30 November, 2007

16 comments 11/30/2007 12:21:00 PM

Maem Gado-Gado Yuuuk!

Posted by isma - Filed under



Perjalanan di siang hari bersama tiga temen seruangan. Ke mana lagi kalo nggak cari pengganjal perut. Biasanya cukup ke warung Mbak Yati yang murmer. Cuma karena hari Jum’at, yang berarti jam istirahatnya lebih panjang 30 menit, pilihan pun jatuh ke Rumah Gado-Gado di Krapyak.

Yang jualan sudah ibu-ibu. Warungnya juga cuma di halaman depan rumah. Mungkin kalau bukan langganan, pembeli agak susah mengenali kalau si empu rumah itu jualan gado-gado. Meskipun di depan rumah sudah dipasang papan kecil bertuliskan, sedia gado-gado dan seterusnya. Papannya kurang gede soalnya. Tapi, biar begitu, kadang kalau lagi ramai aku dan teman-teman harus rela antri pesanan. Hweeeh, dengan perut kelaparan bow!

Dalam satu minggu, paling nggak makanan Rumah Gado-Gado menjadi salah satu menu makan siang kami. Meskipun cuma satu kali. Dan, walaupun untuk ke sananya harus berpanas-panas, pokoke ayuh aja. Apalagi kalau ada iming-iming mau dipajang di blog. Wekekekek! *atow! kena lempar sandal nih* Tapi, memang gado gadonya enak kok. Mak nyuss gitulah. Sambal kacangnya berasa, apalagi manisnya. Kalo dikasih sambal cabe lebih kerasa lagi pedasnya. Ya iyalah.

Gado-gado, buat aku, bisa jadi alternatif pas lagi malas makan nasi. Sama kenyangnya. Atau kalau mau lebih kenyang, bisa ditambah kupat, bakwan, sama telor. Dijamin balik kantor tinggal molor. Hehe. Harganya juga standar Mbak Yati yang murmer. Kalau tanggal tua begini, gado2nya nggak usah pakai telor dan minumnya pakai air putih. Total cuma 3000. Selain gado-gado, sebenarnya ada lotek, kupat tahu, sama soto. Tapi, karena aku ngamel gado-gado, jadi kalau ke warung rumahan itu, pesennya pasti gado-gado.

kupat tahu

gado-gado

napsu banget yak!

weleh, tak bersisa!

tampang kenyang! hehe

Jadi, jika Anda merasa bosan dengan menu nasi, atau menu makanan instant lain, coba aja masukkan gado-gado dalam daftar menu Anda. Dijamin, Anda akan merasakan makanan yang benar-benar khas Indonesia. Suwer!
Continue reading...

27 November, 2007

15 comments 11/27/2007 07:30:00 AM

Dari Arisan ke Arisan

Posted by isma - Filed under


Tidak terasa nih arisan Mbok Darmi sudah jalan lima periode. Dimulai dari rumah Ndah, Taman Pintar, Popeyes, Amplaz, dan kemarin Sabtu di Saphir Square. Kalau buat aku sih, lumayan buat jadi alasan bisa keluar dari kampung menuju kota. Karena kalau nggak ada niat bener2 dijamin aku lebih suka bermain2 di rumah menikmati libur weekend sambil melepas lelah.

Pas arisan di Popeyes sebenarnya ada omong-omong mau belajar web di arisan berikutnya. Cuma karena suhu webnya pas mudik dan mepet waktu juga, arisan di Amplaz bulan Oktober kita belum jadi belajar web. Yang datang saat itu, aku, Unai, Wiedy, Hilda, dan Inna. Semua lengkap dengan pengawal kecil masing-masing, kecuali yang belum punya hihi *psst, dah deket hari H!*

Sayang memang nggak jadi belajar web. Tapi lumayan juga ding, aku yang memang belum pernah masuk pujaseranya Amplaz jadi punya pengalaman. Hihi, ndeso banget yak! Biarin aja lagi. Maklumlah orang rumahan yang memang dibentuk pengalaman untuk tidak berpengalaman keluar masuk pujasera. *alah* Sementara Shinfa, seperti biasa selalu sayang sama adik kecil… sun sana sun sini.

Hayo, lagi maem apa lagi ngupil ya...


Tak jauh beda, arisan bulan November juga membawaku masuk pujaseranya Saphir Square yang juga pengalaman pertama. Yang datang, aku *teteup!*, Unai *yang juga nggak pernah absen*, Hilda, dan Wiedy. Sementara teman-teman yang lain lagi bergulat dengan kesibukan yang nggak bisa ditinggalkan. Koyoto, Anna yang harus memenuhi duty call di JEC. Sukses ya pren, dengan pamerannya…

Yang datang boleh berkurang, tapi kreativitas untuk memanfaatkan pertemuan nggak boleh mati. Banyak hal kok sebenarnya yang bisa kita lakukan dengan banyak kepala. Karena idenya juga banyak. Dari sekadar berbagi pemikiran tentang apakah syndrome pre marriage itu? Dengan perspektif reading as women *alah* sampai ide untuk ngadain kegiatan apaaaa gitu yang bisa bermanfaat buat kita juga orang lain. Ayo-ayo… semangat. Mumpung masih belum tahun baru, jadi masih ada kesempatan buat berencana. Hihi. Unai juga semangat banget tuh memanfaatkan gratisan hot spot buat posting. Dasar blogger!


Nah, lain ibu-ibu, lain lagi dengan Shinfa. Setiap dia ikut arisan, dan karena di mall, yang dia incar ya mainan. Entah mobil-mobilan, mandi bola, atau paling enggak bisa naik turun eskalator. Hehe. Maklum di rumah kan nggak ada eskalator, adanya undak-undakan lantai yang nggak bisa jalan sendiri.


Bulan depan, Hilda yang dapet jatah arisan. Belum tahu mau membawaku mengenyam pengalaman baru di mana lagi. Di mana pun tempatnya, aku melu kok Hil. Pokoe melu…hihi.
Continue reading...

23 November, 2007

10 comments 11/23/2007 12:30:00 PM

Usia Boleh Tua,
Tapi Semangat Must Go On…

Posted by isma - Filed under


Kayaknya Nihayah lagi nggak ada kerjaan tuh, pakai acara menimpuk aku yang “banyak kerjaan” dengan PR ini. Tapi, nggak papa juga sih untuk sekadar berintrospeksi diri. Okeh, ini dia…


1. What is your definition of ‘healthy eating’?
Tidak mengonsumsi makanan yang belum dimasak, makanan basi, makanan yang sudah tumpah ke tanah, makanan berpewarna dan berpemanis buatan, makanan berpenyedap atau sebangsa yang mengandung MSG. Porsinya disesuaikan dengan kapasitas perut, sebelum dan sesuadah makan cuci tangan… eh jangan lupa berdoa juga dong. Dan jangan lupa lagi, semua didapat dengan jalan yang halal biar berkah. Amiin.

2. Do you exercise on a regular basis? What is your favorite form of exercise? Least favorite?
Ini sih tiap pagi. Jalan dari kamar depan, melewati undak-undakan, sampai dapur belakang. Denger Shinfa nangis, ngelewatin undak-undakan lagi balik ke depan. Sambil nggendong Shinfa lewat undak-undakan juga balik lagi ke dapur belakang. Kelupaan sayur yang mau dimasak, beranjak deh menuju kulkas, trus balik lagi ke depan kompor, masih dengan mengendong Shinfa… hihi. Yah my exercise ya gitu-gitulah. Secara kalo mau ikutan aerobic atau BL dasarnya mang enggak pernah. Takutnya ntar kena culture shock lagi. Hehe.

3. Do you take vitamin supplements?
Kalo mau bepergian selama beberapa hari atau ada tanda-tanda mau flu dan nggak enak badan, baru deh aku minum dopingan alias suplemen.

4. Can you tell that your body is getting older? If so, how?
Entah kenapa aku merasa masih seusia 25-an gitu. Hehe gubrak! Mungkin karena pertama, postur tubuhku emang imut. Bedaaa jauh sama yang ngasih PR. Kedua, aku nggak pernah menekuri wajahku di depan cermin alias dandan. Jadi nggak tahulah dah berapa keriputan ada di mukaku. Ketiga, temen2 ruanganku belum pada nikah, jadi aku merasa masih seperti belum menikah. Nah, kecuali pas ada yang panggil aku dengan sebutan “ibu”, baru deh merasa tuanya. *Meski kadang merasa nggak terima: “Masak sih imut kayak gini dipanggil ibu?!!!” wekekekekek. But, yang pasti usia boleh tua, tapi semangat must go on pren, iya nggak?

5. Would you call yourself healthy?
Mungkin kali ya. Secara alhamdulillah, selama ini jarang ada gangguan kesehatan. Semoga ini berarti kalo aku memang sehat. Amiin. Kecuali flu sama pusing-pusing. Palagi kalo tanggal tua kayak sekarang ini… kekekek.

Yang terakhir, aku mau ikutan Nihayah ah, mentagkan PR ini untuk Mbakayu2ku: Mama Reza, Bune Salma, dan Tamara's Mom. Dikerjakan ya Mbakyu-Mbakyu...
Continue reading...

22 November, 2007

10 comments 11/22/2007 04:35:00 PM

Belajar Culture

Posted by isma - Filed under




Baru kali ini nih aku merasakan adanya culture gap. Maklum sejauh dan sepanjang hidup aku relatif aman-aman ajah menetap di Jawa. Paling banter ke Jawa Timur, yang meski kata orang jenis kejawaannya berbeda dengan kejawaan Jawa Tengah. Tapi, karena masih sama Jawanya, jadi aku masih fine-fine ajah. Selain mungkin karena jawanya Jawa Timur dengan jawanya Pekalongan tidak terlalu berbeda. Karakter orangnya keras, dan jenis bahasanya juga keras.

Awal-awal tinggal di rumah suami aku sempat merasakan culture gap itu. Aku yang di Pekalongan terbiasa cuek dan agak nggak mau pusing sama anggapan orang, kalau di Jogja semua-mua pakai standar pandangan orang. Nah lho! Capek kan. Misalnya, malam Jum’at biasanya ayah Shinfa ikut jamaahan pengajian. Tapi karena capek jadilah dia berniat mbolos. Tapi, tetep ajah diingetin, “Apa kata orang kok nggak ikut.” Hehe, jadi inget iklan: Apa kata duniaaaa…

Itu soal sikap, belum soal bahasa. Contoh kecilnya, kalau di Pekalongan istilah “sungkan” itu sama persis dengan malas. Tapi, kalau di Jogja, “sungkan” itu bermakna “tidak mau karena nggak enak hati”. Jadi pernah suatu kali Ayah Shinfa bilang, “Mbok makan sana!” Trus karena lagi males aku jawab, “Sungkah ah!” Terdengar di telinga ayah pasti akan beda, dan dia menyangka aku merasa nggak enak hati buat makan jadinya nggak mau.

Ada lagi misalnya: “glelengan”. Kalo yang ini di Pekalongan artinya berbaring leyeh-leyeh sambil melepas lelah. Tapi, kalau di Jogja “glelengan” artinya nakal dan nggak bisa diatur. Weleh, beda amat yak!

Dan, pasti masih banyak contoh-contoh lain soal culture gap ini. Yang aku maksud dengan culture di sini bukan tari-tarian, busana, atau tembang-tembang apa gitu. Melainkan lebih ke sikap, cara pandang, bahasa, dan tata pola keseharian kita dalam berhubungan dengan orang lain. Misalnya, kalau orang Jawa cenderung neriman, biar lambat asal selamat, dan mendem mburi, berbeda dengan orang non-Jawa yang cenderung keras, cekatan, dan suka apa adanya.

Ini masih di dunia Indonesia sendiri. Aku membayangkan jika culture gap ini terjadi antara orang Jawa misalnya dengan orang Barat. Contoh, orang Barat dikenal disiplin dan professional. Sementara orang Jawa cenderung sakmlakune dan mengalir. Hihi. Yang satu sudah sampai Jakarta, yang satunya masih jalan di tempat. Belum ke soal model hubungan dengan keluarga, tetangga, atau teman, yang imbasnya sampai juga ke bahasa. Yang satu pakai Inggris beneran, yang satu pakai Indonesia yang diinggriskan. Meannya jelas beda kan? Hehe.

Tapi, sejauh komunikasi bisa dibangun aku pikir akan bisa menjembatani gap-gapan itu. Sebelum menjadi lebih perah, yaitu culture shock. Dalam hal ini jangan memakai karakternya orang Jawa yang suka mendem mburi. Jadi, karena nggak enak trus nggak jadi menjelaskan apa yang dimaksud. Karena ini menghambat komunikasi. Misalnya, aku akan menjelaskan ke Ayah Shinfa apa yang dimaksud dengan “sungkan” versi Pekalongan. Jadi kalau aku keceplosan ngomong “sungkan” ya maknanya bukan “sungkan” versi Yogya.

Yah, namanya hidup kan tidak sendirian. Dan, sebagai konsekuensinya aku ya harus bisa memahami kultur orang lain. Kalaupun ada salah kira dan salah tangkap, maklum aja, kan masih belajar. Jadi, jangan “sungkan” *versi Jogja* untuk mengingatkan aku ya…
Continue reading...

21 November, 2007

10 comments 11/21/2007 02:52:00 PM

Bayi Tuek ala Shinfa

Posted by isma - Filed under


Berapakah umur Shinfa sekarang? Yup, hampir tiga tahun. Dah besar dong. Sudah mau kepala tiga hahaha. Tapi, kok masih ngedot? Masih mimik pake botol? Wah, kalo ini sih namanya… “Bayi tuek,” celetuk Shinfa geli.

Hihi. Lucu juga sih ndenger istilah bayi tuek. Kalau aku menjelaskan bagaimana itu bayi tuek, Shinfa kadang sok mendengarkan, kadang malah kegelian mendengar istilah bayi tuek. “Bayi tuek ya, Bu.”
“Ya Dik Abik kuwi bayi tuek. Dah gede tapi masih kayak bayi.”
“Enggaaaak!”
“Iya. Dik Abit kan masih ngedot. Itu kan kayak adik bayi to?”
Trus, Shinfa tersenyum geli.

Bayi tuek ini memang jurus ampuh, salah satunya ya untuk urusan sapih botol. Nah, soal yang satu ini perlu perjuangan tersendiri lho. Membawa perubahan dan pencerahan buat Shinfa. Alah! Dari botol dengan tutup / ujung seperti put*ing diganti dengan tutup botol yang cucukan. Secara kalo langsung ke gelas, masih susaaah kali.

Kalau minum air putih atau teh, Shinfa sih mau pakai gelas. Tapi, kalau susu, harus pakai botol. Mungkin karena belum aku biasakan aja kali ya. Pernah sih aku coba minum susu pakai gelas. Tapi, cuma berlaku dua hari. Itu pun suka nggak habis. Atau malah dibuat mainan dan basah-basahan. Weleh, kesenengen dia! Juga, kalau malam, di tengah2 terjaga dari tidur. Maunya ya minum susu pakai botol.


Ini botol susu baru punya Shinfa, tepatnya sejak usai arisan Mbok Darmi bulan lalu. Memang sih masih tetep berbentuk botol, cuma kalau dulu tutupnya itu pakai karet yang berbentuk mirip put**g. Nah, sekarang dia sudah mau diganti pake cucukan kayak gitu.

Awalnya Shinfa nangis-nangis nggak mau pakai tutup botol yang baru. Tapi, karena tutup botol karetnya sudah dedel duwel digigitin, dan aku sengaja nggak beli yang baru, mau nggak mau dia pun menerima tutup botol yang cucukan itu. Dengan tutup botol cucukan, dijamin bakal awet dan aman dari gigitan. Nggak seperti tutup botol sebelumnya, nggak ada satu bulan pasti sudah bolong dan nggak karuan bentuknya.

Sebenarnya sudah telat sih usia hampir 3 tahun minum susu masih pakai botol. Seperti yang pernah aku baca dalam sebuah artikel. Batas akhir nyapih botol adalah usia 2 tahun. Karena hal ini bisa mengganggu selera makan dan mengganggu konsumsi anak pada makanan padat. Meskipun ada juga yang tidak bermasalah dalam hal ini, seperti sepupu Shinfa. Dia selain minum susunya banter, pakai botol, makannya juga jalan terus. Pantesan kalau BBnya sudah hampir 28kg, di usia 3 tahun 2 bulan.

Tapi, biar telat yang penting ada usaha. Tul nggak?. Hehe. Makanya Shin, ayo berusaha. Biar nggak jadi bayi tuek lagi…Oke!
Continue reading...

16 November, 2007

14 comments 11/16/2007 12:20:00 PM

Shinfa Ngeceh-ceh

Posted by isma - Filed under


aku punya jelly, enak lho!

tapi, cuma satu!
kata ibu nggak boleh banyak2

mak nyuuuus deh!

eeh! kok pada jatuh!

sayang ah!

ih, kok susah sih ngambilnya.

pake kain gampang kali ya...

tetep aja, susah.
buat mainan aja ah.

diceh-ceh.
mumpung belum ketahuan ibu
ngabur aja ah!

dan, ini TKP-nya...
Continue reading...

14 November, 2007

13 comments 11/14/2007 01:30:00 PM

Tentang Walimatussafar

Posted by isma - Filed under


Semalam ada undangan acara walihatussafar, acara seremonial untuk melepas keberangkatan calon haji di kampung. Shohibul hajatnya ya bapak/ibu calon haji. Acaranya selain sambutan serah terima, ada pengajian atau ceramah agama. Sebenarnya aku malas banget untuk berangkat. Secara badan dah capek, dan mata udah nggandul minta merem. Apalagi kalau sepulang ngantor kemarin aku mampir dulu ke PKU Jogja, nengokin sepupunya Shinfa yang opname. *Cepet sembuh ya, Dik* Jadi berlipat-lipat deh capeknya.

Cuma, lagi-lagi karena tinggal di kampung, rasa sungkannya deh yang diduluin. Kalo nurutin ngantuknya, suuzhanku bakal ada suara-suara: males awur sama tetangga. Waduuuh! Akhirnya sebagai pelampiasan aku marah-marahlah dalam hati: “Kenapa sih bikin walimahnya malam hari? Nggak siang gitu, Sabtu atau Minggu misalnya.”







Hihi. Marah-marah aja sendiri. Berangkat ya tetep berangkat biarpun dengan gerundelan. Shinfa yang kebetulan belum tidur, ikut juga aku ajak. Pikirku sih, selain dia dijamin klayu, acaranya paling nggak makan waktu lama. Dan, karena sudah agak gerimis, ayah siap bawa payung.


“Eh, Yah. Ngamplopi berapa?” aku bisik2 bertanya ke ayah. Soal yang satu ini, karena aku bukan asli Yogya, aku selalu nanya ke ayah. Kalau ayah juga nggak tahu, ya nanya ke ibu.
“Siapa yang mau ngamplopi?”
“Ibu mau pakai amplop kok.”
“Nggak usah. Saru.”
“Lo kok? Bener? Kalau cuma aku yang nggak ngamplopi?”
“Ben wae. Aku nggak suka dengan kebiasaan kayak gini.”

Sekilas info, jadi di kampungku ada macam-macam amplop. Yang sudah biasa, amplop untuk kondangan manten, untuk njagong bayi, untuk sunatan, untuk membantu orang yang sakit, dan untuk sripah atau kematian. Dan, baru-baru ini ada tambahan jenis amplop yaitu amplop haji.

Jujur, aku sempat gimana gitu ketika tahun lalu ibu cerita kalau si anu yang mau haji bersedia menerima amplop uang. Secara yang kutahu, biasanya kalau pas walimatussafar yang dibawa itu bahan sembako. Malah kalau di Pekalongan, simak biasanya iuran 5000an berberapa orang, dibeliin snack atau gula teh, terus dibagi rata untuk para calon jamaah haji yang mau berangkat. Hehe. Ngirit banget kan?

By the way bus way, aku sebenarnya juga sependapat dengan ayah soal ke-saru-an amplop haji. Selain karena menambah jenis dan macam-macam amplop yang buntutnya menambah pengeluaran hehe…, bukankah orang yang berhaji adalah orang yang mampu, secara moral dan materi? Bukankah nyangoni restu dan doa jauh lebih migunani lahir dan batin daripada sangu amplop? Sebagaimana maksud diadakannya acara walimatussafar, selain untuk bermaaf-maafan, bukan untuk meminta sumbangan? Bukankah sebelum berhaji seseorang memang harus melampaui semua tujuan yang sifatnya materi untuk mencapai keikhlasan sebelum beribadah di tanah suci?

Ehhhem, ini sih percikan-percikan hatiku yang coba merasionalisasi ketidaksetujuan ayah. Cuma kalo calon hajinya menerima amplopan itu, pada akhirnya, memberi amplopan atau nyumbang untuk calon haji bakal jadi kebiasaan di kampungku. Siapa juga ya yang mau nolak dikasih sangu, hehe. Aku juga mauuu. Dan, sebagai imbalannya orang sekampung bakal dikasih oleh-oleh, entah kurma, entah sajadah, entah jilbab. Oleh-oleh yang menurutku kalau nggak diadakan pun juga nggak apa-apa. Soalnya kalo seperti itu, namanya pola sebab-akibat dong. Ada amplop ada oleh-oleh. Hehe.


Dan, jadilah aku nggak bawa amplop semalam. Tetangga rumahku yang bilangnya nggak bawa, tapi pas salaman sama ibu calon haji, kulihat dia kasih amplop juga dan diterima oleh si ibu sambil tersenyum. Hiks. Jadi, apa cuma aku ya yang nggak bawa amplop? Hehe. Ternyata ya nggak mudah untuk menentang arus, biarpun arus itu sebenarnya membawa kebiasaan yang kurang positif jika tetep diberlakukan.

Semalam aku pun nyaris tidak mengikuti acara dengan baik. Nguantuuuuk! Sementara kalau mataku tetap dipaksa terbuka, kepalaku dijamin bakalan pusing. Dweeeh! Aku hampir-hampir menangis semalaman gara-gara walimatussafar. Kesal karena acaranya malam hari yang semestinya aku pakai untuk langsung molor setelah seharian nggak ada tidur siang. Sebel karena pilihan sikapku seperti dikendalikan orang lain. Dan, iri melihat Shinfa dalam posisi PW untuk tidur di pangkuanku.

Mau nggak mau, biar tidak benar-benar menangis, aku ya tidur sambil duduk ajah. Ternyata bisa kok, meski berkali-kali terbangun juga sih. Ceramahnya kadang aku dengar, kadang kehilangan gelombang. Tapi, aku sempat juga mengamini doa titipan Pak Penceramah, semoga si calon haji di raudhah mendoakan semua hadirin supaya bisa ziarah makah madinah. amiin. *teteup, tanpa amplop dong!*

Sampai hampir pukul sepuluh malam, malaikat penyelamatku datang.
“Ayo pulang,” ajak ayah, membangunkan tidur gelisahku. Horeee, akhirnya. Aku mengiyakan ajah, meski penceramahnya belum juga selesai menerangkan seluk-beluk ibadah haji. Dweeh, legha rasanya. Alhamdulillah, aku bisa keluar dari situasi yang nggak mengenakan itu. Palagi begitu sampe rumah, hujan besar langsung turun, pakai angin lagi, dan disusul mati lampu. Bener-bener, alhamdulillah sekali lagi.
Continue reading...

12 November, 2007

17 comments 11/12/2007 01:54:00 PM

Kalo Shinfa Belajar Shalat

Posted by isma - Filed under




"Adik, ayo shalat disik."
Itu aba-aba yang wajib disuarakan setiap waktu maghrib tiba. Yang dimaksud dengan "adik" tentu saja Shinfa. Tapi, namanya cah cilik, pasti deh pakai acara mlayu-mlayu nggak mau. Meski ujung-ujungnya mau juga dia ikut ke tempat shalat. Kadang cuma ngeganggu, naik ke punggung ayah-ibunya, atau mbak sama buleknya. Tapi, sering juga dia mau pake mukena trus shalat, berdiri di belakang ato (mbah kakung).

Pas ada Tami, Ramadhan kemarin, Shinfa lumayan gampang diajak shalat. Soalnya kan ada temen kecil. Malah minta wudhu juga. Tapi, yang dibasuh cuma wajah dan tangan. Kalau Tami sudah bisa shalat dengan diam. Kalau Shinfa ya cengengesan gitu. Kalau ditanya, ya jawab. Kalau ada yang lucu ya ketawa.


Awalnya aku surprise banget pas Shinfa mau ikut shalat dengan serius. Tiga bulan sebelum Ramadhan gitu deh, aku agak lupa. Waktu itu shalat Maghrib. Baru kali itu aku tahu gimana Shinfa kalo ikut shalat jama'ah di rumah. Setelah siap berdiri, dengan lantang dia akan menirukan semua bacaan Ato. Dari Allahuakbar, al-Fatihah, sampai salam. Hihi. Aku mpe terharu. Mendengar dia mau niruin bacaan Ato. Ples pingin ketawa, soalnya suaranya balapan gitu sama suara Ato. Yang bisa dia tirukan, ya ditirukan. Yang enggak bisa ya cuma nggremeng nggak jelas gitu. Gemes deh!

Aku sempat kecolongan tuh, sejak kapan ya Shinfa belajar niruin gitu? Secara sebelumnya aku gak nyuruh2 Shinfa untuk niruin, dan gak pernah melihat dia ngelakuin itu. Ternyata, kata Teti, kalo siang Shinfa suka ikut shalat Ato sama Uti. Tapi kan, kalo siang suara Ato nggak dikeraskan. Cuma gerakan tok. Hm, jadi mikir-mikir. Kali aja, otodidak Shinfa kali ya, karena keseringan denger suara kenceng Ato tiap shalat Maghrib sama Isya. Baguuuus!


Yah, apa pun itu. Aku seneng banget, liat Shinfa terus bertumbuh-kembang. Palagi kalo dah pake mukena kecilnya, wajahnya jadi keliatan imut-imut hehe.
Continue reading...

09 November, 2007

12 comments 11/09/2007 04:25:00 PM

Isengnya Shinfa

Posted by isma - Filed under





Istirahat sejenak, melepas lelah...
seharian berburu dengan waktu dan kertas...
Bercanda dengan puteri kecil...
Ah, Shinfa... adaaaa ajah!
Lihat, ayahmu pun sampai tak bisa berbuat
Kalau sudah kamu yang memaksa...
Dibombardir bedak pun siap
Apa sih yang enggak buat Shinfa...
Continue reading...

05 November, 2007

16 comments 11/05/2007 12:36:00 PM

Shinfa dan Detektif Mini

Posted by isma - Filed under
Libur Sabtu-Minggu, kami nggak kemana-mana. Karena, tiada hari tanpa hujan. Shinfa juga nglibur sekolah. Padahal ada acara syawalan lho. Abis khawatir juga kan, kalo di tengah jalan tiba-tiba terjebak hujan. Bisa-bisa malah batuk pilek dan masuk angin.

Jadilah aku dan Shinfa kruntelan ajah di depan tivi. Mau nyambi nulis ngerjain PR, ternyata dihalang-halangi sama Shinfa. “Ibu jangan nulis!” Mau nggak mau, aku harus total menemani Shinfa. Corat-coret kertas, mewarnai, dan… membaca buku cerita.

Nah, kalo kegiatan yang terakhir ini sering direquest Shinfa, biasanya kalo dah mapan di tempat tidur.
“Ibu celita…”
“Ya. Cerita apa?”
“Mini…”
“Yang lain aja ya…”
“Nggak. Mini aja.”


Dan, ini dia buku cerita Si Detektif Mini. Salah satu buku favorit Shinfa. Buku aslinya berbahasa Prancis karya Christine Nostlinger. Diterjemahkan dan dicetak secara terbatas. Buku ini aku dapatkan dari bosku untuk koleksi Matapena. Cuma karena bagus, aku pinjam aja untuk aku ceritakan ke Shinfa. Yup. Aku memang tidak membacakan, tapi menceritakan kembali. Mungkin belum masanya kali ya, jadi kalau dibacakan dia malah memenggal bacaanku dengan cerita yang sudah melekat dalam ingatannya. Misalnya, aku baru membaca halaman satu, Shinfa langsung memotong, “Mini jatuh ya, Bu?” Atau, “Mas Felix sakit ya?”

Jadi, buku ini bercerita tentang Mini (usia SD) yang punya kakak bernama Felix. Namun, karena postur Mini yang kurus dan jangkung, orang sering mengira kalau Felix itu adiknya Mini. Hal ini membuat Felix tidak suka dan tidak menghargai Mini. Padahal, Mini sayang sekali sama Felix. Pernah suatu ketika Mini jatuh dari tangga, Felix bukannya menolong malah mengejek dan tertawa terbahak-bahak. Sikap Felix ini tentu saja membuat Chleo, temen Mini, jadi jengkel dan kesal.

Akhirnya sejak kejadian itu, Mini pun bersikap dingin pada Felix. Ia merasa kakaknya sudah keterlaluan. Sampai pada suatu hari, Felix mendapatkan masalah di sekolah. Waktu jam istirahat, ketika seorang teman mengangkat tubuh Felix, sebuah dompet jatuh dari saku jaketnya. Dan, dompet itu ternyata bukan milik Felix, melainkan kepunyaan Yuves. Kontan Felix mendapatkan tuduhan telah mencuri dompet Yuves, dan dipanggil ke ruang guru.

Mini yang semula merasa jengkel dengan Felix, jadi merasa iba dan berempati pada kakaknya itu. Apalagi Felix ternyata tidak tahu-menahu dengan dompet yang jatuh dari saku jaketnya itu. Karena takut, khawatir, dan stress, Felix pun jatuh sakit. Kondisi ini membuat Mini dan Chloe memutar otak, apa yang harus mereka lakukan untuk menolong Felix? Dan, mereka pun berinisiatif untuk menjadi detektif, dengan kasus penyelidikan, kenapa dompet Yuves ada di saku jaket Felix?


“Ooo gitu ya, Bu celitanya. Oooooo,” dengan gaya sok ngerti Shinfa berkomentar. Hehe. Lucu deh kalo denger dia berkomentar kayak gitu. Sambil bertanya-tanya dalam hati, nih anak beneran paham apa cuma ngeledek ya? Hehe. Saolnya kalo aku coba memancing dia untuk balik bercerita, pasti deh jawabnya, “Dik Abit nggak bisa.” Tuuuh kan…

Tapi, maklum kok. Untuk seumuran Shinfa sih bisa mengingat point-point cerita dan tokoh-tokohnya aja sudah bagus. Dan, karena buku ini juga dilengkapi dengan gambar pada beberapa halamannya, jadi aku bisa dengan mudah bercerita sambil menunjukkan gambarnya pada Shinfa.

Bener deh, aku sangat menikmati "kedekatan Shinfa dengan detektif Mini". Hihi.

Continue reading...