Suatu hari di kamar kos-kosan, seorang teman mengeluh dengan wajah sedih…
“Aku sebel banget tadi siang…”
“Kenapa, Lel?”
“Slip gajiku tidak laku…”
“Tidak laku? Maksudmu? Kok tiba-tiba bahas soal slip gaji?” aku gag mudeng.
“Jadi, tadi siang aku kan mau mengajukan kredit. Sebenarnya sih aku masih mau tanya-tanya dulu apa syarat dan tetek bengeknya. Eh tiba-tiba ada seorang mas sales mendekatiku dengan antusias, menawariku brosur sambil ngoceh soal kelebihan ini dan itu…”
“Hehem, trus…”
“Silakan, Mbak duduk dulu silakan, katanya. Ya sudah, aku duduk. Tapi, aku bukannya dijelasin dari awal prosedurnya, dia langsung bilang: cukup pakai KTP sama slip gaji, Mbak. Atau Mbak punya kartu kredit? Aku menggeleng. Trus katanya, boleh lihat slip gajinya Mbak?”
Aku sebenarnya masih belum paham, temenku ini mau kredit apa atau mengajukan ke mana. Tapi, daripada aku potong, trus dia jadi ilfil, mending aku dengerin dulu saja.
“Aku terus terang sempat keki campur gimana gitu. Kok langsung ditodong slip gaji sih. Bukannya dia lebih baik menjelaskan kalau syarat mengajukan kredit itu adalah KTP dengan slip gaji yang sudah mencapai sekian rupiah, misalnya. Tanpa harus nodong pingin lihat slip gajiku langsung,” ungkap Leli.
“Trus kamu gimana?”
“Ya udah. Karena kebetulan aku bawa slip gajiku, aku kasih lihat saja. Padahal terus terang aku belum pernah kasih lihat slip itu ke orang lain, selain si sales,” jawabnya dengan wajah bersungut. “Tapi, tahu enggak pas dia lihat slip gajiku?”
“Gimana?” aku jadi lebih tertarik.
“Dia langsung balik kanan. Katanya, wah Mbak, maaf ya, ini harus… ada stempelnya, jadi biar sah. Wajahnya agak kikuk gitu. Katanya lagi, jumlahnya juga… Yah, mungkin pakai slip gaji bapaknya aja ya. Soalnya syaratnya harus 3 kali lipat UMR…”
“Jadi, gaji di slipmu belum memenuhi syarat?” aku langsung menyimpulkan.
Dia mengangguk sebal. “Iya. Terus habis itu, si mas sales dengan cepatnya bilang mohon maaf, lain kali bisa dibantu lagi, lalu mengambil brosur yang ada blangko pendaftarannya itu, trus pergi gitu aja meninggalkan aku di kursi tempat mendaftar.”
“Kok gitu? Masak kamu ditinggalin gitu?” dua alisku bertaut.
“Iya. Ora sumbut, tadi ngejar-ngejar, pakai berkali2 minta liat slip gaji. Udah tahu aku berpenghasilan rendah, dicuekin gitu. Brosurnya juga diambil lagi. Mungkin karena aku miskin ya, terus dia menganggap aku gag bakalan bisa menjadi nasabahnya forever, sampe gag ditinggalin brosur satu pun,” jawabnya menggebu-gebu.
“Sabar…sabar…”
“Sebelku itu, pelayanannya itu lho…sombong banget!”
“Iya-iya, aku ngerti. Nggak seharusnya dia meremehkan kamu seperti itu. Harusnya kan dia memandang kamu sebagai calon nasabah, kalau belum bisa hari ini, siapa tahu besok bisa. Dengan memberi kamu satu brosur untuk dipalajari lebih lanjut,” aku berusaha untuk membela dirinya. Bukankah orang yang kalah akan merasa nyaman jika merasa ada yang membela? “Kecuali, kalau brosur itu memang hanya untuk nasabah yang dah pasti, karena ada formulirnya itu,” lanjutku.
Kali ini temenku besengut. Matanya menatap kosong ke arah pintu. “Yah, kasihan ya aku. Punya slip gaji kok rendah. Dipakai buat mengajukan kredit aja nggak payu. Berarti yang bisa mengajukan cuma orang-orang kaya ya?”
“Hmmm, ya biar ada jaminan mungkin ya…”
“Gajiku kurang menjamin gimana. Aku bisa kok membayar angsuran tiap bulan 200ribu selama setahun,” Leli metenteng tidak terima. “Padahal biarpun di slip gaji tertulis 3juta, kalo pengeluarannya sampe 4juta kan masih mending aku yang gajinya cuma 1juta tapi selalu bisa save 500ribu?”
Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Malah bisa juga kan bikin slip jadi-jadian hehe, ditulis aja 5juta, minta tolong sama bagian keuangan untuk distempel hehe…”
“Eh, iya ya, Mbak. Bisa juga itu…”
“Tapi, Lel. Kalau sudah jelas kamu bisa save 500ribu tiap bulan, kenapa harus kredit? Ditabungin dulu aja, dan baru kalau sudah terkumpul bisa kamu pakai untuk beli barang yang dimaksud?” aku menawarkan solusi.
“Aku kan pinginnya punya barang itu secepatnya, minggu ini, Mbak?”
“Yah, itung2 melatih kesabaran, biar enggak hedonis hehe. Lagian kan kamu nggak perlu bayar bunga kredit?”
Leli, temenku itu terdiam, berpikir.
“Btw, kamu tuh sakjane mau mengajukan kredit ke mana? Dan mau kredit apa to, Lel?”
“KBC, Mbak. Aku mau kredit HP Nokia kamera terbaru…”
“KBC? Keluarga Besar Combat bukan?” aku terkikik. Aku jadi ingat nama geng kelas angkatan ‘97 putera-puteri MMA BU di pesantren dulu. Namanya kan KBC alias Keluarga Besar Combat. Hm, apa kabar ya mereka sekarang? Jadi kangen niiiih…
“Bukan! Bukan!” Leli langsung menolak. “KBC itu Kartu Belanja Carrient…”
“Owalaaaah! Yang kayak punya Mas Agung itu to?”
Dia tersipu, sambil mengangguk malu-malu.
Aku cuma menggeleng-geleng, sambil tersenyum. Yah, sudahlah Lel. Biar saja sales KBC itu tahu kalau gajimu gag payu buat mengajukan bikin kartu belanja. Biar saja kamu dipandang sebelah mata sama si mas sales itu gara-gara gajimu itu, *yang siapa tahu justru lebih tinggi dari gajinya… kikikik!* Biar juga yang punya KBC itu hanya orang-orang yang bergaji 3 kali lipat UMR. Biar… yang pasti tanpa KBC kamu bisa kok membeli HP Nokia incaranmu itu… Percaya deh, Lel! Yang kamu perlukan cuma sabar menabung satu bulan 500ribu… Owkeh! Trus, kalo dah jadi kebeli tuh HP, jangan lupa aku diajak syukuran ya… hehehe!