubah dia. Btw, dari mana juga ya dia dapat istilah "dicuekin".

Yah, bisa jadi karena dia sudah merasa kehilangan. Tuntutannya untuk minta diperhatikan tidak sebanding dengan yang aku berikan. Atau ada penurunan kualitas kebersamaan. Antara aku dan Shinfa. Meskipun aku di rumah, mungkin tanpa sadar aku menduakannya dengan kerjaan rumah, rasa capekku yang lalu jadi jarang bercerita dan membaca buku bersama, atau menduakannya dengan hp dan leptop. Perasaan ini kemudian mendorong Shinfa untuk jadi “anarkis”, suka menggigit, atau memukul. Sebagai bentuk minta perhatian. Gitu ya, Shin?

Maafkan Makmu ini ya, Nak. Masih egois, belum bisa menjadi ibu yang bisa memenej hak dan kewajiban dengan baik. Sambil belajar ya, Nak. Semoga bisa jadi lebih baik. Amiin.
Continue reading...

18 September, 2008

6 comments 9/18/2008 02:26:00 PM

Mari Tersenyum...

Posted by isma - Filed under
pelatihan skenario: sakri dan nahwa. Aku masih culun...

sriwijaya: pas world book day 2007.
seneng aku lihat senyum gak ada beban ini.

sriwijaya: zaki dan ruslan. berasa seumuran mereka deh!

stand matapena: with hilma. senyum ala matapena.
Continue reading...

16 September, 2008

5 comments 9/16/2008 01:44:00 PM

Kecelakaan

Posted by isma - Filed under

Pagi itu, jam sahur, aku dan orang rumah lagi berkumpul di ruang makan. Tiba-tiba Shinfa melengking dari kamar tidur. Ayah yang udah selesai makan, duluan deh menangani Shinfa yang aku pikir cuma kebangun bentar dari tidurnya. Ternyata, nanisnya tetep aja, sampai ayah mbawa dia ke dapur.

Lah-lah, pas aku mendekat, bajunya kok penuh darah. Aku suer langsung panik, kenapakah anakku ini. Isi piringku yang belum tuntas aku habiskan, aku taruh begitu saja di atas dipan tempat uyut leyeh-leyeh. Perhatianku ganti ke arah Shinfa, mencari dari mana asal darah merah itu.

"Ni kena apa, Dik?" teriakku spontan begitu melihat dagu Shinfa terluka cukup lebar. Seperti tersayat apa gitu, kulitnya terbelah, menampakkan bagian daging yang memerah.
"Ibu, sakiiit...sakiiit," teriak Shinfa sambil bercucuran air mata.

Aku yang biasanya sama sebangsa luka kayak gitu paling takut, terpaksa harus nguat-nguatin. Aku gendong Shinfa ke kamar mandi untuk cuci tangan karena bercak darah. Trus minta ayah ambilin betadine sama handiplas. Sambil mikir-mikir, nih anak kena apa coba.

Kata ayah sih, Shinfa ia dapati sudah tergeletak di lantai. Alias, dia jatuh tergulung dari kasur. Tapi, masak jatuh mbentur lantai, bisa terluka membelah kulit gitu? Kayak kena benda tajam. Sementara nggak ada benda tajam ditemukan di sekitar lokasi kejadian (alah!).

"Kali kena ujung dipan atau almari," sementara orang rumah berasumsi.
Tapi, bekas darah juga tetap tidak ditemukan di dua benda yang disebutkan itu. Bingung juga deh jadinya.

Ah, whateverlah. Yang penting lukanya nggak parah, dan sampai sekarang Shinfa nggak rewel. Malah kesenengen dia, jadi ada alasan buat main2 sama handiplas, sebagaimana hobinya. Buliknya juga bilang, "Wah, sakit gitu abik njuk dadi alim." Maklum, secara akhir-akhir ini Shinfa lagi jago-jagonya berteriak dan marah-marah. Sama tambah lagi, hobi melayangkan pukulan sama benda-benda di sekitarnya. Weeeeks. Serem amat yak! hehe.
Continue reading...

09 September, 2008

3 comments 9/09/2008 01:01:00 PM

Aku dan Mbak Tami

Posted by isma - Filed under
Masih ingat Mbak Tami kan? Dia saudala sepupuku yang tinggal di Liau. Sebelum puasa dia dan bapak ibunya sudah mudik ke lumah di Moyudan. Bude Anik kan mau melahilkan di Moyudan, katanya abis lebalan. Aku seneng banget, di lumah mau ada adik bayi. Aku juga seneng banget kalena Mbak Tami katanya nggak akan balik Liau lagi. Mbak Tami mau tinggal dan sekolah di Jogja kayak dua mbaknya, Mbak Nulul sama Mbak Duwik.

Aku sekalang jadi punya teman belmain di lumah. Nggak sepi dan bete kayak dulu-dulu kalau aku ditinggal ibu kelja. Apalagi Mbak Tami sama aku akur banget. Kata Bulek Teti, kayak tumbu ketemu tutup. Sama kecilnya sama dlidis dan celiwisnya. Aku juga jadi suka kembalan sama Mbak Tami. Dia pakai baju apa, aku halus ikut sama. Hehe.


Siang hali, sepulang Mbak Tami sekolah, kami main baleng. Biasanya main bayi-bayian. Hehe. Aku punya bayi, si dola. Kalau Mbak Tami, pakai boneka beluang. Kadang main doktel-doktelan. Pula-pula nulis lesep. Aku sih belum bisa nulis. Kalau Mbak Tami sudah pintel. Dia kan kelas 2 SD. Mbak Tami juga pintel ngomong gaya sandiwala. Soalnya dia lajin banget nonton sinetlon di Indosial hahaha. Dan, kalena aku main sama dia, aku jadi ikut celewet juga. Ikut main sandiwala baleng dia. “Ini cucumu nangis,” kata Mbak Tami. “Oh iya. Sini cucumu…” (nggak nyambung.com)


Lain waktu aku sama Mbak Tami main dandan-dandanan. Menilu gaya pelias mantennya Bulik Teti kali ya. Aku diajak masuk kamal Bulek, dikunci dali dalem, tlua aku dibedaki coleng-moleng sama Mbak Tami. Hehe. Tlus, tiba-tiba ibu nongol dali jendela lual. Yaah ketahuan deh.


Senengnya lagi, aku jadi punya teman ngaji. Sebelum puasa, setiap sole selain Selasa dan Jumat, aku diantal sama Bulek atau Mbak Duwik ke Pondok Abdul Manan deket lumah. Ngaji turutan, bukan pakai Iqla’ seperti yang aku baca kalau ngaji sama Bulek. Yang ngajal Bu Khotmah atau Bu Zizah. Pas peltama kali ngaji, aku diantel Bulik. Aku antli nunggu gililan, tlus duduk di depan Bu Khotmah. Aku belani lho. Membaca bismillah, alfatihah, tlus ngaji alif ba ta. Abis itu, hafalan sulat an-Nas.


Kalau Mbak Tami sudah lancal bacanya, dia kan sudah besal. Selain tiap abis maghlib dia belajal ngaji lagi di lumah. Nggak kayak aku yang ding-dong. Hehe. Soalnya aku masih kecil sih. Masih pinginnya main. Jadi, maaf ya kalau aku agak nakal dan susah diatul hehe. Tapi, aku telmasuk pintel juga kok. *tuwing* Aku sudah bisa kenal huluf hijaiyah sampai kaf, belajal sama Bulek. Kalau hafalan sudah sampai ya’ meskipun seling kebolak-balik hehe. Nggak mau kalah deh.


Eh, telakhil nih… aku mau mejengin foto tidulku. Jadi celitanya abis main sama Mbak Tami, lasanya ngantuk banget. Tapi, aku mau ngemil klipik tales. Akhilnya, aku masuk kamal sambil bawa toples. Eh balu beberapa kali ngunyah tuh klipik, aku sudah telbang ke alam mimpi. Hehe. Ibu yang lagi ngetik pasti bakal ketawa kesenengan. Soalnya tadi aku lali-lali mulu pas mau dikeloni. Ini, nggak pakai dikeloni sudah bobo sendili. Tuuh kan, aku pintel kan Bu? Uwis ah. Bye…
Continue reading...

01 September, 2008

5 comments 9/01/2008 09:49:00 AM

Melepas Kangen II

Posted by isma - Filed under
“Kotak sandalnya sudah diganti, Mbak. Bagian pintunya,” jelas adiknya Uqi yang item manis. Tapi, tak mengurungkan niatku untuk membuka kotak nomor tiga dari kanan, baris pertama dan kedua. Seingatku, di antara kotak-kotak itulah jatah kotak sandalku, dan di bagian dalamnya aku sempat menulis, “Ndang boyong!” Hihihi. Penyakit lamaku selama di pondok adalah pingin cepet boyong alias keluar. Alasanku karena tidak kerasan. Tapi, anehnya tidak kerasan kok sampai tujuh tahun yak. Panteslah kalau kemudian aku jadi punya migrain akut karena memendam keinginan itu. Kesian deh!

Selesai berkangen-kangen dengan Jamilah 4, Uus ganti mengajakku ke Kompleks Masyitoh A, menengok adiknya. Posisi kompleks ini tepat di atas bangunan kamar mandi alias jeding, bagian penting yang selalu dikunjungi Ninik tiap ke Al-Fathimiyyah. Hehe. Njuk ngopo yo. Mengenang antri jeding sambil ngantuk-ngantuk ya. Apalagi kalau kepepet jam jama’ah dan harus buru-buru. Mandi bebek pun jadi biasa. Atau mengenang roan alias bersih-bersih. Tapi masih mending roan jeding daripada mbersihin sapiteng yak! Hehehe.


Aku dan Uus belum sempat mampir jeding, juga ke kamar Masyitoh A. “Eh, Us. Kamu nggak bawain adikmu jajan po?” bisikku tiba-tiba. Uus mengangguk, dan mengajakku ke kantin Ar-Roudhoh. Tapi, karena jajanannya tidak lengkap, aku mengajaknya ke warung Kang Madi. “Masih ingat Kang Madi ya, Mbak. Sekarang yang jualan sudah ganti,” Uus tertawa. Dan, dari gedung sekitaran kamar mandi, kami menuju warung Kang Madi.

Kang Madi itu penjaga warung di kantin kompleks Al-Amanah. Warung itu dulu anggaplah sebagai warung grosir segala kebutuhan santri. Dari permen, sabun, sampai afdruk foto. Eh iya, jangan heran kalau aku narsis dan banci foto hehe. Jaman belum ada camera digital, biasanya aku dan mbak-mbak di kamarku iuran beli rol film untuk foto-foto. Satu bulan mesti adalah gerakan narsis bersama ini. Dan, Kang Madi menyediakan rol film sekaligus jasa mengafdrukkannya ke pasar Jombang.

Warung ini posisinya berdekatan dengan kantor LPS alias markas bulletin Insaf yang di komen di bawah itu disinggung-singgung sama Ninik. Kalau malam-malam kelaparan gara-gara lembur bulletin, warung Kang Madi adalah lumbung untuk cari camilan. Tentunya Nico, aku ingat malam di mana aku main drama jadi pacarmu yak, pas jumpa fans Insaf di depan mushala. Aku punya fotonya kok. Bareng Noqilah, Yulia Fitrin, Kokom, Aroh... hahaha kangen aku!


Dari warung Kang Madi, aku ngajakin Uus untuk showan Neng Ida. Puteri Yai Jamal ini termasuk motor dan konsultan penerbitan di Al-Fathimiyyah. Ngobrol dengan Neng muda ini rasanya tak ada habisnya. “Saya tuh senang Mbak kalau ada teman ngobrol gini. Jadi semangat lagi,” jelas Neng Ida. Makanya, dia absen ngimami demi kesempatan yang katanya tidak tiap hari ini. “Nak, bilangin Mbak-Mbak ya, suruh ngimami. Ibu ntar jamaah sama Mbak Ndalem aja.”

Neng Ida banyak bercerita tentang Abah dan Gus Kholik yang produktif menulis. Uus bercerita tentang kegiatannya di dunia dakwah juga buku-buku yang sudah ia tulis, sementara aku menimpali dan menjawab soal penerbitan dan perbukuan yang ia tanyakan. Obrolan itu seperti tak akan berakhir kalau saja tidak karena waktu shalat maghrib yang semakin bergerak ke waktu isya’. “Coba ya kita bisa rutin reunian seperti ini. Sama Ninik, juga alumni-alumni yang lain,” Neng Ida mengusulkan. Aku dan Uus juga setuju saja usulan itu, meskipun realisasinya just wait and see... maklum, agak ribet juga kalau urusan mengumpulkan orang dengan seabreg kegiatan masing-masing.

Selesai shalat maghrib di kamar Masyitoh A, aku dan Uus ke Ndalem Barat, showan Bu Salma. Lumayan lama juga kami harus menunggu, sambil was-was memperhatikan pergerakan jarum jam di dinding. Karena, kami masih harus kembali ke Tebuireng, apakah dengan angkot atau transportasi apa kami belum tahu. Alhasil kami tidak bisa ngobrol berlama-lama dengan Bu Salma. Sekitar sepuluh menit berbincang, kami pun mohon pamit.

Ternyata benar saudara. Aku, Uus, dan Mila kehabisan angkutan menuju ke Tebuireng. Sudah jam 07.30 malam. Alternatifnya, bertiga kita naik satu becak, turun di ringin contong. Bapak becaknya kuat juga yak. Ndorong tiga orang gendut-gendut. Terutama aku yang sudah ibu-ibu dengan BB 50kg. Weeeeks! Pantesan si Bapak menolak dikasih 15rb. Maunya 20rb. Hehe. Tapi, sampai ringin contong, ternyata bus yang menuju ke Malang sudah habis. Dan, mau tidak mau kami bertiga ngojek dua motor. Satu motor cenglu, alias bonceng dobel, satunya lagi sendirian. Capek boooow, pas giliran aku didobel sama Uus hehe.

Tapi, tak mengapalah. Lagipula jarak menuju Tebuireng tidak terlalu jauh. Buktinya aku, Uus, dan Mila meskipun tak memakai helm, aman-aman saja dari Pak Polisi. Lho! Apa hubungane? Entahlah. Yang jelas perjalanan malam dengan ojek itu mengakhiri lawatanku ke Tambakberas. Masih kurang puas sebenarnya, belum sowan ke Yai Sulton, main ke MTs Plus, ke Muallimat, ke Yu Nur... Belum juga dapat nomor kontak Mbak Lilik Gresik yang sempat diceritakan sama Bu Salma... Hai, piye kabare Reeeek! Yah, lain waktu semoga masih ada kesempatan. Amiiin.
Continue reading...