30 January, 2008

11 comments 1/30/2008 04:32:00 PM

Jalan Sore-Sore

Posted by isma - Filed under
Bermula dari iseng-iseng berhadiah, menggalang dana ke salah seorang supervisor di kantor, akhirnya jadilah aku, Mbak Ret, Mbak Ana, Mbak Nur, Mbak Wiwik, Ahmala, Mahbub, Tamam, dan Santo meluncur ke PH di Tugu sore hari sepulang megawe, Jumat 25 Januari 2008. Awalnya dana yang terkumpul baru 55rb lalu aku menggagas gimana kalau Pak Bos Besar juga kita minta. Ternyata gayung bersambut, mungkin sebagai syukuran royalti untuk bukunya juga, kami pun mendapat tambahan 100rb.


Tapi, penggalangan dana tidak berhenti sampai di sini, usai aku shalat zhuhur, tiba-tiba aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan: Ini untuk dana bantingan sensasi delight. Tapi rahasia. Dan, ada uangnya 30rb. Alhamdulillah, jadi nambah aja kan jumlah dana kami. Tinggal menghitung uang sejumlah itu cukup untuk memesan apa dan berapa di PH. Dan, karena itu kami menamakannya makan-makan sensasi delight.

Hihi. Segitunya ya sama produk makanan yang satu itu. Yah, harap maklum. Pizza memang bukan makanan harian kami. Dan, untuk membelinya pun secara sengaja sepertinya tidak terlalu diharuskan. Mending nasi padang deh. Sekali waktu sajalah, apalagi kalau tidak perlu merogoh isi kantong sama sekali dalam arti gratisan. Asyiknya asyik.


Dan, mungkin karena ada tambahan “berkah” dalam kebersamaan, jumlah uang yang mungkin bagi sebagian orang tidak seberapa itu bisa membuat kami mabuk pizza. Bener-bener! Ternyata porsi small tetap saja jadi big size buat aku dan temen-temen. “Tuh Mam, masih ada,” tawarku pada Tamam. “Waduh, Mbak. Sudah nggak muat,” jawabnya dengan wajah nelangsa penuh penyerahan diri. Haha gimana ya menggambarkannya?

Total kami pulang masih membawa empat pizza ukuran personal. Dan, sudah pasti ini bisa dinikmati juga oleh sodara atau keluarga yang ada di rumah. Tuh kan, Pak Supervisor dan Pak Bos… bener-bener berkah. Makasih ya… besok-besok lagi ya… :D
Continue reading...

28 January, 2008

23 comments 1/28/2008 05:12:00 PM

Oleh-Oleh Syukuran

Posted by isma - Filed under
Dalam rangka syukuran ulang tahun, malam minggu kemarin kami ngunduh pengajian anak-anak di rumah. Seperti juga tahun lalu, pas Shinfa berultah yang kedua. Standar dan praktis, nggak perlu undangan khusus. Karena kegiatan pengajian ini memang rutin tiap malam Minggu bergiliran tiap rumah yang juga diikuti oleh Mbak Uyung dan Mbak Uwik, dan akhir-akhir ini Shinfa juga ikutan meski di tengah pengajian kadang minta pulang atau dijemput sama ayah.

Bedanya, kalau tahun lalu aku minta tolong Mbak Mi untuk masak karena Uti lagi opname di rumah sakit. Sekarang, Uti sendiri yang masak nasi kuningnya, dibantu orang serumah sama Mama Wati. Bener-bener deh, seharian aku tidak keluar dari dapur. Dari belanja ke pasar sampai menata nasi kuning dalam kotak plastik. Selain makanan kecil dan camilan khas jajanan pengajian, aku juga bikin puding tahu lemon. Kali ini juga nggak pakai kue tart seperti tahun lalu, tetapi pakai tumpeng. Made in bareng-bareng.

Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar. Shinfa juga mau aja maju ke tengah ruangan untuk niup lilin (ini dia yang ditunggu Shinfa… belajar nyebul hehe) sama motong tumpeng trus potongannya dikasihkan ayah. Sebagai ucapan terima kasih ya Shin, sudah dibuatin dot biar tengah malam juga hehe...

Tapi, biarpun undangannya cuma pengajian, masih ada juga yang bawa kado. Mungkin karena ada ulang tahunnya, dan lagi mereka masih tetangga dekat sama Shinfa. Selain, hadiah dari Bulek Teti yang kasih jaket biru sama baju renang, boneka pinky dari Mbak Ayu, Barbie dari Tante Endah, rok pink dari Mbah Sri, dan setelan celana dari Mama Watik. Makasih semua…

Lucunya ketika Shinfa pake baju warna hijau hadiah dari Mama Wati, kami semua lagi berkumpul di dapur dan tanya-tanya ke Shinfa soal warna.
“Ini warna apa Dik?” tanya Mama sambil menunjuk celana Shinfa yang berwarna hijau.
“Hijau.”
“Hijau teletong ya?” tegas Bulek Teti.
“Bukan. Ini hijau camcau…,” jawab Shinfa spontan.
Haha. Kontan kami semua pada ketawa. Lucu aja gitu. Karena kami yang orang besar nggak pernah sampai mengasosiasikan warna hijau semacam itu dengan camcau, seringnya kan dengan teletong. Dan, ternyata memang benar juga kalau warna camcau memang hijau semacam itu. Subhanallah… siapa pula yang ngajari…

Lalu, kalau ada pertanyaan dapat kado apa Shin dari ayah-ibu?
Yah… sebenarnya aku sama ayah jarang menyepesialkan hadiah pas hari ultah Shinfa. Kebetulan kemarin Minggu setelah mencari-cari toko mainan kayu untuk Shinfa di daerah Tamansari seperti yang direkomendasikan oleh SALAM, aku, ayah dan Shinfa menuju C4 tanpa ada niatan mau beli hadiah apa pun. Tapi, toh karena lihat barangnya bagus, akhirnya kami pun pulang membawa barang yang satu ini. Semoga ya bermanfaat untuk Shinfa… amiin.

Continue reading...

27 January, 2008

0 comments 1/27/2008 11:31:00 AM

topi bundar Look-alike Meter

Posted by isma - Filed under


Ikutan nyoba nyamain rupa hehe... kayak Rayhan sama Ummi... kalau mau nyoba klik ajah.

Continue reading...

24 January, 2008

20 comments 1/24/2008 12:12:00 AM

Secarik Kertas

Posted by isma - Filed under
Abin, Zabil, Wildan, dan Nala, keempat anak berusia rata-rata 3 tahun itu tak ada yang berbicara lagi. Tak ada yang berteriak lagi. Tak ada yang tersenyum lagi. Sejak satu menit yang lalu.

Wildan, hanya bisa melongo. Bukan berarti dia tidak sedang mengikuti arus ketiga temannya yang tengah berpikir. Tapi, memang seperti itulah gaya berpikirnya. Melongo sambil menautkan dua alisnya, lalu memandang ke depan luas tanpa titik.

Zabil mengerutkan keningnya sampai berlipat-lipat. Pernah melihat lipatan perut orang gemuk? Ah, itu terlalu berlebihan. Tak sampai seperti itu. Lipatan kening Zabil hanya berupa kerutan, seperti kerutan kertas yang lalu direntangkan kembali, hanya menyisakan bekas-bekasnya saja.

Abin tampak mondar-mandir, seperti biasanya. Karena ia sangat suka bola yang akan ia giring sambil sesekali ia tendang ke kiri dan ke kanan. Tapi tetap, wajahnya serius tanda sedang berpikir.

Sementara Nala, si pemilik mata pimpong, si kecil yang paling cantik di antara ketiga cowok kecil itu, duduk diam pada bibir tempat tidurnya. Gerakan halus jari-jemarinya seperti gerakan bola dunia pada pojok kanan atas layar monitar komputer yang menunjukkan kalau sebuah program tengah berproses. Demikian juga dengan Nala. Ia tengah berproses membuka sebuah ingatan tentang kejadian semalam.

”Kamu benar-benar lupa, Nala?” Zabil, sang kakak bertanya. Nala semakin tertunduk.

Abin mendesah. Kecewa dan agak putus asa. Mendapati rencana yang sudah mereka susun sejak satu minggu yang lalu harus menguap tak bersisa pagi ini. Seperti kapur barus punya ibunya setelah satu bulan ditelusupkan dalam lipatan baju. Hanya bau wangi. Hanya ingatan kalau semalam ia dan ketiga saudaranya itu harus menahan kantuk untuk menuliskan beberapa baris kalimat di atas secarik kertas, dan mendapati kertas itu sudah raib keesokan harinya. Tepatnya delapan menit yang lalu, ketika mereka tengah makan pagi, meninggalkan kertas itu di atas meja kecil di kamar Nala.

Yang paling merasa bersalah mungkin Nala. Sebagai anak perempuan ia lebih dipercaya ketiga saudaranya untuk menyimpan kertas itu. Seperti itulah anggapan yang berlaku. Anak perempuan dipandang lebih open dan primpen daripada anak laki-laki. Meskipun toh pada praktiknya Nala justru kehilangan kertas itu. Setelah hampir lima jam sejak bakda maghrib Wildan yang paling besar coba menuliskan kata-kata mereka dalam barisan huruf. Sangat sulit memang. Karena, ia baru kelas TK kecil dan hanya sesekali ibunya yang single parent sempat mengajarinya menulis di rumah. Itu pun belum semua huruf dihafal oleh Wildan. Sambil menelungkup di atas ubin semen, jari-jarinya bergerak menggoreskan huruf-huruf itu, di bawah tatap kagum Zabil, Abin, dan Nala. Wowww keren! Kira-kira seperti itu bisik hati ketiga bocah kecil itu.

“Sudahlah. Lupakan saja soal kejutan itu. Kita sambut saja Shinfa apa adanya, dan sampaikan saja apa yang ingin kita sampaikan. Tidak perlu memakai kertas.”
Wildan menggerutu. ”Benar-benar mengecewakan. Padahal aku ingin Shinfa tahu kalau aku sudah bisa menulis.”
”Mau bagaimana lagi.”
”Maafkan aku,” mendung di mata Nala sudah menggantung.
Zabil dan Abin cuma menarik napas berat, menatap bola mata pimpong itu, lalu tersenyum. Itulah kekuatan Nala. Seperti kekuatan bola, amarah itu akan melesat dengan satu kali pukulan keras karena menatap bola mata pimpong itu. Tentu saja karena Nala adalah adik sepupu mereka yang baik selain Shinfa.

Keempat anak kecil itu siap beranjak, meninggalkan kamar Nala, ketika tiba-tiba Mbah Idah sudah hadir di antara mereka. ”Hai, Shinfa sudah tiba tuh. Ayo kita sambut,” sapanya setelah meletakkan secarik kertas dan pulpen di atas meja kecil Nala. ”Ayo-ayo...”

Bukannya beranjak, Zabil, Abin, Wildan, dan Nala malah terpaku. Tatapan mata mereka secara spontan mengikuti gerakan tangan Mbah Idah. Kepala mereka bergeser seperti gerakan slowmotion dengan penuh harap-harap cemas. Dan, hampir saja mereka berteriak, ”Kertas itu,” secara bersama-sama begitu mata mereka terantuk pada kertas itu, kalau saja tangan Mbah Idah tidak segera menggiring mereka keluar dari kamar. Mereka ingat betul akan kertas itu karena warnanya memang biru langit dan hanya dilipat satu kali tekukan. Sudah pasti, itulah kertas yang tengah mereka cari.

Abin, Zabil, Wildan, dan Nala saling melempar pandang, mengangkat alis dan tersenyum. Hanya dalam hitungan detik rencana matang itu bisa terselamatkan. Benar-benar kejutan. Mereka berteriak gembira dan berlari menyongsong Shinfa. Karena setelah satu menit ke depan kertas itu akan sampai ke tangan Shinfa. Kertas hasil karya kejutan mereka. Kertas itu bertuliskan***:

Xa)i b*ad#ced*()
X!ad^e+----“{:}>??>>
)9j”?>~!ace^0---oab1#(0”:?”
ae^0(0”:?”da-!~1"-+\+*dae*<-->>
0*d^ec#a----->~!ace^0---o:---=(0”:?”
4”:==-0


-------------------------
*** Maksudnya adalah:

Kami Sayang Shinfa
Selamat Ulang Tahun
Semoga Selalu Bahagia
Tambah Pintar dan Salehah
Juga, Selalu Dilindungi oleh Allah SWT
Amiin.


Continue reading...

22 January, 2008

8 comments 1/22/2008 12:54:00 PM

Kecanduan Ngeblog?

Posted by isma - Filed under
Entah kenapa tiap kali aku mendengar kata candu konotasinya menjadi negatif. Sebagai suatu keranjingan pada benda atau kegiatan yang bisa merugikan kita sebagai pelakunya. Bisa jadi karena candu biasanya dipakai untuk menjelaskan sejenis obat-obatan yang mengandung efek nagih.

Ah tapi kalau kecanduan ngeblog buat aku tidak sepenuhnya negatif. Malah lebih banyak positifnya. Karena, lewat ngeblog paling tidak ada dua kegiatan yang berlangsung sekaligus, membaca dan menulis. Dua kegiatan yang mungkin bagi beberapa orang terkesan membosankan dan tidak asyik dibanding nonton tivi misalnya. Tapi, ketika membaca atau menulis blog, sejauh pengalamanku sih asyik-asyik saja dan bisa dinikmati. Dan, pada tahap ini ngeblog pun akan menjadi satu varian hobi atau malah kebutuhan.

Persoalannya tinggal bagaimana memenej waktu untuk kita ngeblog, seperti kita juga memenej waktu untuk nonton tivi, istirahat, bekerja, dan lain sebagainya. Biar semua dapat waktu sesuai porsi tanpa harus mengorbankan waktu untuk kegiatan yang lain.

Nah, di bawah ini adalah jawabanku untuk PR yang dilempar sama Anna *thanks ya…* Tapi, aku tidak akan menjelaskan angka 70% yang aku dapat lewat kuis ini dalam kata-kata. Karena aku bukan pakar prosentase atau statistik alah! But yang jelas, ngeblog itu asyik kok!

70%How Addicted to Blogging Are You?

klik ajah

kalo mau nyoba...
Continue reading...

21 January, 2008

10 comments 1/21/2008 12:45:00 PM

Lucu dan Surprise

Posted by isma - Filed under ,

Shinfa Labieq (SHINFA):
Shinfa sampai sekarang masih malu-malu, tetapi sebenarnya ia selalu merekam kegiatan sekolah, baik kegiatan di dalam maupun di luar kelas. Shinfa selalu menjawab jika ditanya walaupun dengan ekspresi wajah malu-malu. Ia masih dekat sekali dengan ibunya mungkin karena ia hanya seminggu sekali bisa masuk sekolah. Shinfa sering tertidur di kelas mungkin karena terlalu lelah di perjalanan.



Hihi. Aku tersenyum kecil melihat bunyi rapor Shinfa semester kemarin. Rapor yang diambilkan sama Bulek Teti karena pada hari penerimaan rapor, Sabtu 22 Desember 2007, aku sama Shinfa sudah di Pekalongan. Sebelumnya deg-degan juga, seperti apakah rapor Kelompok Bermainnya Shinfa. Meskipun sebelumnya sudah dijelaskan kalau rapornya bersifat kualitatif deskriptif sesuai hasil pengamatan pendamping selama proses bermain. Makanya pas Teti sms: ”rapornya Abik lucu”, aku langsung konfirmasi seperti apakah dan bagaimana lucunya? Hihi. Ternyata memang lucu. Shinfaku yang suka malu-malu dan sering ketiduran di kelas.

Tapi, memang seperti itulah adanya. Dan, aku pun semakin percaya kalau diam-diam para pendamping di SALAM memang benar-benar memperhatikan. Meskipun Shinfa pendiam, maklum jago kandang, dan malu-malu, tak jarang Bu Anik atau Bu Wiwin menyapa Shinfa dengan pertanyaan-pertanyaan, ketika main puzzle misalnya. Dan dengan pelan plus malu-malu Shinfa pun akan menjawab. Buat aku sih ini sudah bagus banget. Ada respon positif yang diberikan Shinfa setiap ada sapaan atau pertanyaan.

Nah, kalau suka tidur di dalam kelas, bisa jadi karena jaraknya yang lumayan jauh dan lalu Shinfa kecapekan. Tapi, seingatku baru tiga kali Shinfa ketiduran di kelas, dan sepengamatanku dia akan ketiduran kalau sebelumnya ia bangun terlalu pagi, pukul 05.00 misalnya. Apalagi pas bulan puasa, pukul 04.30 Shinfa sudah bangun dan tidak tidur lagi. Aku aja yang sudah ibu-ibu harus tidur lagi tiap habis sahur. Tapi, akhir-akhir ini Shinfa bangunnya sudah agak siang, antara pukul 05.30 sampai 06.00. Itu pun sudah pada ditanyain sama Uti dan Buliknya. ”Abik kok mbangkong to?” Nah lho.

Dan, karena bangunnya nggak kepagian, selama dua kali masuk SALAM, Shinfa juga nggak ketiduran lagi. Sabtu yang lalu, Shinfa belajar meronce sedotan sama potongan kertas berbentuk bulan dan bintang. Aku Cuma melihat dan mengamati saja. Biar saja hasilnya nggak rapi, yang penting itu hasil karya sendiri. Beruntung Shinfa tidak mutung di tengah jalan, biarpun harus mengerahkan segenap ketelatenannya. Dan, ia pun berhasil. Alhamdulillah...


Kalau Sabtu kemarin Shinfa belajar mewarnai potongan kertas berbentuk ikan hias. Sudah ada perubahan. Dulu dia kadang malas-malasan kalau suruh mewarnai. Tapi, kemarin dengan telaten dia berhasil mewarnai ikan hias itu, sambil sesekali tangannya yang memegang pewarna minta aku gerakin supaya warnanya rata. ”Ajalin, Bu,” gitu katanya.

Perubahan lain yang bikin surprise adalah soal gambar-menggambar. Sejak awal, aku memang tidak pernah membatasi imajinasi Shinfa dengan satu contoh gambar tertentu. Misalnya, aku tidak pernah memberi contoh gambar gunung itu dua gundukan dan lalu aku meminta Shinfa untuk menirukan. Tapi, aku membiarkan Shinfa mencoret apa pun bentuknya. Apa pun wujudnya. Dan hasilnya, terutama akhir-akhir ini, Shinfa sudah punya bentuk gambarnya sendiri. Pada awalnya gambar Shinfa memang tidak berbentuk. Tapi, setelah selesai, aku bisa menangkap satu bentuk gambar yang bukan asal coret. Waktu aku tanyakan gambar apa itu, kadang dia bisa menyebutkan satu nama, entah benda entah binatang. Kadang juga asal dan nggak nyambung.


Terutama tadi pagi. Sambil disuapi, Shinfa main corat-coret di atas kertas. Setelah selesai, aku bertanya, ”Gambar apa itu, Dik?” Dia menjawab, ”Kepiting.” Dan, ketika aku minta dia memperlihatkan hasil gambarnya, aku menemukan sebentuk lingkaran kecil dengan lengkungan-lengkungan kecil mengelilingi lingkaran itu. Hihi. Aku terkikik. Biarpun gambarnya sakuprit, cuilik, dan nggak mungkin aku abadikan di sini, bentuknya memang mirip kepiting!
Continue reading...

18 January, 2008

6 comments 1/18/2008 11:40:00 AM

Si Manis dan Puteri Ayessa*

Posted by isma - Filed under



Si Manis adalah nama seekor kelinci yang berbulu putih bersih. Ia tinggal di sebuah taman istana raja Syahrazad yang sangat luas. Setiap pagi, bersamaan dengan terbitnya sang mentari, si Manis berlari-lari mengitari taman yang penuh dengan beraneka macam bunga yang berwarna-warni. Sesekali ia melompat tinggi-tinggi menghindari lemparan bola Ayessa, puteri raja yang berumur hampir 7 tahun, yang datang menyusul untuk bermain-main dengannya.

Si Manis tak pernah berwajah murung atau sedih. Bibirnya tak pernah lupa untuk tersenyum, memamerkan deretan gigi-gigi kecilnya yang putih. Atau suara gelak tawanya tak akan lupa diperdengarkan ke telinga puteri Ayessa, setiap kali mereka bemain bersama. Bulu-bulu putihnya juga selalu tampak berseri-seri, akan terasa lembut dan licin jika dibelai. Lihatlah matanya, yang kecil runcing berwarna putih dengan bulatan hitam di tengahnya, pasti ia akan bergerak jenaka membuat gemas setiap tatapan yang memperhatikannya.

Si Manis memang benar-benar kelinci yang manis. Pantas saja jika ia sangat disayang, tidak hanya oleh keluarganya yang terdiri atas ayah, ibu, dan kakaknya, tetapi juga oleh seisi istana, terutama sang Puteri.

Namun, pada suatu hari si Manis tampak lain dari biasanya. Ia duduk termenung di pinggiran taman. Wajahnya tertunduk lesu. Bibirnya terkatup mungil dengan mata menekuni rerumputan tempat kaki-kakinya berpijak. Padahal sang mentari belum sepenuhnya menampakkan diri. Artinya, sebenarnya masih banyak waktu tersedia bagi si Manis untuk bergembira seperti biasanya. Tetapi tidak hari ini.

Tiba-tiba seorang tukang kebun datang mendekatinya.
“Hai, Manis. Kenapa bersedih? Sudah tiga hari belakangan ini kuperhatikan kamu tampak berbeda dari biasanya.”
Si Manis masih tetap pada sikapnya semula. Ia bergeming.
“Ayolah, ceritakan kepadaku ada masalah apa. Ada baiknya rasa sedih itu jangan kamu pendam seorang diri. Jika begitu, apa gunanya sahabatmu yang tua renta ini, Manis,” rayu si tukang kebun.

Beberapa saat si Manis tetap diam. Namun tak lama kemudian, si Manis mulai bersuara. “Sudah tiga hari ini sang Puteri tidak bermain bersamaku,” ucap si Manis dengan suara parau. “Aku jadi sedih.”

Si tukang kebun tampak mengerutkan keningnya. Memang benar kata si Manis, dia pun tidak lagi melihat puteri Ayessa berlarian bersama si Manis tiga hari ini. Apakah ia sakit? Tapi siapa pun pasti akan mendengar berita itu. Atau sedang keluar kota? Juga tidak ada kabar tersiar kalau keluarga baginda sedang pergi.
“Kamu sudah cari tahu kenapa?”

Si Manis menggeleng, lalu berkata: “Belum. Tapi aku yakin sang Puteri pasti sudah bosan denganku. Aku tak lagi menarik untuk dijadikan teman.”
“Eh, Manis,” kata tukang kebun menyela, “jangan berpikiran seperti itu. Belum apa-apa kok sudah berprasangka jelek. Itu tidak baik. Siapa tahu sang Puteri sedang ada urusan tertentu. Kenapa kamu tidak coba cari tahu?”
“Siapa sih aku ini!” tanya si Manis seolah mengejek dirinya sendiri. “Aku hanya seekor kelinci, mana bisa masuk ke dalam istana.”

Kali ini si Manis benar-benar tertunduk sedih. Matanya redup dan lamat-lamat ada genangan air di pelupuknya. Si Manis hampir menangis.
“Aduh, Manis. Sepertinya kamu tidak lagi bisa melihat betapa manisnya dirimu. Padahal sebenarnya banyak teman-temanku iri melihat kamu begitu akrab dengan sang Puteri. Kalau kamu tidak istimewa, kenapa sang Puteri mau bermain denganmu?”
Sebelum si Manis menimpali, tukang kebun menambahkan: “Kamu kelinci yang baik dan menyenangkan. Itulah kenapa sang Puteri menyukaimu. Kamu adalah sahabat sang Puteri, dan karena itu kamu berhak masuk ke dalam istana, untuk menanyakan bagaimana keadaan sahabatmu itu.”

Si Manis masih tertunduk. Dia hanya mendengarkan saja kata-kata si tukang kebun, dengan kedua telinganya yang berwarna putih kemerahan.
“Kamu harus percaya diri. Karena aku yakin raja dan pengawalnya tidak akan melihat apakah kamu kelinci atau manusia, tetapi bagaimana kamu bersikap dan berbicara baik di depan mereka. Sungguh aku berkata benar.”
Si tukang kebun sudah cukup banyak berbicara. Dan melihat si Manis yang hanya diam, dia pun akhirnya bersiap-siap untuk pergi, untuk kembali bekerja. Tetapi, di luar dugaan, sebelum dia berdiri, si Manis mengangkat kepalanya, dan bertanya: “Betulkah begitu?”

Tukang kebun mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya si Manis berhasil memahami kata-katanya. Dan tanpa menunggu lama, si Manis pun melesat pergi meninggalkan tukang kebun setelah mengucapkan terima kasih kepadanya. Ia berniat menemui puteri Ayessa di istana.

Sebisa mungkin si Manis menjaga sikap dan kata-katanya agar sang raja dan pengawalnya berkenan menerimanya. Dan memang benar apa yang dikatakan oleh tukang kebun, akhirnya si Manis diizinkan untuk menemui sang Puteri.
“Maafkan aku, Manis,” kata sang Puteri ketika menemui si Manis di kamarnya. “Hari ini adalah hari di mana aku genap berusia tujuh tahun. Dan setelah hari ini, setiap pagi aku harus mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru-guru istana. Jadi aku tak bisa lagi berkeliling taman di pagi hari,” jelas sang Puteri.

Si Manis mengangguk-angguk tanda maklum. Kemudian ia mohon diri, tentu dengan hati sedih karena esok ia tak bisa lagi bermain-main dengan sang Puteri. “Aku dan sang Puteri memang berbeda,” ratapnya dalam hati.

“Mau kemana kamu, Manis?” tanya sang raja.
“Hamba mohon pamit, Baginda. Terima kasih baginda sudah mengizinkan hamba untuk menemui sang Puteri. Semoga sang Puteri selalu bahagia.”
Dan si Manis siap beranjak, namun…
“Kamu kelinci yang baik dan hebat,” kata sang raja. “Kedatanganmu ke istana menunjukkan betapa kamu peduli kepada Ayessa, puteriku. Tinggallah di sini, Manis. Puteriku pasti akan menerimamu dengan senang hati.”

Si Manis tercengang. Antara percaya dan tidak, ia mendengar kata-kata baginda. Belum selesai ia dengan rasa bingungnya, sang Puteri sudah meraihnya ke dalam pelukan, sembari berkata: “Terima kasih, Ayahanda. Ini benar-benar hadiah ulang tahun yang sangat istimewa buat nanda.”

Si Manis tak tahu harus berkata apa. Tetapi matanya yang indah itu tampak berbinar bahagia. Tentu saja, ia bahagia karena ternyata sang Puteri tetap menyayanginya. Memang, seharusnya ia tak berprasangka buruk. Akhirnya, si Manis pun tetap bersahabat dengan sang Puteri untuk selama-lamanya.


__________________________________

*Beberapa hari ini aku iseng-iseng membuka file lama yang tersimpan di server. Tidak dinyana aku banyak meyimpan cerpen, baik yang masih bakal atau yang sudah jadi. Hihi. Lucu juga rasanya, pas aku membaca kembali tulisan lamaku itu. Karena aku sudah lupa bagaimana jalan cerita dan endingnya. Jadi seperti membaca tulisan orang.

Ini tulisan tanggal 15 Januari 2004. Contoh cerita buat teman-teman Oegi Studio. Dan, karena cerpen itu memang hanya jadi koleksi pribadi dalam arti belum dipublikasikan, tak ada salahnya aku posting saja di sini. Siapa tahu ada yang ingin membaca... hehe :) Hepi wiken semua...
Continue reading...

16 January, 2008

10 comments 1/16/2008 12:57:00 AM

Obat Tradisional ala Shinfa

Posted by isma - Filed under

Musim hujan seringnya tidak bersahabat dengan kondisi badan. Kalau sedang tidak fit, biasanya akan ngedrop dan gampang sakit. Terutama gampang terserang flu. Seperti juga aku dan Shinfa. Biasanya dimulai oleh siapa, menularkan, lalu dilanjutkan oleh yang lain. Kalau sudah satu orang di rumah terjangkit flu, maka yang lain harus siap sedia membentengi diri dengan suplemen dan minum air yang banyak.

Soal sakit dan penyakit, sejauh ini Shinfa punya obat andalan yang tradisional. Mungkin juga biasa dipakai oleh para ibu yang lain. Obat tradisional itu antara lain:

  1. Bawang merah parut, dicampur garam sama minyak kayu putih.
    Kalau badan Shinfa sudah anget, aku langsung meracik ramuan yang ini. Dicampur jadi satu, lalu diblonyoh … dioleskan ke dada, punggung, telapak tangan dan kaki, perutnya Shinfa. Kayak ayam mau digoreng aja ya, pakai brambang. Tapi, alhamdulillah, obat ini cocok juga untuk menurunkan panas badan Shinfa. Kalau malamnya diblonyoh, paginya panas Shinfa sudah turun. Cuma, jangan ditanya bau badannya… bau brambang hehe.
    Ternyata ramuan ini tidak hanya dikenal di Jogja, di Pekalongan juga biasa dipakai untuk obat luar yang dilulurkan. Kemarin pas nemeni Shinfa sekolah, ada juga ibu-ibu yang curhat soal ramuan obat ini.


  2. Teh pahit
    Nah, kalau yang ini untuk stop diare. Pakai teh com-coman atau deko’an. Biasanya diminumkannya sesendok demi sesendok. Sambil dikasih air putih sebagai selingan biar tidak terlalu pahit. Bagusnya lagi Shinfa selalu nurut kalau sudah dibilang: “Minum teh pahit ya, Dik. Biar nggak menc**t.” Malah setiap abis BAB dan ternyata belum normal, dia dengan sendirinya meminta, “Bu, mimik teh pahit.” Baguuuus!


  3. Salak
    Ini juga bisa untuk obat diare. Kata temenku, kulit ari salaknya harus dibuang. Secara Shinfa doyan banget sama salak, jadi untuk pemberian obat yang satu ini juga tidak mengalami masalah.


  4. Jeruk nipis campur kecap
    Untuk obat batuk. Tapi, Shinfa tidak begitu suka meskipun kalau diminta untuk meminumnya dia mau juga. Sebenarnya rasanya tidak pahit. Cuma kecut campur manis kecap. Agak aneh memang.


  5. Kencur
    Apalagi obat yang ini, Shinfa langsung say no. Hehe. Kemarin pas batuk aku kasih dia irisan kecil kencur supaya dikunyah. Awalnya dia mau, eh giliran sudah mau ditelan langsung dikeluarin. Rasanya emang getir-getir aneh gitu. Ini juga menjadi obat tradisionalnya aku sama ayah kalau sudah gatal-gatal tenggorokannya mau batuk. Alhamdulillah, cocok.


  6. Madu
    Ini bagus juga untuk pereda batuk, seperti yang pernah diemailkan Mama Ega. Sayangnya Shinfa malah nggak doyan madu. Padahal kan manis. Mungkin karena manis banget jadi terasa aneh. Alhasil, obat ini dialihkan penggunaannya untuk si emak alias aku. Hehe.

  7. Tepung kanji
    Kalau kulit Shinfa merah-merah karena biang keringat, ini obat alternatifnya. Terutama dulu pas masih bayi. Dibedakin saja sebanyak-banyaknya. Karena tepung ini katanya bagus untuk menyerap air. Biasanya aku campurkan dengan bedak badan Shinfa. Biar baunya agak wangi.

Tapi, obat tradisional itu sifatnya sebagai pertolongan pertama dan pelengkap. Karena biasanya aku akan kasih juga obat semisal para*etamo* dan anti diare yang tersedia di rumah. Kalau dalam dua tiga hari tidak ada perubahan, atau malah lebih parah, langsung aja Shinfa aku bawa ke BKIA.

Continue reading...

15 January, 2008

4 comments 1/15/2008 12:15:00 AM

Terima Kasih...

Posted by isma - Filed under
Hihi... sambil mengibar-ngibarkan dua award itu, berdiri di atas panggung, menghadap hadirin blogger yang memenuhi tanah luas alun-alun utara Yogyakarta...*ngayal.com* aku berucap:

Terima kasih untuk Jeng Widi who said: "... aku juga suka baca tulisannya secara dia novelis gitu low..."
Terima kasih untuk Jeng Wiedy who said: "... blogger jogja yang kenalin aku dengan teman-teman blogger Jogja lainnya."
Terima kasih untuk Mbak Ani who said: "... di Yogya, seorang ibu yang juga penulis novel, yang ternyata juga sekampung denganku, kapan ya kita ketemu di kampung halaman?"
Terima kasih untuk Jeng Astien who said: "... aku lemparkan ke blog2 yang kusayangi juga...**mikir mode on** untuk isma di jogja."
Terima kasih untuk ayah, Shinfa dan semua keluarga yang sudah mendukung aku selama ini, mereka tak pernah keberatan momen dalam setiap detik mereka aku catatkan di sini.
Terima kasih untuk teman-teman yang bersedia memenuhi kotak link topi bundar... love u pokoknya!

Seperti tradisi peng-award-an yang berlaku di dunia blogger, aku akan menganugerahkan 2 award ini untuk teman-teman yang sudah lamaaa menghilang dari peredaran... miss u deh...
Mbak Lirih, Mbak Vie, Mbak Rani, Mama Khansa, Bunda Nasywa, Wulan, Bintang, dan Deenda. Forever friends yak!


makasih bwt mbak indahjuli utk kalender cantiknya ;)
Continue reading...

14 January, 2008

8 comments 1/14/2008 12:23:00 AM

Shinfa and Friends

Posted by isma - Filed under

Seperti kebanyakan anak-anak, tidak gampang untuk membuat dia enjoy dengan teman mainnya dan akur untuk waktu yang lama. Dengan teman atau sudara yang biasa ketemu saja kadang agak susah, apalagi jika teman itu baru sekali ketemu atau jarang ketemu. Biasanya yang akan terjadi adalah rebutan mainan, saling gigit, susah diminta saling mengalah, dan pecahlah tangisan secara bersama-sama.

Teman main Shinfa yang seumuran dan kebetulan bertetangga adalah Naja. Dulu, sebelum ibu Naja bekerja, Shinfa kalau pagi suka aku ajak jalan-jalan sambil makan ke rumah Naja (klik). Waktu itu Shinfa masih suka mengalah kalau maksudnya untuk meminjam mainan Naja tidak terpenuhi. Tapi giliran Naja yang bermain ke rumah Shinfa, dengan senang hati Shinfa mempersilakan Naja untuk meminjam mainan Shinfa. Baik banget kan, Shinfa. Itu setahun yang lalu.

Beberapa hari lalu, Naja main ke rumah Shinfa. Malam-malam. Pas mati lampu lagi. Karena bapaknya membantu ayah Shinfa membetulkan sekring yang konslet. Di bawah terang lampu teplok yang remang-remang, Shinfa akur banget sama Naja. Mereka menggambar pakai spidol mini, di atas buku gambar secara bersebelahan. Uti aja sampai heran melihat mereka akur gitu. “Wong biasane kayak kucing sama tikus,” gitu kata Uti. Mereka juga lelarian mondar-mandir, padahal gelap gitu.

Dan, tiba-tiba… gubrak! Trus… makcenger! Berdua mereka menangis. Entah saling nabrak, entah mau gendong-gendongan. Yang jelas posisi mereka sudah terduduk di atas lantai dengan suara tangis masing-masing yang kencengnya bukan main. Setelah itu, Shinfa dan Naja tidak lagi akur dan nempel ke emaknya masing-masing.

Lain dengan Naja, lain lagi dengan Lek Aida, Mbak Tami atau Mbak Isti, dua kakak sepupu Shinfa. Biarpun mereka bertiga lebih gede, tapi mereka sudah pernah dibuat nangis sama Shinfa. Juga Abhinaya dan Zabil. Gara-gara dicubit atau digigit. Hihi. Shinfa sekarang memang sudah keluar sikap urik sama menangannya. Tidak mau kalah. Kalau kemauannya tidak dituruti, langsung deh beraksi, dengan memukul, mencubit, atau menggigit. Atau bisa juga ini dilakukan kalau pas dia lagi gemes atau bergurau. Cuma ya tetep saja bikin sakit. Dan Lek Aida, Mbak Tami atau Mbak Isti tiba-tiba menangis. Hihi.

Tapi, aksi itu dijamin tidak akan dilakukan Shinfa kalau lawannya adalah teman yang belum dikenal. Dia lebih memilih nangis dan mengadu. Kalau ini nggak boleh dipinjam, itu nggak boleh dipakai, dan lain sebagainya. Lagi-lagi, kelihatan sekali kan kalau Shinfa memang jago kandang. Hehe.


Kalau semalam, Shinfa kedatangan Isti, Veda, sama Caca bareng Pakde Iim. Awalnya Shinfa mogok tidak mau salaman. Setelah beberapa menit, baru deh mau salaman dan berbagi spidol sama kertas untuk menggambar. Kali ini yang kebagian uriknya Shinfa adalah Isti. Setiap kali Isti selesai menggambar, kertasnya diminta Shinfa terus dicoret-coret. “Nih wis takolet-olet,” gitu kata Shinfa dengan muka jengkel. Idih, kenapa Shinfa semarah itu ya… Atau, dia akan berteriak, “Nakal…nakal…nakal!” dengan ekspresi mecucu karena kesal.

Yah, sepertinya anak-anak memang suka seperti itu. Diingatin beribu kali juga tetap seperti itu. Apalagi Shinfa kalau marah bukannya terlihat medeni melainkan lucu. Hihi. Alhasil, aku dan orang rumah pun jadi terkikik dan cuma geleng-geleng kepala. Owalah Shinfa… galak banget to!

"salam vespa," kata Shinfa.
Continue reading...

09 January, 2008

9 comments 1/09/2008 12:46:00 PM

Tentang Cerita di Pagi Hari

Posted by isma - Filed under

Setiap pagi, sambil beraktivitas di dapur, Uti selalu mendengarkan pengajian pagi lewat radio. Aku yang juga di dapur, tak luput juga jadi pendengar setia program itu. Mulai pukul 04.30 setelah Ato mendengarkan siaran wayang, sampai pukul 06.00 WIB. Disetel dengan volume penuh, sampai terdengar dari kamar tidur Shinfa yang terletak di rumah bagian depan. Kebayang kan bagaimana ramainya suasana pagi di rumah?

Program pengajian yang diputar Uti memang tidak tertentu. Sedapatnya. Kadang menejemen qalbunya AA Gym, kadang KH. Zainuddin MZ, kadang KH Qasim Nur Sehah, kadang kiai-kiai yang mengasuh program Menapak Hidup Barunya salah satu radio di Magelang. Tapi, seringnya adalah program yang aku sebutkan paling akhir itu. Dimulai dengan ceramah tujuh menit, dilanjutkan dengan membaca kitab kuning lengkap makna jawanya yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia. Salutnya, sambil mondar-mandir Uti juga sempat mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting. Seperti mengaji jarak jauh gitulah.

Aku yang sifatnya hanya sebagai pendengar tidak sengaja, kadang juga mendapat sesuatu yang baru, sambil mengingat-ingat materi yang dulu juga pernah aku pelajari pas di pesantren. Kadang aku juga tergelak kalau pas ada celetukan yang lucu dan mbanyol dari kiainya. Termasuk ketika dua hari yang lalu, kebetulan kami mendengarkan ceramah dari Ustadz Yusuf Mansur.

Seperti biasanya ustadz yang satu ini selalu membincangkan topik tentang keutamaan sedekah dan shalat malam. Dia banyak menceritakan kasus-kasus “perubahan” sebab fadhilah bersedekah. Tentang sebuah keluarga yang tidak juga dikaruniai anak, setelah berniat sedekah dan bertaqarrub pada Allah, atas kehendak-Nya kemudian keluarga itu pun punya keturunan. Atau, seorang perempuan yang tidak kunjung juga berjodoh lalu bersedekah dan atas izin-Nya ia pun jadi menikah.

Pagi itu aku diceritakan tentang seorang karyawan yang ingin naik gaji. Dia seorang guru TK di Jakarta yang hanya mendapat gaji 150rb. Dia bilang ingin naik menjadi 400rb.
“Kenapa nanggung?” tanya ustadz. “Kenapa nggak minta yang banyak sekalian?”
“Gimana minta banyak, kepala sekolah TK saja gajinya 500rb.”
Sampai di sini aku tergelak. Ibu gurunya tahu diri rupanya. Tidak mengharap yang berlebih sesuai dengan kadar posisinya. Bagus juga itu.

Lalu, ibu guru itu mau menyedekahkan seluruh gajinya sebagai bentuk pengorbanan dan keseriusannya akan keinginan itu. Sampai satu bulan kemudian, aku agak lupa, ternyata dia memang benar mendapatkan gaji lebih banyak. Malah 3 juta satu bulan. Lalu dari mana gaji itu? Ternyata atas kehendak-Nya dia dinikahi oleh putera ibu kepala sekolah yang gajinya 3 juta satu bulan. Hihi. Unik juga kan jalan ceritanya? Aku agak geli campur percaya. Apa pun mungkin dan bisa jika memang sudah jalannya seperti itu.

Atau cerita tentang seorang satpam beranak tiga yang tinggal di sebuah rumah sempit, yang lalu berniat qiyamullail selama tujuh hari untuk mendapatkan keajaiban dari Allah berupa rumah yang lebih luas. Dan ternyata belum sampai tujuh hari dia dipanggil sama bosnya untuk menempati rumah besarnya sementara si bos pergi keluar negeri. Karena si bos simpati pada keseriusan satpam itu, ia izin tidak ikut shift malam demi untuk tahajud selama tujuh hari.

Waktu itu Ato nyeletuk, “Ah, itu cuma cerita.”
“Eh, itu tenanan lho, Be,” Teti menyela. Tidak sepakat dengan pendapat Ato.
Yah, aku juga nggak tahu siapa di antara Ato atau Teti yang benar. Tapi, buat aku Allah tak akan mungkin berbohong dengan ayat: wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib. Bahwa barang siapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak disangka-sangka. Memang terkesan normatif yak, tapi seperti itulah memang bunyi ayatnya. Barangkali memang tak ada salahnya mencoba untuk membuat kita benar-benar yakin. Seperti yang disarankan oleh Ustadz Yusuf Mansur itu.

Tanpa membuktikannya pun, sebenarnya setiap hari ada bukti akan “kejutan” itu. Meskipun rezeki itu tidak harus berupa uang ataupun benda. Meskipun “kejutan” itu tidak harus sesuai dengan apa yang diangankan. Yang penting adalah bagaimana intuisi kita peka akan adanya “kejutan” itu. Dan, untuk peka memang aku harus memperbaiki kedekatan dengan-Nya. Ah, tiba-tiba aku rindu saat-saat seperti itu…

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1429 H
Semoga kita bisa berjalan mendekati-Nya,
lalu Allah pun berlari menyongsong kita. Amiin.
Continue reading...

07 January, 2008

13 comments 1/07/2008 12:51:00 PM

Antara Peci dan Bandana

Posted by isma - Filed under

Hihi. Lucu juga ya membandingkan dua foto Shinfa itu. Dua-duanya pakai hiasan kepala rajutan. Yang satu pakai peci rajutan ala cowok, satunya pakai bandana rajutan ala cewek. Yang satu jadi kecowok-cowokan, yang satu kemayunya bukan main. Alah!

Peci rajutan punya Pakdhe Tanwir itu akhir-akhir sering dipakai Shinfa. Kalau shalat juga pakai peci itu karena mukenanya yang dicuciin belum juga diantar sama tukang laundry. Pantes juga sih. Tapi kata Teti, Shinfa jadi kelihatan tomboy dan mbeling. Pokoknya cowok bangetlah. Palagi dengan pose ketawa ngakak seperti itu.

Tapi, kadang Shinfa memang kelihatan tomboy, meskipun tidak pakai peci. Terutama karena selera pakaiannya. Pertama, dia tidak suka pakai atasan yang tak berlengan. “Emoh, ada keleknya,” begitu dia beralasan. Kelek itu artinya ketiak. Ada keleknya berarti baju yang tidak ada lengannya sehingga kelihatan ketiaknya. Entah merasa malu, entah kedinginan, entah karena terbiasa dengan baju yang ada lengannya. Terutama kalau sore Shinfa memang selalu memakai setelan kaos lengan panjang karena di rumah hawanya lumayan dingin.

Kalau pas ingat, Shinfa akan menolak memakai atasan “yu can see”. Sementara hampir semua rok atau setelan model cewek yang lucu-lucu di almari pakaiannya tidak berlengan. Nah loh. Satu-satunya cara biasanya aku akan merayu, “Eh, kasihan kan baju puterinya nggak pernah dipakai. Ntar dia protes, kok aku nggak pernah dipakai gitu.” Kadang berhasil, kadang Shinfa tidak termakan rayuanku. Lalu, dia akan menolak pilihan baju orang lain setiap kali habis mandi, berlama-lama mengobrak-abrik tumpukan bajunya, minta yang tidak ada, atau pakai baju yang itu-itu juga.

Kedua, Shinfa tidak suka pakai rok. Biarpun rok itu berbahan jeans yang bisa dijuluki rok gendut seperti dia menjuluki celana jeans dengan katok gendut. Padahal, aku suka banget kalau lihat Shinfa pakai rok pendek di atas lutut. Lucu dan menggemaskan, selain terlihat anggun dan kemayu. Keempat, Shinfa tidak betah dengan asesoris. Maunya cuma dibuat mainan. Kalaupun mau dipakein, paling bertahan sepuluh menit, setelah itu dilepas. Padahal, dengan asesoris itu Shinfa jadi kelihatan ceweknya. Anggun dan kemayu. Hihi. Aku suka banget tuh.

Seperti Sabtu kemarin, aku berhasil mendandani Shinfa dengan rok jeans sama kaos, ditambah bandana n balero rajutan made in mamanya kayra. Bersyukur Shinfa mau ajah aku dandani sedemikian rupa. Malah dia oke aja tuh waktu aku minta untuk berpose. Hihi. Ternyata tidak cuma aku saja yang girang, ayah, Teti, Uyung, dan Uwik juga kegemesen melihat Shinfa jadi cewek gitu. Lah, kan memang cewek to yo… hehe. Tapi, kecewekannya itu cuma bertahan sepuluh menit. Selesai pengambilan gambar, sudah deh bubrah semua. Hihi... ini sih pertanda kalo bandananya bakal berpindah ke rambut Maknya asyiiik. Makasih ya Bu...

Continue reading...

04 January, 2008

13 comments 1/04/2008 05:15:00 PM

Memenej Pipis

Posted by isma - Filed under
ups... nungging bo'!

Sudah sejak mudik Idul Adha kemarin diam-diam aku mengamati tidur Shinfa. Malam pertama di kampung halaman alias Pekalongan, aku dan Shinfa tidur di kamar adikku, Dewi. Karena di rumah tidak ada perlak/atau plastik buat alas, aku biarkan saja Shinfa tidur tanpa perlak. Tidak juga pakai diapers (dia sudah no diapers sejak usia 2th). Aku pikir kalau Shinfa ngompol biar saja kasurnya dijemur.

Ajibnya, pagi hari waktu Shinfa bangun, celana dan sprei masih tetap kering. Baju Shinfa juga tetap wangi dan tidak tercium bau pesing. Siip. Sudah aku duga kalau Shinfa nggak akan ngompol. Seringnya memang seperti itu. Shinfa tidak pernah ngompol malam hari kalau lagi di Pekalongan. Mungkin karena hawa Pekalongan yang panas, berbeda dengan hawa kampung di Sleman yang sering dingin bikin pingin pipis terus.

Sampai kami tiba kembali di Jogja yang semakin dingin dengan hujan yang tiada henti. Malam itu aku capek banget dan tidak sempat menata perlak buat Shinfa. Jadi, puteriku itu tidur dengan lelapnya tanpa alas untuk ompol. Dan paginya, aku dibuat surprise juga karena ternyata Shinfa tidak ngompol. Aku cek lagi, ternyata memang tidak ngompol. Agak tidak percaya juga secara sekarang lagi musim hujan. Begitu juga dengan malam-malam berikutnya, sampai tadi malam. Shinfa sudah tidak lagi memakai alas ompol waktu tidur malam, dan tidak ngompol lagi.

Agak aneh memang. Karena aku juga tidak pernah mengajak Shinfa pipis malam-malam ke kamar mandi. Cuma kalau mau tidur, kalau ingat, aku ajak pipis lebih dulu. Itu pun kalau dia mau. Kalau tidak, dia pun bakal kekeh tidak mau diajak pipis.
“Nanti ngompol lho!” ingatku.
“Emoh pipis.”
“Tapi, nanti kalau tidur nggak boleh ngompol lho!”
“Iya.”
“Atau, ntar malam kalo pingin pipis bilang ya, biar nggak pipis di kasur,” aku menegaskan lagi.

Pernah juga kejadian, malam-malam Shinfa terbangun terus bilang, “Bu, pipis.” Langsung deh aku minta ayahnya untuk membawa puteriku itu ke kamar mandi. Kejadian ini seingatku berulang dua kali, sejak kemudian Shinfa jadi tidak ngompol malam lagi.

Jadi, asumsiku kenapa perubahan ini terjadi: Pertama, Shinfa ingat dengan ketegasan pilihan yang aku tawarkan itu. Pipis dulu, atau minta pipis malam-malam, atau jangan ngompol. (pilihan yang susah tuh hehe). Kedua, dengan sendirinya Shinfa sudah bisa mengontrol hasrat ingin pipisnya untuk selalu di kamar mandi. Paling tidak ia sudah terbiasa untuk ngomong, “Bu, pepes,” sebelum pipis untuk minta diantar ke kamar mandi. Lama-lama mungkin jadi terbiasa dan tidak pipis di sembarang tempat.

Yah, apa pun itu aku berbahagia sekali dengan perkembangan Shinfa ini. Tidur di dekatnya pun jadi nyaman, tidak perlu menggelar alas ompol lagi. Bisa guling-gulingan bareng tanpa kuatir kena ompol. Bagus puteriku, peluk cium buat keberhasilanmu memenej pipis ya Nak… ummmmuah!
Continue reading...

03 January, 2008

9 comments 1/03/2008 12:36:00 PM

Tahun Baru Liburan Ke Mana Nih?

Posted by isma - Filed under
Suatu pagi beberapa hari yang lalu aku menerima sms dari salah seorang teman di Malang yang berbunyi pertanyaan itu. Temanku yang di Banyuwangi juga menanyakan hal yang kurang lebih sama, lewat sms juga. Yah, tanggal merah dan jalan-jalan memang boleh dibilang identik. Apalagi buat para karyawan yang sehari-hari tidak di rumah alias nguli. Mendapati tanggal merah adalah kesempatan buat berlibur, prei kerjo, dan refreshing dengan jalan-jalan misalnya.

Buat aku dan keluarga, tanggal merah memang hari untuk libur. Meski tidak harus jalan-jalan. Karena terus terang aku memang jarang jalan-jalan. Aku lebih suka ngendon di rumah, glelengan di depan tivi, membahas berita infotainment bareng ayah, adik, ponakan, napak-ibu, bercanda dengan Shinfa, bikin camilan di dapur, nyetrika, menjahit... Itu sudah cukup menghibur. Aku paling malas kalau pergi ke mall misalnya, tanpa punya tujuan mau beli apa atau mau ngapain. Selain bikin capek ya bisa jadi karena aku termasuk orang yang hemat (untuk tidak mengatakan uangnya pas-pasan hehe... gubrak!).

Kemarin sempat juga dapat ajakan dari teman untuk menghabiskan malam tahun baru di sebuah tempat hiburan keluarga sambil menonton kembang api di alun-alun. Tapi, karena aku sudah kebayang akan hujan, mana jauh lagi jarak yang harus ditempuh, buntutnya jadi malas deh. Harap maklum. Aku sejak kecil tinggal di desa, besar di pesantren, pas mahasiswa juga jadi mahasiswa yang gaulnya di komunitas-komunitas pinggiran, dan setelah menikah pun tinggalnya di desa. Mencit dan jauh dari kota lagi. Jadi, memang agak gelap dengan yang namanya beberapa kebiasaan tahun baru dan tempat hiburan yang menyenangkan.

Bersyukur aku sudah bisa mendapatkan hiburan dengan berdiam diri di kamar. Bergosip ria dengan teman satu kos sambil nonton tivi. Tidur melepas lelah. Ngemil bareng-bareng... Itu sudah cukup. Atau kalau sekarang, daripada melek semalaman di luar rumah mending tidur berselimut tebal ditemani Shinfa dan ayah. Toh kembang api bisa lihat di tivi, sambil tiduran atau ngemil. Tetep hangat dan tidak harus bercapek ria. Hihi, pikirane wong males!

yak, siap! satu, dua tiga...

foto yang ini aku ambil dari t4 unai

Tapi, kalau untuk kopdar biasanya aku semangat. Ceile! Asal memang memungkinkan dan tidak memaksakan diri. Sabtu sebelum tahun baru ada ajakan kopdar di Semarang, siangnya juga ada arisan Mbok Darmi di Galeria. Tapi, maaf kedua-duanya tidak ada yang ta’saguhi. Karena Shinfa jatuh pilek dan tidak enak body yang mengakibatkan agak rewel. Beruntung Mbak Indjul punya waktu kopdar hari Senen siang bolong, pas jam istirahat, di Taman Pintar, dan tidak hujan. Dilengkapi Unai, Rahendz, dan Pakdheno. Uhui, benar-benar kembali muda! Salut deh sama kalian semua. Biar kata hujan, ayuk ajah! Tapi, aku harus pamitan dulu. Jam istirahat sudah habis.

Dan kopdar selanjutnya adalah di BKIA. What! Ini sih bukan kopdar kopi darat, Bu. Melainkan kopdar kontrol pembuluh darah yak! hehe. Gara-gara Shinfa pilek, ibunya juga ikutan. Saling berlomba batuk dan sluntrap-sluntrup. Kali ini agak parah di ibunya. Dan berdua, ibu-anak ini pun memeriksakan diri ke BKIA. Jadilah pengeluaran kesehatan pertama di awal tahun.

Jadi, kalau ada pertanyaan, tahun baru liburan ke mana nih...
Jawabanku seperti yang di atas itu.
And then, bagaimana dengan jawaban Anda?
Continue reading...